NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5

Ruang rapat di lantai tiga Direktorat Reserse Kriminal Umum telah disulap menjadi pusat komando. Dinding krem kusam itu kini hilang di balik tiga papan tulis putih, yang dengan cepat terisi oleh foto-foto TKP yang mengerikan, diagram alur waktu, dan daftar nama yang terus bertambah. Aroma kopi kental yang basi dan bau AC yang terlalu dingin menggantung di udara, bercampur dengan suara ketukan keyboard yang konstan.

Di tengah semua itu, AKP Daniel Tirtayasa berdiri seperti pusat badai yang tenang, mengamati timnya.

Ini adalah fase pertama: otopsi terhadap kehidupan korban. Tugas mereka adalah membedah siapa Lukas Santoso, menelanjangi setiap lapisan hidupnya untuk menemukan dari mana datangnya pisau yang mengakhiri semuanya.

Tugas itu langsung melahirkan dua potret manusia yang mustahil untuk didamaikan.

Di satu sisi, tim arsip kriminal memproyeksikan catatan lama Lukas "Si Macan" Santoso ke layar besar. Foto hitam-putih dari dua puluh tahun lalu menunjukkan seorang pria dengan tatapan liar dan rahang yang mengeras. Di sampingnya, terdaftar serangkaian kejahatan yang brutal.

“Lukas Santoso, alias Si Macan,” seorang analis membacakan dengan nada datar. “1995, penyerangan dengan senjata tajam. 1998, pemerasan terorganisir, Pasar Tanah Abang. 2001, penganiayaan berat, korban cacat permanen. 2004, dugaan pembunuhan, kasus dihentikan. Saksi kunci menarik kesaksian setelah rumah orang tuanya terbakar.”

Setiap entri adalah gema dari kehidupan tanpa ampun. Laporannya penuh dengan nama rival dan korban.

“Teori terkuat adalah balas dendam,” kata Iptu Hasan, seorang detektif senior, sambil menunjuk ke daftar panjang di papan. “Ini adalah daftar orang yang pernah diinjak Lukas. Keluarga korban, geng saingan. Pembunuhan ini memang rapi, tapi mungkin saja pelakunya menyewa profesional. Motifnya jelas: masa lalunya datang menagih utang.”

Banyak kepala di ruangan itu mengangguk. Teori itu logis, sederhana, dan sesuai pengalaman.

Daniel mendengarkan, menyerap. Logis, pikirnya. Sederhana. Dan salah.

Pikirannya kembali ke analisis Samuel di kapel. Presisi. Dekonstruksi. Menghindari arteri.

Preman tidak membunuh seperti itu, batin Daniel. Preman pakai parang, bukan skalpel. Preman akan meninggalkan mayat di selokan sebagai pesan, bukan menatanya di depan altar. Mereka salah berburu.

Saat itulah Ipda Adit, yang baru kembali dari yayasan, mendekati Daniel. Wajah detektif muda itu tampak lelah dan sangat bingung.

“Ndan,” Adit memanggil pelan, suaranya sarat keraguan.

“Bagaimana di sana?” tanya Daniel.

“Itulah, Ndan. Saya bingung.” Adit menunjuk ke papan tulis yang penuh dengan catatan kejahatan Si Macan. “Di papan itu, dia iblis. Tapi di yayasan... dia malaikat.”

Adit menceritakan hasil wawancaranya. Tentang Bu Ijah, si juru masak, yang menangis tersedu-sedu saat bercerita tentang pria yang memastikan bubur kacang hijau selalu hangat untuk anak-anak.

“Bu Ijah bilang, Pak Lukas pernah bilang padanya, ‘Luka tidak bisa disembuhkan dengan luka, Jah. Hanya dengan kasih.’ Bagaimana orang seperti itu bisa…”

Adit juga menceritakan kisah Toga, mantan pencopet remaja. Toga mencopet dompet Lukas, isinya hanya tujuh puluh ribu. Bukannya melapor polisi, Lukas malah mencarinya ke kolong jembatan.

“Dia kasih sisa uangnya, Ndan,” kata Adit, suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang, ‘Ambil. Tapi besok, datang ke yayasan. Aku kasih kamu makan, bukan uang.’ Anak itu bilang Pak Lukas memberinya harga diri. Mereka semua di sana menangis seperti kehilangan bapak kandung. Jadi... yang mana yang benar, Ndan? Yang mana Lukas Santoso yang sebenarnya?”

Daniel menatap mata Adit. Ia melihat kebingungan yang jujur. “Keduanya benar, Adit. Dia adalah si pendosa sekaligus si santo. Dan itulah inti masalahnya.”

Pertanyaan Adit mengkonfirmasi apa yang sudah dirasakan Daniel. Ini bukan kasus balas dendam preman biasa.

“Terus gali daftar musuhnya,” perintah Daniel pada Iptu Hasan, tidak menampik teori mereka secara langsung. “Aku mau laporan keberadaan mereka semua.”

Sambil membiarkan timnya sibuk berburu hantu "Si Macan", Daniel mengambil kunci mobilnya. Ada satu saksi lagi yang ingin ia temui. Seseorang yang mengenal Lukas bukan sebagai iblis atau malaikat, tapi sebagai manusia yang bergulat di antara keduanya.

Satu jam kemudian, Daniel duduk di pastoran tua di Menteng, menghirup aroma buku-buku tua dan teh melati. Di hadapannya, Pastor Antonius, pria tujuh puluhan dengan rambut putih tipis, menatapnya dengan tenang. Dialah yang membaptis Lukas lima tahun lalu.

“Lukas adalah jiwa yang paling tersiksa yang pernah saya temui,” ujar Pastor Antonius pelan, setelah Daniel menjelaskan maksud kedatangannya. “Banyak orang datang pada Tuhan untuk mencari kedamaian. Lukas datang karena ia lari dari neraka di dalam dirinya sendiri.”

“Rasa bersalah?” tanya Daniel.

“Sebuah jurang rasa bersalah yang tak berdasar,” sang pastor mengoreksi. “Dia percaya Tuhan telah mengampuninya. Masalahnya, dia tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.”

Pastor Antonius menyesap tehnya. “Beberapa minggu lalu, dia datang ke sini, gemetar. Dia bertemu putra dari salah satu korbannya dulu, pedagang kain yang dia buat cacat. Anak itu sekarang berjualan asongan. Lukas mencoba memberinya uang ganti rugi. Tapi anak itu hanya menatapnya penuh kebencian dan meludahinya.”

“Lukas tidak marah,” lanjut sang pastor. “Dia hanya pulang dan menangis. Dia bilang pada saya, ‘Romo, bagaimana saya bisa membangun masa depan untuk anak-anak lain, jika saya telah menghancurkan masa depan begitu banyak anak?’”

Hati Daniel terenyuh. Ini adalah potret ketiga Lukas: pria yang terperangkap dalam purgatorium pribadinya.

Dengan hati-hati, Daniel mengeluarkan sebuah kantong barang bukti berisi secarik kertas yang sedikit lusuh, yang ditemukan timnya saat menggeledah kamar pribadi Lukas.

“Romo, apakah Romo pernah melihat ini? Tim saya menemukannya diselipkan di dalam Alkitab di samping tempat tidurnya.”

Daniel menunjukkan foto dari catatan itu. Tulisan tangan yang rapi dan terkendali.

“Pengampunan palsu harus dikoreksi dengan kebenaran yang tajam.”

Wajah Pastor Antonius yang tenang mendadak pucat. Ia terdiam lama, lalu menghela napas yang sarat dengan kesedihan yang mendalam.

“Ya Tuhan,” bisik sang pastor. “Ini… ini adalah ketakutan terbesarnya. Dia selalu takut bahwa pertobatannya, pengampunannya, hanyalah ilusi. Kebohongan yang ia ciptakan agar bisa tidur di malam hari. Dia takut suatu saat, akan datang sebuah ‘kebenaran’ yang akan merenggut semua itu darinya.”

Daniel merasakan dingin menjalari tulang punggungnya. Catatan itu bukan ancaman biasa. Itu adalah dialog teologis. Itu ditemukan di tempat paling pribadi korban, di dalam kitab sucinya. Pelaku tidak hanya membunuh Lukas; dia masuk ke dalam kamarnya, ke dalam kitabnya, dan ke dalam jiwanya.

Saat ia kembali ke markas malam itu, papan tulis sudah penuh nama. Daftar musuh “Si Macan” mencapai tiga puluh lebih. Timnya yakin jawabannya ada di salah satu wajah-wajah penuh amarah itu.

Daniel berdiri di depan papan, menatap lautan kemungkinan. Semua orang di ruangan itu melihat ke masa lalu, mencari preman yang ingin balas dendam.

Tapi Daniel, setelah memegang catatan itu, mulai melihat ke arah yang berbeda.

Ia tidak lagi mencari musuh Si Macan.

Ia mulai mencari seseorang yang ingin menghakimi jiwa Lukas Santoso. Seseorang yang tidak peduli pada dosa-dosanya, tetapi terobsesi pada konsep pengampunan itu sendiri.

Motifnya bukan balas dendam. Motifnya adalah koreksi.

Daniel menatap foto TKP di dinding cermin berdarah itu. Timnya sibuk melacak gangster. Tapi Daniel sadar, mereka sedang berburu binatang yang salah.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!