“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
Citra masih terpaku, pikirannya berkelana tak tentu arah. Apakah benar pria yang selama ini ia anggap arogan, sombong, dan congkak itu adalah salah satu anggota keluarga dari Nona Muda Ariestya berarti dia akan berhadapan setiap hari dengan pria yang sudah memberikan label cap sebagai musuh bebuyutan.
“Ya Tuhan… kalau ternyata pria yang mengira aku sengaja pansos, caper, dan cari muka di depannya itu memang bagian dari keluarga ini habislah hidupku,” Citra beberapa kali menghela nafasnya.
Citra sampai menegang panas dingin padahal baru memikirkan dan membayangkan tatapan sorot matanya Ardhanza.
“Padahal kan aku nggak sengaja menabraknya, bahkan menarik celananya itu juga karena kecelakaan. Tapi dia sudah bersumpah bakal cari perhitungan dan balas dendam kalau suatu hari kami bertemu lagi,” batinnya Citra, tubuhnya mulai tremor hanya menghayalkan kemungkinan pertemuan itu terjadi secepat ini.
Dadanya terasa sesak. Rasa was-was menguasai seluruh dirinya. Kalau benar takdir mempertemukan mereka kembali dalam waktu dekat ia tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya.
“Kalau memang kami harus bertemu yah sudah. Intinya aku nggak salah apa-apa,” cicitnya kemudian melirik ke arah beberapa orang yang sedari tadi memperhatikannya.
Citra sampai tersenyum hambar saking malunya karena kedapatan menghayal sehingga salah tingkah diperhatikan oleh orang lain.
“Selamat bekerja dan jangan pernah mengecewakan kami semua,” ucap Ariestya sebelum pergi.
“Makasih banyak, Nona Muda Ariestya, sudah menerima kami bekerja di rumah Anda,” ucap Citra sambil menundukkan kepala penuh hormat.
Suaranya terdengar tenang, namun tatapan matanya memancarkan tekad kuat untuk bekerja dengan baik mengingat dia adalah anak yatim piatu yang merantau di ibu kota Jakarta.
Alice dan Dirga berjalan menyusul Ariestya. Namun begitu mereka sejajar dengan Citra, langkah keduanya sontak berhenti.
Ada sepersekian detik keheningan terjadi seolah masing-masing menangkap aura keanggunan sekaligus ketegasan dari sosok Citra yang berdiri sopan di hadapan mereka.
Wanda yang berada sedikit di belakang hanya bisa memutar bola mata, kebingungan sendiri melihat interaksi itu.
Banyak pertanyaan beterbangan di kepalanya,” apa mereka udah saling kenal? Kenapa tumben Mbak Alice kelihatan ramah dan Pak Dirga kok serius banget?” Tapi ia memilih menahan diri untuk bertanya.
Baginya saat ini bukan waktu yang tepat untuk membuka mulut apalagi melayangkan banyak pertanyaan kepada temannya.
“Selamat datang di keluarga besar Tirtajaya Dewantara. Semoga Mbak betah bekerja di rumah kami,” ucap Alice ramah, sebelum kembali melangkah mengikuti Ariestya kakak sepupunya.
Dirga menyusul di belakang, tapi dengan gaya khasnya yang humoris, ia menepuk bahu Citra pelan sambil setengah berbisik, “Jangan tegang, santai saja. Soalnya bakal banyak kejadian yang akan kamu alamin di rumah ini. Jadi siapkan mental kamu. Tapi jangan bermental kayak tempe sama krupuk ya yang baru disentuh dikit langsung remuk.”
Sekilas suasana menjadi ringan. Beberapa pekerja lain menahan senyum.
Citra mengangkat wajahnya, senyum tipisnya terpatri di wajahnya tapi aura percaya dirinya menyelinap disela-sela senyuman itu.
Ia lalu membalas dengan nada santun tepat di antara humor dan keseriusan.
“Tenang, Mas Dirga,” balasnya pelan namun tegas.
“Kalau saya cuma bermental tempe atau kerupuk, saya nggak bakal kuat sampai di sini. Lagian setahu saya, tempe dan kerupuk itu enak kalau digoreng panas-panas. Tapi saya tidak akan mudah digoreng siapapun.” ujarnya.
Jawaban itu membuat Dirga terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa lepas.
“Wah… tajam tapi sopan. Saya suka perempuan yang tangguh seperti kamu,” ucapnya yang memuji Citra sembari memberi jempol ke arah Citra.
Alice yang sudah berada beberapa langkah di depan ikut menoleh, tersenyum tipis seolah mengakui kecerdasan Citra.
Ariestya yang memperhatikan dari jauh pun menoleh sekilas, menahan ekspresi. Ada rasa lega dan juga sedikit bangga, karena ternyata ia menerima pekerja yang bukan hanya sopan, tapi juga punya karisma dan mental baja.
Sementara Wanda hanya memelotot tak percaya. “Astaga… baru hari pertama kerja udah heboh begini.”
Citra tetap tersenyum kalem. Tidak berlebihan, tidak meremehkan dan penuh hormat, tapi juga tidak membiarkan dirinya dipandang lemah.
Dan sejak detik itu, seluruh anggota rumah besar Tirtajaya Dewantara tahu kalau Citra Aulia bukan sekadar pekerja baru. Ia adalah pribadi yang tahu cara menghormati tanpa harus kehilangan harga diri.
“Citra, Wanda ikut Bapak. Kalian harus bertemu dengan Nyonya Besar Hilda sebelum mulai bekerja,” pinta Pak Ridho, kepala pelayan yang selama ini menyayangi keduanya bak anak kandung sendiri.
Mungkin karena putri kandungnya hilang saat berusia dua tahun dan hingga kini tak pernah ditemukan, kasih sayangnya kepada Citra dan Wanda begitu besar padahal mereka kenalnya baru dalam hitungan hari saja.
“Baik, Pak!” jawab keduanya bersamaan.
Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor yang cukup luas menuju ruang pribadi Nyonya Besar Hilda.
Citra tak bisa menyembunyikan kekagumannya, matanya berkelana menatap setiap sudut rumah mewah itu, dari lukisan besar di lorong hingga lampu kristal yang menggantung megah di atas kepalanya.
“Masya Allah… ini rumah atau istana? Megah banget soalnya,” gumamnya yang tak henti-hentinya memuji kemegahan rumah itu.
Saat mereka hampir tiba di depan lift, tanpa sengaja mereka berpapasan dengan dua pelayan yang tampak kewalahan menggendong bayi kembar berusia enam bulan.
Tangis kedua bayi itu memenuhi seluruh lantai satu, melengking tinggi dan saling bersahutan, membuat suasana rumah yang awalnya tenang menjadi kacau balau.
Mereka adalah calon anak asuh Citra cucu pertama keluarga besar Tirtayasa Dewantara yang terlahir kembar ke dunia ini dan sekitar enam bulan lalu mamanya meninggal dunia dalam kecelakaan.
“Mayang, apa yang terjadi pada Nona Muda Jianira dan Tuan Muda Jaylani?” tanya Pak Ridho dengan raut wajahnya yang terlihat khawatir.
Mayang pelayan yang bertugas menjaga si kembar tampak kelimpungan. Wajahnya pucat, napasnya memburu karena kebingungan sekaligus dibuat pusing setengah hidup mengurus bayi aktif itu.
“Nggak tau juga, Pak. Dari tadi begitu bangun langsung rewel padahal sudah makan bubur, susu formula juga. Tapi masih nangis terus,” jawab Mayang putus asa.
Nani, asisten rumah tangga yang ikut bertugas menjaga si kembar sementara waktu, mengangguk cemas.
“Suhu badan mereka normal, nggak ada tanda sakit apapun, jadi kami benar-benar bingung, Pak.” jawabnya Nani.
Di tengah keributan itu, Citra terpaku. Suara tangis bayi yang memilukan itu seperti memukul hatinya.
Tanpa bisa menahan diri, air matanya menetes. Ingatannya kembali pada calon bayi yang pernah dikandungnya yaitu bayi mungil yang tak sempat lahir ke dunia ini dan harus meninggal dunia di usia delapan bulan di dalam perutnya karena ia terpeleset di kamar mandi.
“Ya Allah… kalau putriku masih hidup, pasti sekarang seumuran ini juga…” lirihnya dalam hati sambil mengusap perutnya yang baru beberapa minggu lalu sudah dioperasi.
Gerakan semua orang seketika terhenti ketika Citra melangkah mendekat. Tidak ada keraguan, tidak ada yang membuatnya canggung — seolah nalurinya sebagai seorang kakak, sebagai seseorang yang terbiasa mendamaikan hati kecil, langsung bekerja dengan sendirinya.
Dengan penuh ketulusan, Citra menyentuh punggung bayi itu. Tangannya mengusap perlahan, lembut, penuh ketulusan sambil menyelimuti bayi yang masih menangis keras itu.
“Cup… cup… jangan nangis ya, anak cantik nan sholehah,” bisiknya lirih.
Kemudian ia mengangkat tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. “Sini sama Aunty, anak cantik.”
Begitu berada di gendongan Citra, tangisan bayi itu masih tersengal namun tatapan semua orang berubah takjub melihat bagaimana gerakan Citra begitu alami, begitu penuh kasih.
Tanpa diminta, Citra kemudian mendekatkan pipinya ke kepala kecil itu dan mulai melantunkan shalawat dengan suara yang sangat lembut, nyaris seperti belaian.
“Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad…”
Tangisan bayi itu mulai mereda, Citra meneruskan, nada suaranya stabil, tenang dan menyapu seluruh ruangan dengan kehangatan yang sulit digambarkan.
Lalu pelan ia beralih melantunkan Asmaul Husna, satu per satu penuh ketulusan.
“Ar-Rahman…
Ar-Rahim…
Al-Malik…
Al-Quddus…”
Setiap nama Allah yang keluar dari bibirnya seperti menenangkan suasana dan udara sekitar menjadi sejuk. Bayi itu akhirnya berhenti menangis, hanya tersisa isakan kecil yang perlahan hilang, sebelum ia menempelkan tubuh mungilnya ke dada Citra, mencari kenyamanan.
Suasana ruangan berubah tenang karena suara tangisan tak terdengar lagi, bukan hening yang canggung, tetapi hening penuh rasa haru.
Semua orang saling pandang, tidak ada yang menyangka gadis yang selama ini dianggap ceria, kocak, dan sedikit usil itu ternyata memiliki sentuhan selembut itu, dan hati sebesar itu.
Citra tersenyum kecil sambil terus mengusap punggung bayi yang kini sudah tertidur pulas di pelukannya.
“Pinter sekali anak sholehah ini…” gumamnya pelan seolah hanya ia dan si kecil saja yang berada di tempat itu.
Keajaiban kecil terjadi. Dalam hitungan detik, tangis Baby Jia mereda. Matanya yang sembab menatap Citra, lalu terdengar isak kecil sebelum akhirnya bayi itu diam sepenuhnya.
Semua orang mematung, seolah tak percaya pada apa yang baru saja mereka lihat.
“Masya Allah… mbak Citra. Mantra apa yang Mbak bacakan sehingga baby Jianira bisa anteng seperti ini?” Tanyanya Nani yang ucapannya bernada pujian.
Pak Ridho tak mengalihkan pandangan dari Citra. Ia terlihat tak hanya kagum tetapi juga terharu melihat betapa alami dan telatennya gadis itu.
Baby Jia memegangi bagian dada baju Citra dengan tangannya yang mungil, kemudian berceloteh dengan suara serak.
“Mimi… mimi… cucu Mama…”
Keheningan menyelimuti ruangan itu karena semua orang fokus memperhatikan apa yang diperbuat oleh Citra dan bayi kembar itu.
Semua orang menoleh ke arah Citra wajah-wajah terkejut, namun sekaligus penuh harap. Citra sendiri menatap balik Pak Ridho, ragu namun ingin membantu.
“Pak Ridho bolehkah saya menyusui baby cantik ini?” suaranya lirih namun tulus.
Pak Ridho terdiam, karena keputusan itu bukan wewenangnya. Hanya Tuan Muda Ardhanza sebagai ayah dan Nyonya Besar Hilda sebagai nenek yang bisa menentukan.
Ketika ia hendak membuka suara, sebuah suara tegas namun lembut memecah keheningan.
“Silakan lakukan tugasmu, Nak.” titah nyonya besar Hilda yang datang tiba-tiba sehingga melihat dengan jelas Citra menyusui bayi-bayi mungil yang aktif itu.
Semua kepala spontan menoleh ke arah depan. Dari pintu besar berdaun dua yang menjulang tinggi, muncul sosok anggun berwibawa siapa lagi kalau bukan Nyonya Besar Hilda.
Tatapannya tajam namun penuh kehangatan saat memandang Citra yang menggendong cucunya.
“Karena sejak awal saya meminta Pak Ridho mencari baby sitter yang bukan hanya menjaga, tetapi juga memberikan ASI eksklusif untuk cucu-cucu kembarku,” ucapnya mantap.
Wanda, Mayang, Nani, dan pelayan lainnya serentak menunduk hormat. Sementara Citra berdiri di tempatnya, terpaku antara terkejut, tidak percaya, dan rasa haru yang bertabrakan di dadanya.
Di dalam pelukan Citra, Baby Jia kembali menggumam sambil menempelkan pipinya pada bahu perempuan yang baru dikenalnya itu seolah sudah menemukan rumah yang ia cari selama ini.
“Pak Ridho tunjukkan kamarnya Citra dan Wanda antar ke bagian koki. Berikan pelayanan terbaik untuk baby sitter cucu kembarku dan aku tidak ingin ada kekurangan apapun!” Titahnya Nyonya Besar Hilda.
Nyonya Hilda kemudian berjalan ke arah Citra yang giliran menggendong baby Jaylani karena baby Jianira sudah tertidur pulas di dalam box dalam sekejap setelah menyusui.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.