Waren Wiratama, 25 tahun adalah seorang pencuri profesional di kehidupan modern. Dia dikhianati sahabatnya Reza, ketika mencuri berlian di sebuah museum langka. Ketika dia di habisi, ledakan itu memicu reaksi sebuah batu permata langka. Yang melemparkannya ke 1000 tahun sebelumnya. Kerajaan Suranegara. Waren berpindah ke tubuh seorang pemuda bodoh berusia 18 tahun. Bernama Wiratama, yang seluruh keluarganya dihabisi oleh kerajaan karena dituduh berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 17
Sudah hampir sore, tapi rombongan yang katanya dari keluarga Hambali itu juga belum datang.
"Bagaimana ini kepala prajurit Arga? para tahanan pengasingan itu belum datang juga!"
Simin terlihat khawatir. Masalahnya sudah hampir gelap. Mereka sudah menunda perjalanan mereka satu hari ini. Artinya mereka akan semakin lama lagi nanti sampai di desa Pacang Jati.
Warren yang sejak tadi bermain dengan kedua keponakannya supaya tidak bosan saat menunggu. Sesekali melirik ke arah kepala prajurit Arga yang berbicara dengan tiga bawahannya.
Kartika Sari yang sejak tadi memperhatikan adik iparnya itu pun merasa ada yang aneh. Dia mendekati Dewi Lestari dan bicara pada istri kedua Arya Kusumanegara. Tapi, memang belum benar-benar menjadi istri dari Arya Kusumanegara. Baru sebatas nama. Masalahnya, setelah mereka menikah jenderal Arya Kusumanegara sudah diperintahkan untuk pergi berperang ke perbatasan.
"Yunda, apa kamu juga merasa kalau akhir-akhir ini Wira sepertinya berubah?" tanya Kartika Sari.
Kartika Sari sengaja bicara kepada Dewi Lestari karena kalau dia bicara dengan Ratna atau dengan Ken Sulastri mereka berdua tidak akan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Kartika Sari.
Namun, reaksi Dewi Lestari juga tidak ramah.
"Mana aku tahu, Aku bahkan baru beberapa hari masuk ke dalam keluarga Kusumanegara sebelum akhirnya diasingkan seperti ini kan?"
Tatapan sinis Dewi Lestari, membuat Kartika Sari menghela nafas dan memilih menjauh dari kakak iparnya itu karena tatapannya benar-benar seperti tidak senang kepada Kartika Sari.
Beberapa jam berlalu, benar-benar yang di tunggu tak kunjung datang.
"Kepala prajurit Arga, jangan-jangan mereka kesasar!" kata Simin pada kepala prajurit Arga.
Kepala prajurit Arga berdiri. Dia maju ke arah jalan yang masih tanah dan bebatuan itu. Dia melihat ke ujung jalan. Memang tidak ada tanda-tanda kalau ada orang berjalan atau orang yang akan datang dari sana.
"Sudah hampir malam. Kita bermalam disini saja. Perintah dari Gusti prabu kita tidak boleh mengabaikannya sama sekali. Prajurit tadi, meminta kita menunggu di sini artinya kita harus menunggu di sini!" kata kepala prajurit Arga sudah memutuskan.
Warren melihat ke arah kepala prajurit Arga.
'Budak yang sangat setia' batinnya.
Saat mereka semua sedang beristirahat. Tiba-tiba saja mereka mereka mendengar suara langkah kaki yang cukup banyak.
Kepala prajurit Arga segera bangkit dari duduknya.
"Itu mereka!" katanya.
Simin dan dua rekannya, segera menghampiri kepala prajurit Arga.
"Kenapa mereka baru datang malam-malam begini?"
Kepala prajurit Arga sebenarnya juga merasa ada yang aneh kenapa mereka tetap meneruskan perjalanan di malam hari. Itu sangat berbahaya. Tapi, karena dia pengawal banyak sekali orang dan mayoritasnya adalah wanita maka dia berusaha untuk tetap tenang dan menjelaskan kepada anak buahnya itu dengan pemikiran yang positif.
"Mungkin mereka terpaksa tetap melanjutkan perjalanan di malam hari karena mereka sudah kehabisan perbekalan!"
Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh kepala prajurit Arga itu. Barulah ketiga bawahannya itu menganggukkan kepala.
"Bisa jadi"
Warren ikut berdiri, dia melihat para prajurit yang datang itu sambil bersembunyi di belakang tubuh ibunya.
Para prajurit dan kelima tahanan pengasingan itu tidak tampak seperti mereka kehabisan perbekalan.
Jalan mereka masih tegap, dan wajah mereka tidak pucat sama sekali. Seperti bagaimana wajah seseorang yang kurang makan dan minum.
Ekspresi wajah para prajurit itu memang terlihat sangar dan gahar. Itu wajar, karena mereka memang prajurit saya sudah seharusnya mereka memiliki ekspresi seperti itu. Akan tetapi, yang membuat Warren sedikit merasa heran adalah ekspresi dari dua wanita yang katanya merupakan tahanan penghasilan.
Ekspresi wajah keduanya, juga terlihat galak tidak ada itu yang namanya ekspresi seperti keluarganya yang terlihat sedih karena meninggalkan rumahnya dan harus diasingkan ke tempat yang jauh. Ekspresi wajah dari kedua wanita itu justru seperti seseorang yang sedang menyimpan niat tidak baik. Alis mereka sedikit miring. Warren juga bisa merasakan kalau tatapan mereka tidak seperti tatapan layaknya seorang tahanan pengasingan.
"Kepala prajurit Arga?" tanya kepala prajurit yang baru datang itu.
"Kepala prajurit Waluyo?" tanya kepala prajurit harga yang mengingat nama kepala prajurit yang tadi disampaikan oleh prajurit berkuda dari kerajaan.
"Benar" kata kepala prajurit Waluyo.
Simin dan Santo melihat ke arah lima prajurit yang ada di belakang kepala prajurit Waluyo. Mereka bergidik ngeri. Daripada prajurit, terima orang itu lebih mirip algojo.
Tentu saja, karena memang ke-11 orang yang datang itu bukanlah benar-benar prajurit dan juga tahanan pengasingan seperti yang dikatakan di dalam surat yang disampaikan oleh prajurit dari kerajaan tadi. Mereka, sebenarnya adalah pembunuh bayaran yang sudah dibayar mahal oleh penasehat Bimantoro. Yang ditugaskan untuk menghabisi semua orang termasuk kepala prajurit Arga.
Karena jika sudah menghabisi Wiratama maka mereka harus memastikan kalau tidak ada jejak sama sekali.
"Kami minar kalau kalian telah dirampok dan kehabisan perbekalan. Di Cikar kami, ada sedikit makanan yang diberikan oleh penduduk desa saat kami lewat. Kalian bisa makan lalu istirahat..."
"Apa maksudmu istirahat? apa kalian pikir kita sedang bertamasya? kita membawa tahanan pengasingan kenapa harus membiarkan mereka beristirahat terlalu lama?" tanya kepala prajurit Waluyo.
Mendengar ucapan dari kepala prajurit Waluyo, kepala prajurit Arga merasa kalau orang ini begitu tegas. Memang seharusnya seperti itu. Tapi, karena kepala prajurit Arga memikirkan bahwa tahanan pengasingan yang mereka kawal mayoritasnya adalah wanita maka mereka juga memikirkan kalau mereka pasti tidak akan kuat kalau jalan dalam waktu yang lama.
"Menempuh perjalanan jauh, pada tahanan ini juga pasti kelelahan. Kita, juga para prajurit membutuhkan istirahat supaya kita bisa mengamalkan mereka..."
"Buang-buang waktu. Apakah Raja Darmawangsa menggajimu untuk ini?" tanya kepala prajurit Waluyo.
"Bukan masalah buang-buang waktu. Mereka manusia biasa. Dan melanjutkan perjalanan di malam hari sangat berbahaya. Bukan hanya binatang buas, tapi perampok juga kebanyakan beraksi di malam hari. Ini demi keselamatan semua orang!" jelas kepala prajurit Arga.
"Penakut!" kata salah satu prajurit yang ada di belakang kepala prajurit Waluyo.
Dikatakan seperti itu, tentua saja Simin merasa tidak senang.
"Siapa yang penakut? kami juga sudah bertemu dengan perampok di hutan. Tapi kamu tidak kehilangan apapun. Kudengar kalian kehilangan perbekalan kan? siapa yang penakut?" tanya Simin dengan tangan berkacak pinggang.
Badrun dan Santo juga mengikuti gerakan Simin. Mereka tentu saja tidak terima jika mereka dibilang penakut meski sebenarnya memang mereka juga bukan pemberani.
Warren yang melihat gelaga kepala prajurit Waluyo dan anak buahnya semakin yakin kalau firasatnya benar.
'Mereka semua, bukan rombongan pengasingan!' batinnya yakin sekali.
***
Bersambung...
lanjutkan di tunggu up berikut nya