NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:957
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 5

Aula besar perlahan sepi setelah sesi pertama usai. Para kandidat dipandu kembali ke paviliun masing-masing oleh dayang mereka, sementara para bangsawan masih sibuk membicarakan penampilan gadis-gadis tadi.

Nama Camilla dan Annette melayang di udara paling sering disebut, membuat sebagian kandidat lain merasa tertinggal jauh.

Camilla berjalan dengan langkah anggun, Mary mengikuti di belakangnya sambil sesekali menatap kagum pada tuannya.

“Lady tampil luar biasa,” bisik Mary lirih begitu mereka melewati lorong istana yang diterangi cahaya obor. “Semua mata tertuju pada Anda. Bahkan para juri tak mampu menemukan kesalahan.”

Camilla tersenyum samar, namun dalam hatinya ia justru waspada.

Aku tahu ini bukan sekadar kompetisi. Setiap kata, setiap gerakan, adalah bagian dari permainan besar. Dan aku harus memainkannya dengan sempurna.

Ketika mereka kembali ke paviliun keluarga Barak, Camilla disambut oleh ayah dan ibunya. Duke Leontinus berdiri tegap, sorot matanya penuh kebanggaan meski wajahnya tetap dingin.

“Bagus,” ucapnya singkat. “Kau tidak mengecewakan nama keluarga.”

Duchess Helena, sebaliknya, segera mendekat dan menggenggam tangan putrinya dengan hangat. “Aku nyaris menahan napas sepanjang penilaian itu. Kau membuatku bangga, Camilla.”

Camilla membalas genggaman ibunya, bibirnya melengkung tipis. Namun sebelum ia sempat menanggapi lebih lanjut, seorang pelayan kerajaan datang membawa gulungan surat berhias segel ungu.

“Undangan dari Paviliun Seraphine,” kata pelayan itu hormat. “Ibu Suri Elenora memanggil Lady Camilla untuk hadir malam ini.”

Ruangan seketika hening.

Duke Leontinus mengerutkan kening. “Ibu Suri?”

Pelayan itu menunduk. “Ya, Yang Mulia. Undangan ini bersifat pribadi dan segera.”

Camilla merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, dalam ingatan hidupnya yang dulu, Ibu Suri tidak pernah melakukan pertemuan pribadi dengannya sebelum dirinya terpilih, meski begitu, dia tahu bahwa wanita itu mendukungnya.

“Aku akan pergi,” katanya mantap.

***

Paviliun Seraphine

Malam turun perlahan ketika Camilla tiba di Paviliun Seraphine. Bangunan itu berbeda dari paviliun lain di istana, lampion-lampion ungu menggantung di sepanjang jalan masuk, aroma melati menyelimuti udara.

Mary ingin ikut, tapi penjaga paviliun melarang. “Undangan ini hanya untuk Lady Camilla.”

Dengan langkah hati-hati, Camilla masuk. Di dalam, ia mendapati suasana hangat, lentera emas menerangi ruangan, kecapi berdenting lembut di sudut, dan aroma teh melati mengepul dari meja rendah di tengah.

Ibu Suri Elenora duduk di kursi tinggi berlapis beludru. Usianya memang di atas lima puluh, tetapi kecantikannya masih jelas, dipertegas oleh riasan tipis dan senyum yang seakan tak pernah benar-benar jujur.

“Selamat datang, Lady Camilla,” sapanya dengan suara manis. “Duduklah. Aku ingin berbicara langsung denganmu.”

Camilla menunduk dalam, lalu duduk di kursi yang disiapkan. Ia menjaga sikap, menatap Elenora dengan hormat tapi tidak terlalu tunduk.

Elenora memperhatikan gadis itu lama sekali sebelum bicara. “Hari ini, kau tampil berbeda dari kandidat lain. Kau tahu apa yang sedang kau lakukan.”

Camilla memilih kata dengan hati-hati. “Saya hanya berusaha tidak mempermalukan nama keluarga Barak, Yang Mulia.”

Senyum Elenora melebar. “Ah, kerendahan hati yang manis.. tapi jangan berpikir aku tidak melihat apa yang ada di baliknya. Kau punya kecerdasan, Camilla. Kau mengerti bahwa kerajaan ini tidak bisa dijaga dengan senyum dan bunga semata.”

Camilla tetap tenang. “Saya percaya kerajaan membutuhkan keseimbangan. Kebaikan hati diperlukan, tetapi kekuatan juga harus ditunjukkan. Tanpa itu, rakyat akan mudah goyah.”

“Hm..” Elenora menutup kipas gadingnya perlahan. “Kau bicara seperti seorang ratu.”

Hening sesaat. Elenora mencondongkan tubuhnya sedikit. “Katakan padaku, Camilla. Apakah kau ingin menjadi Putri Mahkota?”

Pertanyaan itu bagaikan ujian terselubung. Dalam hidupnya yang dulu, Camilla pernah menjawab terlalu jujur, mengatakan iya, dan justru membuat Elenora menganggapnya ambisius.

Sekarang ia tahu lebih baik.

“Saya ingin mengabdi pada kerajaan,” jawab Camilla lembut. “Jika takdir menempatkan saya di sisi Putra Mahkota, saya akan melaksanakan tugas itu dengan sepenuh hati. Jika tidak, saya akan tetap mendukung kerajaan dengan cara lain.”

Mata Elenora berkilat, senyumnya samar. Jawaban ini menempatkan Camilla di posisi aman, tidak terlalu ambisius, tetapi juga tidak menolak.

“Bagus,” kata Elenora akhirnya. “Kau tahu kapan harus berbicara, dan kapan harus menahan diri. Itu adalah kualitas yang jarang dimiliki gadis seusiamu.”

Camilla menunduk. “Terima kasih atas penilaian Ibu Suri.”

“Pergilah sekarang. Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat malam ini.” Elenora melambaikan tangannya ringan. “Tapi ingat, Camilla.. bunga yang terlalu cepat mekar bisa layu sebelum waktunya. Jaga dirimu.”

Camilla menunduk dalam, lalu bangkit dan keluar. Begitu ia kembali ke koridor luar, ia menghela napas panjang. Pertemuan pertama dengan Elenora kali ini berjalan lebih baik daripada sebelumnya. Tapi ia tahu, itu juga berarti Elenora mulai menaruh mata padanya.

***

Sementara itu, Arthur duduk di ruang kerjanya. Lilin hampir habis, tapi matanya masih terbuka lebar. Di hadapannya, ada laporan perang dari perbatasan, tetapi pikirannya tak bisa fokus.

Annette. Senyum polosnya, jari-jarinya yang memetik kecapi, kata-kata sederhananya tentang kedamaian. Semua itu terus berputar di benaknya.

Aiden masuk membawa dokumen, lalu berhenti ketika melihat tuannya melamun. “Yang Mulia?”

Arthur mengerjap, lalu menutup berkas. “Apa ada kabar tentang keluarga Annette?”

Aiden tertegun sesaat, lalu menjawab hati-hati. “Lady Annette berasal dari cabang keluarga bangsawan kecil di utara. Mereka tidak memiliki banyak kekuatan politik. Hanya gelar bangsawan turun-temurun tanpa wilayah besar.”

Arthur mengangguk pelan, matanya justru semakin berkilat. “Bagus.”

“Bagus, Yang Mulia?” Aiden tampak bingung.

“Ya. Itu berarti dia tidak membawa beban ambisi besar. Aku lebih menghargai ketulusan daripada kekuatan politik.”

Aiden menahan napas, lalu menunduk. “Tapi Yang Mulia.. Ibu Suri Elenora mungkin punya pandangan lain.”

Arthur tersenyum samar, hampir sinis. “Biarkan dia memilih dengan pikirannya. Aku akan memilih dengan hatiku.”

Aiden menatap tuannya lama, lalu akhirnya hanya bisa menunduk hormat.

***

Keesokan malamnya, Arthur membuat keputusan nekat. Ia tidak bisa hanya duduk dan menunggu proses seleksi. Ia ingin mengenal Annette lebih dekat.

Dengan bantuan Aiden, ia mencari tahu di paviliun mana Annette tinggal sementara. Paviliun kecil di sisi timur istana, jauh dari kemegahan paviliun para Duke dan Marquis.

Arthur mengenakan mantel gelap, berjalan melalui lorong rahasia yang hanya diketahui sebagian kecil keluarga kerajaan. Aiden mendampingi, meski wajahnya penuh kecemasan.

“Yang Mulia, jika ini diketahui..”

“Tidak ada yang akan tahu,” potong Arthur singkat.

Mereka tiba di halaman paviliun timur. Cahaya redup dari lampu minyak tampak di jendela kamar Annette. Suara lembut kecapi terdengar samar.

Arthur berdiri diam sejenak, mendengarkan. Senyumnya tipis, matanya melembut.

Aiden berdeham pelan. “Apakah Anda ingin saya mengetuk pintu?”

Arthur menggeleng. “Tidak. Biarkan saja. Aku hanya ingin mendengar.”

Malam itu, Putra Mahkota berdiri di halaman, mendengarkan melodi sederhana seorang gadis yang bahkan tidak tahu sedang diperhatikan.

Dan di Paviliun Seraphine, Ibu Suri Elenora tersenyum puas saat mendengar laporan bahwa Camilla telah menarik perhatian banyak bangsawan.

Dua arah berbeda mulai terbentuk.

Elenora dengan keyakinannya bahwa Camilla adalah pohon kokoh yang layak menopang takhta.

Arthur dengan hatinya yang tertambat pada Annette, cahaya polos di tengah kegelapan istana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!