Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AWAL YANG SERIUS
Udara malam di kosan Maya terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu neon di lorong hanya menyala setengah, memantulkan cahaya pucat ke dinding yang mulai kusam. Maya membuka pintu kamar pelan-pelan, memastikan Nayla tidak terbangun. Gadis kecil itu tertidur meringkuk di sudut kasur, memeluk boneka kelincinya.
Maya duduk di kursi dekat jendela, memandangi layar ponselnya. Pesan terakhir dari Adrian masih terbuka.
"Aku butuh dokumen tambahan besok pagi. Sidang kemungkinan dimajukan."
Dada Maya terasa sesak. Ia baru saja berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu bergantung pada Adrian, tapi pesan itu mengubah segalanya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Nomor Adrian muncul di layar.
"Ya?" suaranya berusaha tenang, meski napasnya tidak.
"Aku sudah mulai gerakkan beberapa orang. Ada kemungkinan Reza mencoba langkah cepat lewat pengadilan. Kita nggak bisa santai," suara Adrian terdengar datar, tapi mengandung urgensi.
"Aku… ngerti. Jadi besok pagi aku harus—"
"—Bawa semua salinan dokumen, sertifikat rumah, dan bukti keuangan. Kalau ada rekaman atau pesan dari Reza, bawa juga. Aku mau kita punya amunisi penuh."
Maya terdiam sejenak. "Adrian… ini terlalu cepat. Aku belum siap."
"Kalau kamu nggak siap, Reza akan ambil Nayla sebelum kamu sempat bergerak. Pilihannya cuma itu."
Hening beberapa detik. Maya memejamkan mata. "Oke. Aku siapkan semuanya."
Adrian menghela napas di ujung sana, lalu berkata pelan, "Maya… aku tau ini berat. Tapi kalau mau menang, kita nggak bisa main aman." Sambungan telepon terputus begitu saja.
Keesokan paginya, matahari belum sepenuhnya naik ketika Maya menitipkan Nayla ke Bu Ina.
"Nay, ibu ada urusan sebentar. Main sama Tante Ina dulu ya," Maya membelai rambut anak itu.
Nayla menatapnya dengan mata bulatnya. "Ibu… ayah kapan ke sini? Nayla kangen…"
Senyum Maya menegang. "Ayah lagi sibuk, sayang. Tapi Nayla kan punya ibu di sini."
"Kalau ayah datang, Nayla mau peluk. Boleh?" tanyanya polos.
Maya mengangguk, meski hatinya terasa perih. "Boleh, asal ayah datang dengan hati baik."
Bu Ina muncul dari dalam rumah. "Tenang aja, May. Nayla aman sama saya. Urusan kamu cepat selesain aja."
"Terima kasih, Bu."
...----------------...
Di apartemen Adrian, aroma kopi hitam memenuhi ruangan. Maya meletakkan map besar di meja kaca.
"Itu semua data yang kamu minta," katanya pelan.
Adrian mengambil map itu, membuka lembar demi lembar, matanya tajam. "Oke. Dari sini, kita bisa bentuk tiga jalur: serang balik soal finansial, ungkit kelalaian Reza sebagai ayah, dan minta assessment psikolog anak."
"Serang balik?" Maya mengernyit. Tidak mengerti.
Adrian menatapnya. "Kamu pikir kita cuma bertahan? Kalau mau Nayla tetap di tangan kamu, kita harus bikin Reza jatuh sebelum dia sempat dorong kamu ke jurang."
"Dan kalau dia balas?"
"Biarkan dia balas. Aku sudah siapkan jalannya," ucap Adrian mantap. Tapi tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak ia ucapkan—seolah ada rencana cadangan yang Maya belum tahu.
Maya menarik napas panjang. "Adrian… kalau semua ini gagal?"
"Kalau gagal, berarti aku yang gagal. Dan aku nggak pernah mau gagal."
Maya menatapnya lama. Ada sisi dari pria ini yang membuatnya ingin percaya, meski ia tahu ada harga yang harus dibayar.
...----------------...
Hallo guys! Jangan lupa share cerita ini juga ke teman+teman kalian, like vote dan dukung terus cerita ini ya! Komen jg biar aku makin semangat melanjutkannya! Terimakasih, salam sayang dari aku~
kamu harus jujur maya sama adrian.