Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#2
Happy Reading...
.
.
.
Keesokan harinya, suasana kantor sudah ramai ketika Rania tiba. Waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit, lebih lambat dari biasanya. Kantor konsultan itu biasanya mulai sibuk sejak pagi, tetapi hari ini tampak berbeda. Beberapa orang terlihat menunggu, berkumpul tidak jauh dari meja kerja Rania.
Jordi berdiri paling depan bersama tiga rekan lainnya. Wajah mereka tampak tidak sabar, beberapa bahkan menunjukkan ekspresi tidak senang ketika melihat Rania memasuki ruangan. Begitu ia berjalan mendekat, percakapan yang sebelumnya terdengar ramai perlahan mereda.
“Rania.” Suara Jordi meluncur cepat. “Kamu tahu kita sudah menunggumu dari tadi?”
Rania berhenti sesaat, menarik napas pelan sebelum menjawab, “Aku… maaf. Aku kesulitan tidur semalam.”
Namun alasan itu tampaknya tidak cukup bagi mereka. Salah satu rekan kerjanya Dila, ikut berbicara.. “Tadi pagi Bu Hana sudah menanyakan berkas yang kamu kerjakan semalaman itu. Kami semua butuh itu untuk meeting jam sebelas. Kamu yang janji malam kemarin akan menyelesaikannya.” celoteh Dila.
Rania tersentak. “Aku sudah selesai mengerjakannya. Tinggal menyesuaikan formatnya sedikit.”
“Masih belum selesai?” Dila memutar bola matanya. “Astaga, Ran. Kamu biasanya tidak begini.”
Ucapan itu menusuk, meski nadanya tidak terlalu keras. Seolah Rania telah mengecewakan seluruh ruangan hanya karena datang terlambat satu kali.
Jordi melangkah lebih dekat, suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya. “Kamu janji membantu aku untuk presentasi klien hari ini. Kalau berkasnya terlambat, semua jadwal mundur.”
Rania menunduk. “Aku mengerti. Aku akan selesaikan sekarang.”
Meski tutur katanya tenang, jantungnya berdetak cepat. Ia merasa seolah seluruh tekanan kantor mengarah padanya seorang. Rekan-rekan lain memandangnya seakan ia adalah sumber masalah.
Rania berjalan ke mejanya, meletakkan tas lalu menyalakan komputer dengan gerakan terburu-buru. Jemarinya bergetar ringan. Ruangan itu terasa sesak, seperti dinding-dindingnya perlahan mendekat seolah akan menghimpitnya.
Tidak ada satu pun yang bertanya apakah ia baik-baik saja. Tidak ada yang menanyakan mengapa Rania terlambat atau apakah ia pulang dengan selamat. Yang mereka pedulikan hanyalah pekerjaan yang harus Rania selesaikan.
Jordi mendekat lagi, berbicara lebih pelan tetapi tetap terdengar menuntut. “Ran, kalau kamu sudah menyelesaikannya beri tahu aku ya? Aku butuh waktu untuk review ulang.”
Rania mengangguk perlahan. “Iya, nanti aku akan memberitahu kamu.”
Saat Jordi kembali ke mejanya, Rania menghela napas untuk kesekian kali. Tekanan yang dirasakan Rania itu tidak pernah pergi, justru semakin tebal. Ia membuka berkas yang dikerjakan semalam, memastikan setiap data sesuai dan tidak ada kesalahan sedikit pun. Matanya sedikit perih, mungkin karena kurang tidur atau mungkin juga karena menangis semalam sebelum akhirnya ia memejamkan mata.
Beberapa menit kemudian, Dila kembali berdiri di samping meja Rania. “Ran, sudah sampai mana? Bu Hana menanyakannya lagi.”
Rania menahan diri untuk tidak menjawab dengan nada tinggi. “Sedang finalisasi. Lima menit lagi.”
“Ya sudah. Tolong cepat, ya.” Dila pergi tanpa menunggu jawaban.
Rania memejamkan mata sejenak. Sungguh, ia merasa hidup di bawah tekanan. Semua orang menaruh ekspektasi tinggi padanya. Semua orang menganggapnya mampu melakukan apa pun dengan sempurna. Namun tidak ada satu pun yang pernah bertanya apakah ia sanggup.
Dia mengetik cepat, menyelesaikan bagian terakhir lalu memeriksa formatnya. Begitu yakin hasilnya sudah layak dikirim, ia berdiri dan membawa berkas itu ke ruang meeting tempat Jordi dan rekan lainnya menunggu.
“Ini berkasnya,” ucapnya pelan namun jelas.
Jordi langsung mengambilnya. “Akhirnya. Terima kasih, Ran.”
Namun nada itu lebih terdengar sebagai kelegaan karena pekerjaannya terselesaikan, bukan sebagai penghargaan atas usaha Rania yang begadang semalaman.
“Nanti tolong siapkan backup-nya juga, ya?” Saut salah satu rekan lain yang duduk di dalam ruangan.
Rania hanya bisa mengangguk lagi.
Setelah ia keluar dari ruangan, langkahnya terasa berat. Seakan setiap kaki yang ia gerakkan membawa beban tambahan yang tidak terlihat oleh orang lain.
Ia kembali ke mejanya dan duduk dalam diam, memandangi layar komputer yang sudah gelap karena belum disentuh sejak tadi. Ada rasa lelah yang menumpuk, lelah secara fisik, mental dan emosional.
Untuk sesaat, Rania berpikir… jika ia menghilang satu hari, apakah ada yang memperhatikan? Atau apakah mereka hanya akan panik karena pekerjaan tidak selesai?
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, namun rasa sesaknya semakin nyata.
Dan di tengah hiruk pikuk kantor yang kembali sibuk, Rania duduk sendirian. Terjebak dalam ekspektasi yang seolah tidak pernah memberi ruang bagi dirinya sendiri.
.
.
.
Malam itu ketika Rania akhirnya pulang dalam keadaan sangat lelah dan kelaparan, rumahnya kembali terasa dingin dan sepi. Lampu ruang tengah menyala redup, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan lain. Ia berjalan menuju meja makan dengan harapan sederhana, menemukan sesuatu untuk dimakan. Namun yang ia temukan hanyalah penutup makanan yang tertutup rapi, tanpa apa pun di dalamnya. Lagi-lagi kosong.
Rania menatap meja itu lama sebelum menutup kembali penutup makanan tersebut. Helaan napasnya panjang dan berat, seolah seluruh beban hari itu menumpuk di dadanya.
Baru saja ia hendak melangkah menuju kamar, suara ibunya, Melisa, terdengar dari arah dapur. “Rania, kamu pulang.”
Rania menengok. “Iya, Bu.”
Melisa menghampirinya. “Kamu tidak beli makanan? Mama kira kamu sudah makan di luar.”
“Aku belum makan dari siang,” jawab Rania pelan.
Melisa mendengus kecil. “Kenapa tidak bilang? Kamu itu sudah dewasa, Ran. Masa hal begitu saja harus Mama yang pikirkan terus?”
Rania mengerjap, mencoba tetap tenang meski hatinya terasa ditusuk. “Aku pulang terlambat, Ma. Aku kira mungkin Mama sempat masak atau sisakan sedikit makanan untukku.”
“Mama capek, Ran. Kamu pikir Mama tidak punya pekerjaan? Jangan semua kamu bebankan ke Mama,” ujar Melisa dengan nada meninggi.
Rania menahan napasnya. “Aku tidak minta banyak, Ma. Aku hanya… lelah.”
“Semua orang juga lelah!” sahut Melisa cepat. “Kamu bekerja, Mama juga bekerja. Jangan manja.”
Ucapan itu menghantam Rania lebih keras daripada teriakan mana pun. Sejak kecil, ia terbiasa mengalah. Tetapi malam itu, ia merasa tidak punya tenaga lagi.
“Baik, Bu. Aku tidak akan minta apa-apa,” ucap Rania akhirnya, suaranya terdengar datar.
Ia berjalan melewati ibunya tanpa menoleh lagi. Melisa memanggil namanya, tetapi Rania tidak berhenti. Ia melangkah masuk ke kamarnya, menutup pintu pelan, lalu membiarkan dirinya jatuh ke atas kasur.
Kepenatan itu bukan hanya soal tubuh yang lelah bekerja seharian atau lambung yang kosong sejak siang. Lebih dari itu, ia merasa jiwanya terus menerus menerima tuntutan yang datang dari segala arah. Dari kantor, keluarga bahkan hubungan yang seharusnya memberinya kedamaian.
Rania menatap langit-langit kamarnya. Cahaya lampu kamar yang redup membuat pikirannya melayang ke banyak arah.
Monoton.
Itu kata yang menggambarkan hidupnya belakangan ini. Setiap hari terasa seperti pengulangan yang tidak pernah berakhir. Rapat, presentasi, evaluasi yang melelahkan lalu pulang seolahhanya untuk bertengkar dengan keluarga seperti ini.
“Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?” pikirnya.
“Hidup di bawah tekanan orang-orang yang bahkan tidak peduli dengan keberadaanku?”
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, menimbulkan perasaan sesak yang sulit dijelaskan. Rania tahu ia hampir mencapai batasnya. Ia sudah berusaha menjadi anak yang bertanggung jawab, karyawan yang bisa diandalkan, kekasih yang selalu membantu. Tetapi tidak pernah ada ruang untuk dirinya sendiri.
Hening malam menemani kegelisahannya. Tidak ada suara dari luar kamar, hanya dengusan napasnya yang terdengar berat. Perlahan, kelopak matanya menutup tetapi pikirannya tetap melayang.
Di tengah kelelahan yang menguasainya, Rania belum menemukan jawaban. Ia hanya tahu satu hal, jika terus begini ia mungkin tidak akan sanggup bertahan.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...