Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalau Masih Mau
Di rumah, malamnya, Yuna menatap pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat lelah, dan kantung matanya semakin dalam.
Pikirannya tidak bisa diam. Semakin dia menghindar, semakin Rizal mendekat. Tapi bukan dengan paksaan, melainkan dengan sabar yang perlahan.
Bahkan tadi sore, ia melihat Rizal menurunkan jasnya sendiri ke ruang laundry, tidak menyuruh siapa-siapa. Lalu mengobrol dengan resepsionis hanya karena Yuna berdiri tak jauh dari sana.
Rizal tidak sedang menggoda. Ia tidak sedang bermain.
Dia sedang… mendekati, dengan cara paling tulus yang pernah Yuna rasakan.
Dan itu yang membuatnya semakin takut.
“Kalau aku mulai berharap… lalu ternyata dia hanya merasa bersalah?” Bisiknya pada dirinya sendiri.
“Apa aku kuat menanggung kecewa lagi?”
Di kantor, Kevin, asisten pribadi Rizal, menatap bosnya yang sedang menandatangani berkas sambil melirik jam tangan.
“Pak Rizal, nanti malam jadi ke acara gala dinner itu?”
Rizal menggeleng.
“Batalkan semua jadwal malam ini. Saya ada hal lain yang harus saya urus.”
Kevin mengangguk pelan, tapi tetap bertanya.
“Urusan pribadi, Pak?”
Rizal menatapnya tajam. Lalu tersenyum samar.
“Urusan... masa depan saya.”
Di sisi lain, Yuna membuka pesan baru yang dikirim ayahnya.
Papa sudah janjian ulang dengan keluarga rekan bisnis papa. Kamu harus ikut. Tidak bisa ditunda lagi!
Yuna menatap pesan itu lama. Jari-jarinya bergetar.
Lalu satu pesan masuk, dari nomor yang tidak asing.
Aku tidak akan memaksa. Tapi kalau kamu mau dengar, bahkan untuk satu menit saja... aku janji, kamu tidak akan menyesal.
Yuna membaca dua pesan itu bersamaan. Dan dadanya makin sesak.
Tanpa ia sadari, semesta sedang menuntunnya ke simpang jalan.
Satu sisi adalah paksaan keluarga.
Sisi lainnya... adalah seseorang yang perlahan sedang membuka jalan baru, bukan sebagai jodoh pilihan ayahnya.
Tapi sebagai laki-laki yang memilihnya, bukan karena jodoh.
Tapi karena cinta?
Sementara itu, di sisi lain, Rizal Danantara duduk termenung di ruang kerja rumahnya. Ia menatap layar laptop yang sudah mati sejak sejam lalu. Di tangannya, secangkir kopi sudah dingin.
Bayangan Yuna tak kunjung hilang dari benaknya. Cara gadis itu menatapnya saat mereka bertemu terakhir, senyum tipisnya, mata sendunya, semuanya mengganggu pikirannya lebih dari yang bisa dia akui.
Tapi yang paling membuatnya gelisah adalah kabar yang baru saja didengarnya dari asistennya, Kevin.
"Yuna izin tidak masuk kantor hari ini." Kata Kevin tadi pagi.
"Katanya ada urusan keluarga penting."
*****
Udara sore itu lembap. Langit berwarna kelabu pucat, seolah tahu bahwa hati Yuna sama tak menentunya. Ia melangkah keluar dari salon mewah yang disewa khusus oleh calon mertuanya untuk mendandani dirinya. Rambutnya disanggul elegan, gaun warna dusty rose melekat pas di tubuhnya, dan wajahnya dipulas makeup natural yang nyaris sempurna.
Tapi wajah itu dingin.
Beku.
Bisu.
Sepanjang waktu di salon, Yuna tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk saat ditanya, tersenyum tipis saat diberi pujian, dan sesekali menunduk, menahan desahan napas yang berat. Tangannya mencengkeram ponselnya erat di pangkuan, seakan benda kecil itu bisa menjawab seluruh pertanyaannya.
Haruskah aku datang ke pertemuan keluarga?
Atau… temui pak Rizal dan sampaikan bahwa aku setuju menikah dengannya?
Dua pilihan itu berkecamuk dalam kepala.
Salah satu adalah jalan hidup yang dipaksakan, rumah megah, status yang diperhitungkan, tapi tanpa cinta.
Satunya lagi… adalah kemungkinan bahagia yang belum pasti, tapi memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Yuna menghela napas panjang. Lalu menatap bayangannya di kaca salon yang jernih.
Waktu semakin sore.
Dan keputusan harus dibuat sekarang.
Dengan tangan gemetar, ia menekan nama di daftar kontaknya.
Pak Rizal.
Satu dering.
Dua dering.
Tiga.
“Yuna?” Suara Rizal terdengar rendah, namun jelas terdengar tergesa. Suara latar seperti ruang rapat menyelinap di sela-sela sambungannya.
“Maaf... saya ganggu...” Yuna bergetar.
“P-pak... pak Rizal di mana?”
Di seberang, Rizal membeku sejenak. Lalu menjawab cepat.
“Saya... sebentar lagi keluar dari meeting. Kantor. Kenapa? Kamu dimana? Saya kesana.” Jika menyangkut Yuna, dia menjadi panik
“Tidak perlu.” Ucap Yuna, nyaris mendesak.
“Saya yang ke sana. Saya yang akan datang.”
Klik.
Ia menutup telepon, jantungnya berdetak sangat cepat. Kali ini... ia memilih.
Taksi meluncur cepat di jalanan yang mulai basah diguyur gerimis. Ketika mobil berhenti di depan kantor Danantara Corp., Yuna nyaris melompat turun. Heels-nya sedikit tergelincir saat ia berlari menaiki tangga lobby, tapi ia tak peduli. Nafasnya tersengal, makeup-nya mulai luntur terkena keringat dan gerimis.
Dan di ujung koridor depan, Rizal muncul.
Baru turun dari lift, jaketnya masih menempel di tangan, dasi dilepas setengah, dan wajahnya menyiratkan tanya dan cemas yang berpadu.
Namun belum sempat Rizal bersuara.
Krak.
Bunyi kecil terdengar, hak sepatu Yuna patah. Tubuhnya terhuyung dan terjatuh ke depan, lututnya membentur lantai marmer yang dingin. Tasnya terlempar ke samping.
Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan... menangis.
“Yuna!” Rizal berlari mendekat, langsung berjongkok di hadapannya.
"Yuna, kamu kenapa? Kamu..."
“Saya nggak bisa menikah dengan laki-laki pilihan papi!” Seru Yuna lirih tapi penuh emosi.
“Saya capek jadi boneka! Saya capek pura-pura baik-baik saja!”
Rizal terdiam. Tatapannya tak lepas dari gadis yang masih tersedu, tangan dan gaunnya sedikit kotor.
"Yuna..."
“Saya... akhirnya datang ke salon itu. Didandani seperti boneka. Duduk diam berjam-jam... demi acara yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa tujuannya. Saya tidak tahu siapa yang akan saya temui, tidak tahu siapa yang akan saya nikahi.”
Ia mengangkat wajahnya. Matanya bengkak, namun tajam.
“Tapi sepanjang duduk di sana, yang ada di kepalaku...” Yuna menggantung ucapannya.
Jantung Rizal berhenti berdetak sesaat.
“Saya tahu bapak menawari saya jalan keluar. Tapi waktu itu saya terlalu takut... terlalu bingung.”
Rizal terdiam, menunggu setiap kata keluar dari bibir Yuna seperti desahan angin yang membawa harapan.
“Kalau masih mau... Saya bersedia, ayo kita menikah pak.”
Air mata mengalir di pipi Yuna, tapi senyum pelan mulai terbentuk.
Hening. Lalu perlahan, Rizal mendekat. Mengangkat tubuh Yuna pelan, membantunya berdiri.
Di balik kantor yang kini sudah sepi, di antara lampu-lampu mati dan dinginnya lantai marmer, Rizal memeluknya. Pelan, penuh hati-hati, seolah takut gadis itu akan pecah jika disentuh terlalu keras.
“Baiklah, ayo kita menikah."
Perlahan Yuna membalas pelukan Rizal. Untuk pertama kalinya dia merasakan hangatnya pelukan Rizal.
Lalu Yuna dan Rizal duduk bersebelahan di sofa panjang ruang kerja Rizal yang sudah sunyi. Suasana kantor sudah sepi, cahaya lampu ruangan membuat bayangan mereka memanjang di dinding. Yuna memegangi ujung roknya yang sedikit sobek karena jatuh tadi. Lututnya berdarah, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak.