NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 17 - Confession

Vee

Jantungku berdegup terlalu cepat, perutku seolah terbalik, dan kakiku gemetar seperti jelly. Beberapa menit lalu aku marah, benar-benar marah. Tapi sekarang… aku bahkan tidak tahu harus merasa apa. Tyler menciumku. Dan yang paling gila? Aku tidak menolaknya. Karena aku tahu jauh di dalam hatiku, aku juga menginginkannya.

Kami hanya saling menatap lama, napas kami masih berat. Ruangan ini terasa sempit, tapi juga terlalu besar untuk menampung semua yang baru saja terjadi. “Jadi…” suaraku keluar pelan, nyaris berbisik. “Kita… sekarang bagaimana?”

Ia masih memegang tanganku. Hangat tapi tegas. Setiap sentuhan darinya membuatku sulit bernapas, seperti semua logika dalam tubuhku hilang dalam sekejap.

“Aku menyukaimu, Vee.” Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh dunia. Ada keraguan di sana, bukan karena ia tak yakin pada perasaannya, tapi karena ia takut aku akan menyesal mendengarnya.

“Mungkin itu sudah jelas dari puisi yang kamu baca,” lanjutnya pelan. “Tapi… kamu masih mahasiswa, dan aku masih dosen saat ini. Ditambah sekarang ada proyek besar ini di antara kita. Aku harus berhati-hati.”

Ia menarik napas panjang, menatapku tanpa berkedip. “Aku ingin melindungimu. Aku tidak mau siapa pun salah paham, menganggap kamu mendapatkan kesempatan ini karena aku, bukan karena kemampuanmu sendiri.”

Tangannya bergerak pelan, lalu menggenggam tanganku. Dan sebelum aku sempat berkata apa pun, ia menunduk, mencium punggung tanganku lembut, penuh kehati-hatian. Waktu seolah berhenti di antara kami.

“Sejak pertama kali kamu masuk kelasku,” katanya, suaranya nyaris pecah, “aku tahu ada sesuatu tentangmu yang… berbeda. Kamu berusaha keras untuk terlihat sempurna, tapi di balik itu ada sesuatu yang rapuh, jujur, dan nyata. Itu yang membuatku tidak bisa berpaling.”

Ia tersenyum kecil, tapi matanya tampak lelah menahan sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Aku sudah berusaha menahan diri, menjaga jarak, menjaga batas yang seharusnya ada di antara kita. Tapi entah kenapa, kamu selalu menemukan celah. Kamu masuk begitu saja, pelan-pelan menghancurkan tembok yang bertahun-tahun kubangun.”

Keheningan panjang menggantung di antara kami, lalu ia berkata lebih lembut, hampir seperti janji yang tak terucap penuh “Jadi, bagaimana kalau… kita menjalaninya perlahan? Kita tidak bisa seperti orang lain, tapi aku ingin kamu tahu, kamu berarti untukku. Dan kalau kamu mengizinkan, aku ingin kamu jadi milikku.”

Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada rendah, namun tegas “Tidak ada Adrian Cole. Tidak ada siapa pun lagi. Hanya kamu dan aku.”

Aku tersenyum kecil, meski wajahku terasa panas dengan pengakuannya, “Iya,” bisikku. “Aku juga menginginkannya.”

Tyler menatapku beberapa detik, seolah memastikan aku sungguh-sungguh. Lalu ia menciumku lagi—kali ini lembut, hati-hati, seolah takut aku akan hancur jika disentuh terlalu keras.

Jika aku bisa meleleh, mungkin aku sudah jadi genangan air di lantai sekarang. Ciuman itu terasa seperti pengakuan. Tentang dua orang yang sama-sama mencoba melawan perasaan yang seharusnya tidak ada, tapi kalah juga.

Ketika ia melepaskan bibirnya, Tyler berbisik di antara napas kami yang masih saling bertaut, “Terima kasih, Vee.”

Dan entah kenapa, kata sederhana itu terasa lebih dalam dari “aku cinta kamu.” Karena dari matanya, aku tahu—ia bukan hanya berterima kasih karena aku membalas perasaannya. Tapi karena, untuk pertama kalinya, kami berhenti melawan.

\~\~\~

Beberapa hari setelahnya, aku menjalani hari-hariku dengan perasaan berbunga-bunga, jenis kebahagiaan ringan yang membuatmu tersenyum tanpa alasan, menatap langit kosong lalu tersipu sendiri. Klasik. Gejala orang jatuh cinta. Dan tentu saja, tidak ada yang lebih cepat menyadarinya selain Chloe Davenport.

Aku duduk di meja belajar, menatap layar ponselku yang baru saja menampilkan pesan dari Tyler.

Hari ini aku akan sibuk mengurus proyek dengan jurusan lain.

Jangan lupa makan ya. Maaf kalau pesanmu lama dibalas.

Senyumku langsung muncul tanpa bisa dicegah.

Tanganku bergerak cepat membalas.

Semangat hari ini. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri yaa… take care.

“Take care?” suara Chloe tiba-tiba muncul dari belakangku, tepat di bahuku.

Aku hampir menjatuhkan ponselku. “Chloe!”

Dia menatapku dengan senyum menyeringai penuh dosa. “Sorry, sorry! Tapi aku cuma mau konfirmasi satu hal. Apa benar kamu dan Tyler Hill itu pacaran?”

“Apa?!” seruku, langsung panik. “Aku nggak pernah bilang begitu. Kamu berasumsi sendiri!”

Chloe melipat tangan di dada, pura-pura serius. “Oh ya? Karena tiba-tiba sahabatku pulang dari ‘panggilan pribadi’ di ruangan Professor Hill sambil senyum-senyum, dan sekarang… dia masih senyum-senyum tiap lima menit. Aku sih cukup cerdas buat nyambungin titik-titiknya.”

Aku menutup wajah dengan bantal. “Chloeee…”

Dia terkikik, tapi kemudian menurunkan nada suaranya. “Tapi serius, Vee. Kalian beneran ya?”

Aku menghela napas panjang, menyerah. “Kami... ya, semacam itu. Tapi tolong, ini rahasia. Kami nggak mau orang salah paham, apalagi aku baru ditunjuk jadi sutradara proyek Hunt. Kalau ada gosip beredar, orang bisa pikir aku dapat posisi ini karena… hal lain.”

Chloe langsung mengangguk, kali ini benar-benar serius. “Vee, tenang aja. Aku ngerti banget. Kamu bisa percaya aku.”

Aku menunjuk jariku padanya, pura-pura galak. “Bahkan ke Liam, Sophie, atau Ethan juga, ya. Mulutmu harus disegel rapat.”

Dia mengatupkan bibir, lalu membuat gerakan tangan seperti mengunci mulut dan melempar kuncinya. Aku tertawa, menutup wajahku lagi sambil gemas.

“Ya ampun, lihat kamu sekarang,” katanya sambil mencubit pipiku. “Senyumnya kayak orang lagi main di film romance.”

“Aku nggak segitunya,” protesku.

“Hmm, iyaa iya.” Chloe menahan tawa, lalu berdiri. “Anyway, aku sama Sophie mau ke mall nanti siang. Butuh distraksi, belanja, dan es krim. Kamu ikut nggak? Kita bikin girls day out, biar kamu nggak cuma menatap layar HP nunggu balasan cowok.”

Aku pura-pura berpikir sebentar, lalu langsung menjawab, “Mauuu!”

“Good,” katanya sambil mengangkat alis. “Karena aku butuh seseorang buat milih dress baru, dan kamu… butuh sesuatu selain notifikasi dari Tyler Hill.”

Aku melempar bantal ke arahnya, tapi senyumku nggak bisa disembunyikan. Karena, ya, Chloe benar. Untuk sementara, dunia terasa lebih ringan.

\~\~\~

“Gimana ceritanya dulu aku satu-satunya dari kita yang punya pacar, sekarang malah satu-satunya yang single?” Chloe mengeluh sambil memeluk kantong belanjanya seperti bayi yang baru lahir.

Aku menatapnya geli. “Mungkin karma karena kamu dulu suka pamer,” godaku.

Sophie, yang sibuk menatap baju di etalase, langsung menoleh. “Eh, tunggu, jadi kamu juga punya pacar, Vee?”

Aku menatap Chloe tajam. “Chloe...” gumamku, sambil menendang kakinya diam-diam.

Dia langsung tersenyum tak berdosa. “Apa? Aku cuma tanya!”

“Hmm…” aku berdeham pura-pura santai. “Bisa dibilang begitu.”

Sophie langsung bersandar ke depan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Siapa? Siapa? Jangan bilang masih misterius!”

Aku tertawa gugup. “Maaf, Soph. Belum saatnya. Nanti kamu juga tahu kok.”

“Tapi kayaknya aku udah tahu deh siapa,” Sophie menatapku menyelidik, tapi belum sempat melanjutkan, Chloe mencondongkan diri dan memberi isyarat zip your mouth. Mereka berdua langsung tertawa.

Aku menatap mereka curiga. “Oke, kalian berdua konspirasi ya sekarang?”

“Bukan,” Chloe menatapku dengan polos tapi matanya jelas nakal. “Kami cuma pengamat kehidupan percintaan saja.”

Aku hanya bisa menggeleng, menahan senyum. Tapi aku tahu, kalau Sophie tahu, maka tinggal tunggu waktu sebelum Liam tahu juga. Dan kalau Liam tahu… ya sudah, semua anak The Reels pasti tahu.

Kami sudah menjelajahi hampir setiap toko di mall. Dari butik vintage sampai toko buku, lalu berhenti di toko sepatu karena, menurut Chloe, “tidak ada penyembuhan hati yang lebih mujarab dari sepatu baru.”

Aku juga akhirnya membeli beberapa pakaian baru, alasan resminya untuk keperluan proyek. Alasan sebenarnya? Kalau… ehm..Tyler nanti mengajakku berkencan.

Tapi setelah dua jam berkeliling, kakiku resmi menyerah. “Aku lapar,” aku mengeluh sambil menjatuhkan diri di kursi food court. “Dan aku pengen makan sesuatu yang aneh. Aku lihat di media sosial ada poke bowl dengan potongan salmon mentah yang panjang kayak mie. Kita ke sana yuk.”

Chloe langsung bereaksi, “Ew, salmon mentah? Kamu mau aku mati kena salmonella?”

Aku menatapnya datar. “Itu poke bowl, bukan eksperimen biologi.”

Akhirnya, kami tetap makan di restoran sushi itu, dan seperti yang sudah ditebak, Chloe berakhir jadi orang yang paling banyak menghabiskan makanan. Sophie bahkan sempat berkomentar sambil tertawa, “Lucu banget, tadi yang paling drama soal salmon, sekarang yang paling lahap.”

Chloe mengangkat sumpitnya, “Itu karena aku belajar menerima hal-hal baru dalam hidup. Termasuk makanan.”

Kami tertawa bersamaan, sampai Sophie mendesah dan kembali serius. “Aku udah kirim naskahku buat proyek Hunt,” katanya. “Tapi kayaknya banyak yang jauh lebih bagus. Yah, setidaknya aku udah coba.”

“Hebat banget kamu, Soph,” kataku tulus.

Dia melanjutkan, “Liam juga daftar buat ikut. Katanya sebagian karena proyek itu bisa jadi tugas akhirnya, tapi… aku rasa sebagian lagi karena dia yakin banget sama kamu, Vee.”

Aku tersenyum, rasanya hangat. “Aww, sampaikan ke Liam, ya, aku dukung dia juga. Dia aktor yang luar biasa. Perfeksionis, kayak aku, jadi kami nyambung banget waktu kerja bareng. Aku yakin dia bakal bersinar.”

Percakapan kami berlanjut ringan, tentang proyek, tentang masa depan, tentang semua kemungkinan setelah lulus. Tentang bagaimana banyak alumni Ashenwood akhirnya bekerja di teater atau film. Untuk sesaat, aku merasa semuanya mungkin. Dunia terasa begitu besar, dan aku ada di tengahnya.

Tapi kemudian, ponselku bergetar di pangkuan.

Satu pesan masuk.

Baru sampai rumah. Hari ini melelahkan sekali.

Besok Thomas ingin diskusi awal tentang proyek.

Ku jemput jam 11, ya.

Senyumku muncul begitu saja. Aku mengetik balasan pelan, mencoba tidak terlalu cepat. Tapi dalam hati, aku tahu setiap pesan darinya selalu jadi momen kecil yang membuat hidupku berputar lebih cepat.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!