NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: MUKJIZAT KATA "AYAH" DAN KONFIRMASI DOA

Kapal yang Hilang di Batas Horizon

Bara bangun dari tidurnya yang singkat dan gelisah. Dingin yang menusuk segera menyergapnya dari tempat perlindungannya di antara Akar Bakau Gergasi. Malam yang ia lewati penuh dengan kilasan trauma air laut dan rasa bersalah karena gagal menunaikan bakti terakhir pada Ayahnya.

Ia memaksakan tubuhnya yang kurus untuk bangkit. Ia harus melakukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang fisik, untuk melawan kekalahan spiritual yang ia rasakan. Meskipun Syeikh Tua (Wali Allah) pernah memberinya nasihat tentang pentingnya ikhlas dan tidak berharap untuk pulang, Bara tidak bisa melawan naluri bertahan hidup yang mendesak.

Ia memanjat ke puncak tertinggi yang bisa ia jangkau di pulau itu. Udara pagi terasa lembap. Bara memicingkan mata.

Ia melihatnya. Sebuah titik kecil yang bergerak di kejauhan, benar-benar menyerupai kapal kargo kecil.

Harapan liar, sebuah emosi yang telah lama ia tekan demi Tawakal murni, kini melompat tak terkendali di dadanya. Harapan itu terasa begitu nyata, begitu kuat, hingga mengalahkan segala nasihat spiritual yang ia terima.

“Kapal!” serak suara Bara, tercekat di tenggorokan karena dehidrasi.

Ia segera berlari menuruni bukit. Ia mengumpulkan semua helai daun kering, berusaha keras membakarnya untuk menghasilkan asap. Ia berhasil memicu bara yang lemah, tetapi asap yang dihasilkan sangat tipis dan tersapu angin laut.

Bara kembali ke puncak, melambaikan sisa bajunya yang robek dengan panik. “Di sini! Tolong! Aku di sini!” teriaknya putus asa.

Kapal itu terus bergerak.

Bara berdiri membeku, menyaksikan dengan kengerian yang semakin mendalam. Kapal itu tidak melihatnya. Kapal itu bergerak menjauh, melewati pulaunya, semakin lama semakin mengecil, hingga akhirnya lenyap ditelan lengkungan horizon.

Bara jatuh terduduk di atas batu cadas yang kasar. Patah hati yang ia rasakan kali ini jauh lebih buruk daripada keterasingan yang ia rasakan selama ini. Ini adalah ujian Tawakal yang paling brutal—melihat harapan yang nyata dan logis, lalu diambil kembali dengan kejam oleh takdir.

“Kenapa Engkau tunjukkan jika Engkau akan mengambilnya kembali?!” Bara berteriak lagi, memukul batu di sampingnya dengan tangan kosong.

Luka Fisik Karena Frustrasi

Pukulan itu menghasilkan bunyi yang mengerikan. Bara menarik tangannya. Telapak tangannya kini mengeluarkan darah segar, membasahi cadas. Rasa sakit fisik karena pukulan itu seolah lebih mudah diterima daripada rasa sakit spiritual karena ditinggalkan. Ia merasa lebih mudah menghadapi luka fisik dan rasa lapar daripada kekecewaan rohani.

Ia kembali ke Cadas Sunyi. Luka di tangannya perih, tetapi ia harus menulis. Alat tulisnya hampir habis. Ia harus segera menulis ulang doa-doa yang rusak akibat hujan yang lalu, ia harus menunaikan tugas spiritualnya, karena ikhtiar fisiknya terbukti sia-sia.

Bara membersihkan luka di telapak tangannya dengan air laut. Ia duduk, membuka Buku Doa Musafirnya, dan memaksa dirinya untuk kembali fokus.

Aku tidak boleh melanggar janji ikhlas. Aku gagal. Aku menghukum diriku. Bara merasakan rasa bersalah yang mendalam. Ia telah melanggar salah satu inti Tawakal, yaitu bergantung pada hasil, bukan pada proses ikhtiar.

Ia mencoba menulis, tetapi tangannya gemetar. Air matanya menetes, bukan karena rasa sakit fisik, tetapi karena frustrasi spiritual yang mendalam. Ia merasa terputus dari Rina dan anak-anaknya. Ia merasa gagal lagi sebagai suami dan ayah.

Ia memeluk buku itu ke dadanya yang cekung, membiarkan tubuhnya bersandar ke batu. Kelelahan dan dehidrasi membuatnya pusing. Ia memejamkan mata, membiarkan semua rasa sakit bercampur.

Konfirmasi Suara yang Mengguncang Jiwa

Ribuan kilometer jauhnya, di rumah, Rina berusaha mengabaikan Bulu Merak yang ia temukan (sebagai Karomah yang samar), sekaligus menekan kecemasan tentang Mala yang semakin mengasingkan diri dari komunikasi.

Ia sedang menjalankan terapi sederhana di ruang tengah. Ia membacakan cerita anak-anak untuk Arka, cerita tentang seorang pelaut pemberani yang berjanji akan kembali. Ia menggunakan cerita ini untuk menenangkan dirinya sendiri.

“Ayah sedang di sana, Nak,” bisik Rina, menunjuk gambar perahu layar di buku cerita. “Ayah sedang mencari jalan pulang, seperti yang Ayah janjikan.”

Arka duduk di pangkuannya, tenang, membiarkan Rina membacakan cerita. Rina melanjutkan, menunjuk gambar perahu sekali lagi.

“Kapal Ayah. Kapal.”

Tiba-tiba, Arka mengangkat kepalanya. Matanya yang besar dan hitam menatap Rina dengan pandangan yang tenang dan lurus. Senyum kecil muncul di bibirnya—senyum yang sangat berbeda dari ekspresi kosong biasanya.

Kemudian, dengan intonasi dan artikulasi yang jelas, sebuah kata yang tidak pernah Rina dengar sejak diagnosis Arka, keluar dari mulutnya:

“Ayah.”

Rina membeku. Buku cerita di tangannya jatuh ke lantai. Suara itu begitu jelas, begitu sempurna, bukan gumaman tak berarti yang biasa ia dengar.

“Apa yang kamu bilang, Sayang? Ulangi!” seru Rina, hampir menjerit.

Arka hanya bersandar lagi ke dada Rina, senyumnya tetap ada. Kata itu tidak terulang, tetapi Rina yakin ia mendengarnya.

Ini adalah Mukjizat. Ini adalah konfirmasi nyata bahwa doa Bara yang pernah ia tulis di Buku Doa Musafirnya agar Arka merindukannya, kini benar-benar didengar dan dikabulkan.

Rina melepaskan tangisnya, tangis kebahagiaan murni, yang ia tahan sejak ia memutuskan untuk mencari kekuatan spiritual.

“Ayah, Ayah… dia bisa bicara, Bara! Dia bilang ‘Ayah’!” Rina terisak, memeluk Arka erat-erat. “Ini bukti! Ini konfirmasi! Kau tidak sendiri, Sayang!”

Tawaran Bisnis dan Krisis Keutuhan

Tepat di tengah euforia spiritual itu, telepon rumah berdering nyaring, memutus momen sakral tersebut. Rina ragu, tetapi terpaksa mengangkatnya.

“Halo?”

Itu adalah Bunda Ida, suaranya dipenuhi urgensi dan nada marah. “Rina! Kenapa kau sulit sekali dihubungi? Ibu sudah bilang, ini penting!”

“Bu, Ibu harus dengar ini! Arka bicara! Dia bilang ‘Ayah’! Ini keajaiban!” Rina berusaha menahan kegembiraan dalam suaranya.

Bunda Ida mendengus skeptis di ujung telepon. “Kau yakin itu bukan halusinasi kelelahanmu, Rina? Sudahlah, jangan membuang waktu. Herman sudah di telepon, dia punya tawaran investasi yang bagus sekali—bisa menyelamatkan kita dari utang. Dia butuh keputusanmu sekarang! Kita harus kembali ke logika, Rina!”

Ini adalah pengujian sempurna. Tepat setelah Rina menerima konfirmasi spiritual (Mukjizat Arka), tekanan logis dan finansial (Tawaran Bisnis/Bunda Ida) segera menuntut perhatiannya.

“Aku tidak bisa, Bu,” jawab Rina, suaranya tegas. “Aku tidak akan menerima tawaran bisnis apa pun hari ini. Aku tidak peduli dengan uang itu sekarang. Arka bicara, Bu! Ini lebih penting daripada menyelamatkan rumah!”

“Rina! Kau tidak bisa membayar utang dengan keajaiban! Ibu akan bicara dengan Herman dan mengambil alih keputusan itu. Kau fokus saja pada ‘mukjizat’ konyolmu itu!” Bunda Ida menutup telepon dengan bentakan.

Rina meletakkan telepon, tidak peduli dengan kemarahan ibunya. Ia kembali memeluk Arka, tetapi kini ia menyadari bahwa kegembiraan besar ini terasa hampa karena Mala tidak mau berbagi.

Ia segera mencoba menghubungi Mala lagi. Mala yang sudah menjauh karena merasa diabaikan, tidak menjawab panggilan Rina.

Rina meninggalkan pesan suara yang penuh kebahagiaan dan kelegaan: “Mala, Sayang! Dengarkan ini! Arka bicara! Dia bilang ‘Ayah’! Ayah mengirimkan kita mukjizat, Nak! Bukti bahwa dia berjuang! Hubungi Ibu segera, ya Sayang!”

Rina membiarkan pesan suara itu terkirim. Ia memeluk Arka, merasakan hangat tiba-tiba menjalar dari dadanya.

Luka yang Menolak Percaya

Setelah meninggalkan pesan suara yang penuh sukacita, Rina berjalan ke kamar Mala. Ia harus menyampaikan kabar ini secara langsung. Keajaiban ini terlalu besar untuk ditolak.

Mala duduk di tepi ranjangnya, sibuk menggambar di buku catatan. Gadis itu tidak mendongak saat Rina masuk. Keheningan di kamar itu terasa lebih dingin.

“Mala, Sayang. Kamu harus lihat Arka. Dia bicara,” kata Rina, nadanya mendesak.

Mala akhirnya mendongak, matanya sedikit bengkak, tetapi ia menatap Rina dengan tatapan yang dingin, penuh keraguan. “Aku dengar pesan suara Ibu. Aku tidak percaya.”

Rina duduk di sampingnya, memegang tangan Mala yang terasa kaku. “Kenapa kamu begitu yakin menolaknya, Nak? Itu adalah jawaban dari doa Ayahmu!”

“Itu hanya kebetulan, Bu,” balas Mala, suaranya pelan namun tegas. “Dia anak yang berkebutuhan khusus. Dia bisa mengeluarkan kata acak kapan saja. Itu bukan mukjizat, itu cuma suara. Kenapa Ibu tidak fokus pada hal yang nyata? Kenapa Ibu tidak fokus pada fakta bahwa kita akan kehilangan rumah ini kalau kita tidak menanggapi tawaran Paman Herman?”

Mala menggunakan logika Bunda Ida untuk menangkis harapan spiritual Rina. Ia menolak menjadi bagian dari keajaiban yang seolah hanya ditujukan kepada Arka. Luka karena merasa tidak penting kini semakin menganga lebar.

“Ayahmu mengajarkan kita bahwa ikhtiar terbesar bukanlah uang, tapi keyakinan, Mala,” Rina mencoba menenangkan. “Arka bicara karena Ayahmu berdoa agar dia bisa berkomunikasi. Itu adalah penebusan janji Ayahmu yang merasa gagal menjadi ayah untuk Arka di masa lalu.”

“Kalau Ayah sefokus itu pada doa, kenapa dia tidak berdoa agar kita punya uang?” Mala menarik tangannya dari genggaman Rina. “Kenapa dia tidak berdoa agar aku tidak merasa sendirian? Aku butuh bukti nyata, Bu. Bukti yang bisa aku pegang, bukan hanya kata-kata aneh Arka yang tidak bisa diulang.”

Rina memeluk Mala erat-erat. Gadis itu tidak membalas pelukan itu, tetapi ia membiarkan Rina memeluknya.

“Ibu tahu kamu sakit, Nak. Ibu tahu kamu merasa ditinggalkan,” bisik Rina di rambut Mala. “Tapi Ibu janji, Ayah pasti akan memberikan bukti untukmu juga. Kamu adalah Nirmala, cahaya Ayah. Ayah tidak akan pernah melupakanmu.”

Rina menyadari, ia tidak bisa memaksakan Mala untuk percaya. Luka Mala terlalu dalam. Ia harus menunggu keajaiban spiritual yang ditujukan langsung pada Mala.

Kehangatan Sinkronisasi

Rina kembali ke ruang tengah. Keheningan rumah terasa aneh, seolah ada jeda dalam tekanan yang memburunya. Ia kembali memeluk Arka yang kini tenang di sofa. Arka memejamkan mata, memeluk erat baju Bara yang biasa ia jadikan selimut.

Saat Rina memeluk Arka, ia merasakan gelombang hangat tiba-tiba menjalar dari dadanya, menyebar ke seluruh tubuh. Rasa hangat itu begitu intens, mengalahkan rasa dingin dari kelelahan emosi yang sering ia rasakan. Ia menutup matanya, membiarkan kehangatan Divine Echo ini menenangkan jiwanya yang tegang. Ia tahu, meskipun Mala menolak dan Bunda Ida mengancam, ia tidak lagi sendirian. Keajaiban itu nyata.

Ribuan kilometer jauhnya, di Pulau Cadas Sunyi, Bara sedang bersandar di batu, memeluk Buku Doa Musafirnya. Rasa sakit dari luka di telapak tangannya (yang ia pukulkan karena frustrasi kehilangan kapal) masih terasa menusuk.

Namun, saat Rina memeluk Arka, Bara merasakan hal yang sama. Rasa hangat yang sangat samar tiba-tiba merambat dari dalam dadanya, tepat di atas luka spiritual dan fisik yang ia rasakan. Rasa hangat itu begitu menenangkan, mengalahkan rasa sakit akibat kehilangan kapal. Itu adalah Divine Echo kedua yang ia rasakan.

Apakah ini jawaban? Bara bertanya-tanya, pandangannya tertuju pada laut yang tenang. Apakah ini tanda bahwa ikhtiarku telah diterima, meskipun aku gagal menahan harapan?

Ia menatap langit, kelelahan memaksanya menyerah pada harapan. “Aku sudah menyerahkan semuanya, ya Allah. Aku menerima nasib ini. Aku menerima kekecewaan ini. Aku menerima kesendirian ini.”

Tepat pada saat Bara mencapai puncak kepasrahan itu, sebuah daun kering kecil, berwarna hijau gelap kusam, melayang dari atasnya. Itu adalah daun Pohon Cemara Laut, salah satu flora di pulau itu.

Daun itu jatuh tepat di atas luka di telapak tangannya. Bara memungutnya. Daun itu terasa hangat. Ia menggenggam daun itu, merasakan koneksi spiritual yang kuat, konfirmasi bahwa ia harus terus bertahan. Ia menyimpannya di saku kemejanya yang robek.

Bara menutup matanya, membiarkan kelelahan memaksanya tidur, kali ini tidur yang lebih damai.

Di rumah, Rina merasakan kantuk yang luar biasa. Ia menidurkan Arka di kasurnya, lalu merebahkan diri di sampingnya. Ia memeluk Arka, merasakan sisa kehangatan itu. Ia tidak peduli dengan Bunda Ida. Ia tahu ia tidak lagi sendirian.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!