NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. Pesona Perempuan Balerina

Maha memanfaatkan kesempatan besar saat Sastra tidak ada di rumah untuk pergi ke Ruang utama. Ruang ini memiliki ukuran yang luas jadi bisa ia gunakan untuk melepaskan segala perasaan lewat gerakan baletnya.

Maha segera berganti pakaian, mengenakan gaun balet putih yang elegan dengan rok tutu yang ringan. Ia mengikat rambutnya menjadi sanggul sederhana dan memandang cermin besar di dinding, memastikan penampilannya sempurna. Selama beberapa saat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam suasana, merasakan dinginnya lantai di bawah kaki telanjangnya.

Tanpa ragu, Maha melangkah ke tengah ruangan dan mulai melakukan gerakan pemanasan. Gerakan demi gerakan terasa begitu alami, seolah tubuhnya mengingat semua koreografi yang pernah ia pelajari. Tangannya terentang, kaki-kakinya bergerak anggun, dan Maha mulai berputar dengan luwes, mengikuti irama lagu balet klasik yang diputar dari ponsel miliknya.

Setiap putaran, lompatan, dan peregangan yang ia lakukan seakan membawanya ke dunia lain—dunia di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa batasan, tanpa tekanan dari siapa pun, termasuk dari Sastra. Maha merasa bebas, merdeka, dan kuat. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang menghalangi.

Maha adalah balerina yang menari untuk dirinya sendiri, melepaskan semua emosi yang tertahan, membiarkan perasaan rindu, amarah, dan cinta tersalurkan melalui gerakan tubuhnya.

Namun, Maha lupa akan satu hal bahwa disetiap sudut ruangan terdapat cctv yang hanya bisa diakses oleh Sastra. Pria itu tersenyum lembut melihat istrinya yang tengah mengekpresikan diri dengan menari balet.

Sastra mengamati layar iPad di hadapannya, memperhatikan setiap gerakan Maha. Ia tersenyum tipis, menikmati pemandangan yang jarang ia lihat—Maha yang sepenuhnya tenggelam dalam dunianya sendiri.

Perempuan ini begitu sangat unik sampai-sampai membuat Sastra harus menahan diri setiap kali dekat dengannya. Maha tidak bisa dikeraskan, perempuan ini harus diberi ruang mengerti dan kesabaran. Tidak bisa juga dikasihani, ia sangat benci orang-orang yang mengasihaninya. Sastra sendiri dituduh seperti itu, karena keadaan finansial serta kebangkrutan perusahaan papanya, Wirastama, yang korupsi. Maha jadi berpikir bahwa ia dinikahkan sekadar dimanfaatkan dan Sastra melihatnya karena kasihan.

Pikiran pendek itu yang membuatnya terus bergerak dan mencari cara untuk membuat huru-hara agar pernikahannya hancur dan inginnya untuk bercerai terpenuhi. Namun, ia belum juga paham dan mengerti bahwa, menikah dengan keluarga Hardjo sangat tidak mungkin akan adanya perceraian.

•••

Maha duduk diatas sofa dengan nafas yang memburu, tubuhnya terasa lelah setelah menari cukup lama. Keringat menetes di pelipisnya, tapi ada rasa puas yang mengisi hatinya. Setidaknya, kali ini ia bisa meluapkan segala yang membebaninya.

Ia menarik napas dalam-dalam, merapikan rambut yang sedikit berantakan sambil menatap kosong ke arah jendela besar yang memancarkan sinar matahari sore. Selama beberapa detik, Maha membiarkan pikirannya melayang, memikirkan semua yang telah terjadi sejak pernikahan yang tidak ia inginkan ini dimulai. Kadang, ia bertanya-tanya apakah Sastra benar-benar peduli padanya atau hanya bertahan karena tanggung jawab.

Sastra memang tidak pernah marah atau protes setiap kali Maha bersikap keras, tapi justru itu yang membuatnya semakin frustasi. Ia ingin sekali melihat Sastra kehilangan kendali, berteriak, atau sekadar menunjukkan bahwa ia juga manusia biasa yang bisa tersakiti.

Lamunan itu seketika buyar saat ada pesan masuk dari Sastra yang menanyakan apakah Maha ingin menitip sesuatu seperti makanan atau minuman. Maha segera membalas, meminta berbagai macam makanan yang ia inginkan dengan spontan dan tanpa respon yang lama, Sastra mengiyakan keinginan Maha.

"Ish, gak asik banget sih ni cowok! Responnya lempeng banget!" Maha berkeluh lagi, ia mencak-mencak tak jelas pada ponselnya gara-gara respon Sastra yang terlalu biasa.

Sebelum pria itu pulang, Maha segera kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia menatap cermin sejenak, menghapus sisa-sisa riasan yang mulai luntur, dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Rasanya segar, seolah membantunya menghapus sisa-sisa kelelahan yang ia rasakan setelah menari balet. Maha melonggarkan otot-ototnya yang terasa kaku, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak dari segala emosi yang telah ia lampiaskan tadi.

Setelah membersihkan diri, Maha mengganti pakaian dengan piyama yang memperlihatkan bagian dadanya, perempuan ini memang sangat suka berpakaian lebih terekspos.

Tak lama, suara pintu depan terbuka. Sastra masuk dengan kantong belanja di tangannya. Ia melangkah masuk menuju meja makan dan meletakkan kantong makanan di atas sana. Kemudian Ia pergi kelantai dua, ingin memberitahu Maha jika makanan yang dipesannya sudah ia letakan diatas meja.

Ketukan pintu kamar Maha berbunyi, suara Sastra terdengar dari luar sana. "Saya sudah taruh pesanan kamu diatas meja, kalau kamu mau makan bersama saya, tunggu saya mandi dulu." Setelah mengatakan itu Sastra segera melangkah menuju kamarnya tanpa mendengarkan respon Maha.

Maha mendengus pelan, ia berdiri, membuka pintu kamarnya sedikit, dan mengintip keluar. Tak ada Sastra di sana, hanya kesunyian lorong menuju kamar Sastra di ujung koridor. Maha segera turun kelantai bawah, memeriksa makanannya apakah sesuai yang ia pesan.

"Gila tuh orang! Beneran dong dia pesen sesuai yang gue minta!" Maha menghela napas panjang, menatap deretan makanan yang tertata rapi di atas meja. Semuanya persis seperti yang ia minta. Ada dua box pizza favoritnya, seember KFC lengkap dengan kentang goreng dan saus, minuman soda yang dingin, sushi platter dengan beragam jenis sushi, setumpuk burger mini, es krim dalam cup kecil, dan sekotak macarons warna-warni yang terlihat manis. Semuanya persis seperti yang ia minta, bahkan beberapa makanan yang sebenarnya ia sebutkan hanya untuk bercanda.

Rasa frustasi bercampur heran memenuhi pikirannya. Sastra benar-benar memenuhi semua pesanannya, tanpa ada yang terlewat sedikit pun.

Sastra yang sudah selesai mandi dan berpakaian turun menuju ruang makan, Maha sudah duduk di sana, mengambil tempatnya dengan tenang. Sastra mengambil kursi di depannya, mengenakan pakaian santai dan rambutnya masih sedikit basah.

"Lo gila ya? Serius lo beli sebanyak ini?"

Sastra mengambil sepotong pizza dan melahapnya perlahan, belum berkeinginan menjawab ucapan Maha.

"Sas!!"

Sastra hanya melirik Maha sekilas, lalu meneguk minumannya dengan santai sebelum akhirnya menjawab, "saya sudah turuti inginmu, sekarang duduk yang manis dan makan perlahan. Kamu bebas memilih mau makan yang mana saja."

Maha mendecak kesal, tak puas dengan jawabannya. "Mubazir nanti, ini kebanyakan." Maha ini memang impulsif sekali, padahal ia seharusnya tahu bahwa Sastra ini selalu saja diajak serius, tidak bisa dipermainkan bahkan dijadikan ajang untuk coba-coba.

"Makan aja. Kalau nggak habis, simpan buat nanti. Lagipula saya ini sudah turuti mau kamu, sekarang kamu puas kan?"

Maha terdiam sejenak, menatap Sastra yang tampak tenang, seolah tak peduli dengan kekesalannya. Ia meraih sepotong sushi dan mengunyahnya dengan kesal. Rasanya enak, tapi entah kenapa malah makin membuatnya kesal. "Lo tuh bener-bener susah diprovokasi, ya."

Sastra tetap diam, menikmati setiap gigitan pizza yang ada di tangannya. Ia baru angkat bicara setelah dua potong pizza lenyap dari piringnya, mengendap di perutnya yang sudah mulai terasa penuh.

"Saya turuti keinginan kamu bukan berarti saya menyerah atau pasrah. Saya lakukan ini hanya untuk kali ini saja, memenuhi apa yang kamu minta. Tapi ingat, lain kali saya nggak akan selalu belikan makanan cepat saji sebanyak ini. Bukan karena saya nggak mau, tapi ini juga buat kebaikan kamu. Sekali-sekali bolehlah, tapi kalau terus-terusan, nggak baik buat kesehatan."

Sial. Ternyata ada udang di balik batu. Maha kesal sendiri, merasa tertipu oleh sikap tenang Sastra. Ia pikir Sastra adalah tipe pria yang pasrah dan mudah diakali, tapi ternyata tidak semudah itu. Sastra bukan lawan yang bisa dihadapi dengan cara main-main. Jika ingin berhasil, Maha harus bermain cerdik, anggun, dan elegan.

"Seusia kamu ini perlu banyak makan sayuran dan minum air putih yang cukup. Gen Z biasanya sukanya makanan yang instan dan cepat saji. Tapi kesehatan tetap penting, apalagi aktivitas kamu juga padat, juga jangan bertindak impulsif yang hanya akan menimbulkan penyesalan, contohnya seperti makanan ini." Sastra berkata, matanya menatap Maha dengan tegas, mengingatkan perempuan di depannya bahwa ia sedang tidak main-main.

"Kenapa harus bawa-bawa generasi segala? Gue makan apa yang gue mau, suka, dan itu urusan gue, bukan urusan lo!" Maha membalas dengan nada tajam, matanya menyorotkan kemarahan. Dia benci merasa seolah dihakimi hanya karena keputusannya yang dianggap tidak dewasa. Rasanya seolah Sastra selalu memiliki cara untuk menempatkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi, seolah-olah ia tahu segalanya.

Sastra menatap Maha dengan tenang, tak sedikit pun terlihat terprovokasi oleh nada tinggi istrinya. Sastra meraih napkin, membersihkan sudut bibirnya perlahan, lalu menghela napas.

"Saya berbicara sesuai dengan zaman, selain itu, bukan maksud saya nyalahin kamu atau generasi mana pun, Maha. Saya hanya ingin kamu sadar bahwa apa yang kamu pilih sekarang punya dampak buat kamu sendiri. Saya cuma ingin kamu tetap sehat, apa itu salah?"

Maha membenci Sastra. Ia merasa terjebak dalam ketidakberdayaan, dalam pernikahan yang tak pernah ia anggap sejak awal hingga sekarang.

"Terserah lo deh," jawab Maha dingin, mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menenangkan dirinya yang dipenuhi emosi. Tangannya mencengkeram sendok dengan kuat, mencoba menahan diri agar tidak melemparnya ke arah Sastra. Ia benci saat Sastra berbicara dengan nada menenangkan seperti itu, seolah Maha hanyalah badai yang perlu diredam.

Sastra mengamati Maha dalam keheningan. Ia tahu percakapan ini tak akan menyelesaikan masalah di antara mereka, tapi setidaknya, ia ingin Maha dapat belajar untuk berpikir dulu sebelum bertindak. Perempuan ini banyak sekali cerobohnya, karena itu ia ingin memberikan pengajaran pada Maha supaya ia dapat mengerti bahwa setiap pilihan itu memiliki resiko masing-masing.

"Makanan ini tidak akan terbuang mubazir, saya tidak akan berpikir sempit seperti itu hanya karena ingin memuaskan ekspetasi saya. Nanti saya bagikan pada para pengawal, mereka pasti senang mendapatkan rezeki tidak disangka seperti ini. Sekarang, kamu bisa habiskan apa yang mau kamu makan."

Sastra tetap berada di tempat duduknya, ia tidak melupakan satu hal, bahwa istri tantrum nya ini tidak bisa makan sendirian.

Maha mencebik sebal lagi, namun ia tidak membalas ucapan Sastra. Ia kembali memakan susi yang ada di hadapannya dengan rakus.

"Pelan-pelan nanti kamu kese—"

Uhuk....ukhuk...

Sastra menghela nafas panjang, ia bangkit dari duduknya dan berpindah disebelah Maha. Tangannya cekatan menuangkan air putih kedalam gelas lalu membantu Maha untuk meminumnya.

"Gara-gara Lo sih! Udah sana duduk lagi ditempat lo!" Ujarnya ketus, tetapi Sastra tidak berpindah tempat.

"Lanjutkan saja makannya, kali ini pelan-pelan Saja. Saya tidak akan meninggalkan kamu."

Maha membuang wajahnya, tak ingin terlibat mata dengan Sastra yang kini berada disampingnya. Ia kembali melanjutkan makan sushi, kali ini lebih tenang.

Sastra duduk diam di samping Maha, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Tak ada komentar lagi, hanya perhatian dalam tindakannya yang sederhana.

Maha sesekali melirik Sastra dari sudut matanya, tak bisa memungkiri bahwa keberadaan pria itu membuatnya merasa lebih tenang. Meski ia kesal, ada sisi dirinya yang merasa dihargai dengan cara Sastra tetap berada di dekatnya.

“Udah selesai,” ucap Maha akhirnya, meletakkan sumpitnya dan menyandarkan tubuh ke kursi.

Sastra mengangguk, mengambil tisu dan memberikannya pada Maha tanpa banyak bicara. “Masi banyak yang belum kamu makan, habiskan Maha." Ucapnya ringan, kali ini ia ingin sedikit menjahili Maha.

Maha menggeleng pelan. “Edan lo Sas! Katanya tadi bilang mau dibagiin sama para pengawal lo, gimana sih?!"

Sastra terkekeh pelan, "siapa tau lambung kamu masih punya tempat untuk menerima makanan lagi."

"Sastra Lo nyebelin!!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!