Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: jeda yang Sempurna
Aku bangkit dari meja, berusaha terlihat tenang. Nafasku pendek dan cepat.
"Kak Naira, Mas Raka, aku izin ke toilet sebentar," kataku, berusaha menjaga suara agar tetap datar.
"Tentu, Lun. Jangan lama-lama," jawab Naira, sibuk menyesap wine.
Aku melangkah keluar dari ballroom yang gemerlap, merasakan tatapan Raka membakar punggungku. Ada sekitar dua ratus tamu di sana, dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu aku sedang menuju jurang.
Aku naik ke lantai dua. Koridor di lantai ini sepi, jauh dari keramaian acara di bawah. Aku menemukan toilet dan segera mencari ruang maintenance di dekatnya.
Pintu itu berwarna abu-abu, tanpa jendela, dan sedikit tersembunyi. Aku mengetuk dua kali, sesuai kode yang kami sepakati.
Pintu terbuka. Raka berdiri di sana, mengenakan jas hitamnya yang mahal, namun dengan dasi yang sudah sedikit longgar. Ekspresinya tidak lagi ramah seperti di ballroom; ini adalah Raka yang haus, yang jujur, yang terlarang.
Dia menarikku masuk, menutup pintu dengan bunyi klik yang terasa seperti segel rahasia.
Ruangan itu kecil dan pengap. Bau pembersih lantai dan sedikit debu. Di tengah kemewahan hotel, ruangan ini adalah lubang hitam kami. Hanya ada satu lampu kecil yang memancarkan cahaya redup.
"Kamu datang," katanya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
"Aku... aku tidak bisa menolaknya, Mas," bisikku.
Dia tidak menunggu lagi. Dia melangkah maju, menjepitku ke dinding. Tubuhnya yang tinggi dan keras menempel padaku, segera memutus semua jarak.
"Aku capek berpura-pura di bawah sana," geramnya, dan sebelum aku sempat merespons, bibirnya sudah menemukan milikku.
Ciuman itu brutal, menuntut, dan penuh amarah yang tertahan. Itu adalah pelepasan ketegangan dari hari-hari berpura-pura, dari chat rahasia, dari sentuhan di mobil. Dia menciumku seolah-olah dia sedang mengambil kembali apa yang selama ini menjadi miliknya.
Tanganku tanpa sadar mencengkeram jasnya. Aku bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, menyaingi detak jantungku yang kacau.
"Aku ingin kamu tahu," bisiknya, melepaskan ciuman hanya untuk sesaat, dahi kami menempel, "bahwa ini adalah jeda yang sesungguhnya. Jeda dari Naira, dari peran, dari semuanya."
Tiba-tiba, dia menggeser tubuhnya sedikit, dan tangannya bergerak cepat. Dalam hitungan detik, dia sudah membuka beberapa kancing kemejaku yang tersembunyi di balik jas. Aku merasakan udara dingin menyentuh kulitku, dan aku menggigil.
Aku menarik napas, terkejut. "Mas, tidak di sini. Kita bisa ketahuan."
"Itulah bagian terbaiknya," bisiknya, senyumnya dingin dan memabukkan. "Di mana pun Naira berada, dia tidak akan pernah menduga. Dia bahagia di bawah sana, dan kita lebih bahagia di sini."
Dia kembali menciumku dengan intens, tapi kali ini tangannya mulai menjelajah dengan lebih berani, mengusap punggungku dan kemudian berhenti di area pinggangku, tepat di bawah kain.
Tiba-tiba, ada suara.
Langkah kaki pelan di koridor luar.
Kami berdua membeku. Napas Raka terhenti di tengkukku.
"Ssssttt," dia mendesis, memperingatkanku.
Langkah kaki itu semakin dekat, dan berhenti tepat di luar pintu abu-abu kami. Ada suara dengungan pelan, mungkin seseorang sedang menggunakan ponsel.
Raka tidak bergerak. Dia tetap menempel padaku, menggunakan tubuhnya untuk menahan dan menyembunyikanku, seolah kami adalah satu bayangan. Keadaan kami sangat rentan: kancing kemejaku terbuka, dan detak jantung kami berdua terasa begitu keras di keheningan.
Jarak kami dan orang di luar pintu hanyalah selembar kayu tipis.
Ketegangan itu terasa mencekik, lebih intim daripada sentuhan apa pun. Raka memanfaatkan momen bahaya ini. Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku.
"Lihat," bisiknya, suaranya sangat rendah dan penuh kemenangan. "Inilah kontrol. Ketegangan ini membuatku gila. Kamu sudah tahu betapa berkuasanya kita, Lun."
Dia kembali menciumku. Bukan ciuman gairah, tapi ciuman kemenangan. Ciuman yang mengatakan, Kita berhasil. Kita tidak tertangkap. Kita lebih pintar dari mereka.
Beberapa detik kemudian, langkah kaki itu menjauh. Kami menunggu hingga koridor kembali sunyi.
Raka melepasku perlahan. Kemejaku berantakan, dan bibirku bengkak.
"Aku harus kembali sebelum Naira curiga. Kamu beri jeda lima menit," katanya, membenarkan dasinya dengan cepat. Dia terlihat tenang, seolah dia hanya baru selesai buang air.
Sebelum dia pergi, dia meraih wajahku dengan kedua tangan, menatapku dalam-dalam.
"Malam ini kamu akan kembali ke kamarmu dan memeluk hoodie itu lagi. Tapi kali ini, kamu akan memeluknya sambil ingat apa yang baru saja terjadi di sini."
Dia mencium keningku dengan lembut, lalu membuka pintu dan menghilang.
Aku terhuyung. Aku merapikan kemejaku, memasang kembali kancing yang terbuka dengan tangan gemetar.
Aku baru menyadari. Ini bukan jeda. Ini adalah awal dari kehancuran.
Aku melihat bayanganku di cermin toilet. Mataku liar dan bibirku merah. Aku telah melewati batas yang tidak bisa ditarik kembali.
Aku keluar, kembali ke ballroom yang ramai. Aku melihat Raka duduk di sebelah Naira, tersenyum dan bercerita. Dia tampak begitu damai, begitu suci.
Dia mendongak dan melihatku. Kali ini, tatapan matanya tidak lagi genit. Itu adalah tatapan kepemilikan.
Aku sudah menjadi miliknya.