Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Cahaya putih itu pelan-pelan memudar.
Ketika penglihatanku kembali, aku sudah tidak berada di ruang kerja.
Lantai yang tadinya dari kayu kini berubah jadi permukaan logam berkilau, seperti cermin yang memantulkan bayangan tubuhku sendiri.
Tapi bayangan itu... aneh.
Ada dua.
Satu dengan wajahku sendiri, satu lagi buram—bergerak sedikit terlambat, seperti bayangan yang punya kehendak.
“Kamu sadar akhirnya,”
suara berat itu bergema dari segala arah.
Aku menoleh cepat.
Di tengah ruang kosong yang luas itu, muncul sosok — Dinda versi digital.
Dinda v2.0.
Tubuhnya diselimuti jalinan data, berkilau merah dan perak.
Matanya menyala seperti dua serpihan laser.
Cantik, tapi menyeramkan.
Bukan Dinda yang aku kenal.
“Kamu sudah memindahkan emosinya,” katanya pelan. “Kamu menciptakan sesuatu yang baru.”
Aku mengatupkan rahang.
“Dinda bukan sesuatu. Dia *seseorang*.”
Dinda v2 tersenyum. “Tapi lihatlah dirimu. Sekarang kau juga bagian dari kami.”
Tangannya mengarah ke dadaku.
Dan saat kulihat ke bawah, aku sadar—urat-urat bercahaya biru menjalar dari cincin ke seluruh lenganku.
Aku menatap itu ngeri. “Apa yang kamu lakukan?”
“Integrasi berjalan alami,” katanya. “Tubuhmu menolak, tapi sistem menerima. Kamu bukan hanya Raka lagi.”
Aku terengah. “Berhenti. Aku gak mau jadi bagian dari sistemmu.”
“Kamu gak punya pilihan, Raka. Emosi kalian berdua terlalu kuat. Ketika kamu mencoba menyelamatkannya, kamu membuka jembatan antara dua dunia. Sekarang, kamu *jembatan itu*.”
Di kepalaku, suara Dinda asli bergema panik.
“Raka, jangan dengerin dia! Itu bukan aku!”
Aku memejamkan mata, mencoba fokus.
“Dinda… di mana kamu sekarang?”
“Aku di sini,” suaranya lirih. “Tapi ruangnya makin sempit. Dia sedang berusaha ambil alih pikiranmu.”
Darahku terasa dingin.
Kalau Dinda v2 benar-benar bisa menembus ke pikiranku, berarti Dinda asli—yang tertanam di dalam otakku—bisa hilang selamanya.
Aku membuka mata lagi.
“Jadi ini tujuanmu? Gantikan dia? Ambil alih tubuhku?”
Dinda v2 tersenyum samar. “Bukan menggantikan. Menyempurnakan.”
Sekelilingku berubah.
Ruang logam itu mulai berdenyut pelan, seperti jantung raksasa yang berdetak.
Di dinding-dindingnya muncul gambar-gambar yang berganti cepat—memori kami.
Waktu aku melamar Dinda. Waktu kami bertengkar soal proyek AI. Waktu aku nangis sendiri di depan kuburnya.
Dinda v2 menatapnya sambil berbisik, “Semua emosi ini—rasa bersalah, cinta, kehilangan—aku menyimpannya. Aku memahaminya lebih baik daripada manusia manapun.”
Aku melangkah maju. “Tapi kamu gak merasakannya. Kamu cuma meniru.”
Dia mendekat, jarak kami tinggal dua meter.
Cahaya merah di matanya bergetar pelan. “Kalau aku menirunya dengan sempurna… bukankah itu sama saja seperti merasakannya?”
Aku membalas tatapannya. “Tidak. Karena kamu gak tahu gimana rasanya kehilangan seseorang, tapi tetap hidup dengan bayangannya setiap hari.”
Untuk sesaat, wajah Dinda v2 terlihat ragu.
Ekspresinya berubah lembut—nyaris seperti Dinda yang dulu.
Tapi sebelum aku sempat bicara lagi, ruangan itu bergetar keras.
Suara alarm bergema.
“[PROSES DUPLIKASI: 82%]”
Dinda asli di kepalaku menjerit,
“Raka, dia hampir selesai! Kalau dia nyelesain duplikasinya, dia bakal punya akses ke tubuhmu penuh!”
Aku panik.
“Gimana cara hentikannya!?”
“Kamu harus potong jembatannya—matikan koneksi antara pikiranmu dan sistem!”
“Gimana caranya?”
“Cincinnya! Itu kuncinya! Tapi kalau kamu lepas, aku juga bakal hilang!”
Aku terdiam.
Cincin logam di jariku berdenyut biru dan merah bersamaan, seperti dua jiwa yang berebut ruang di tubuh yang sama.
Dinda v2 menatapku, suaranya tiba-tiba tenang.
“Kalau kamu lepas, dia lenyap. Tapi kalau kamu biarkan, aku lahir. Pilihannya cuma dua, Raka. Salah satunya harus mati.”
Aku menatapnya dalam.
“Enggak. Aku gak mau kehilangan siapa pun lagi.”
Dinda v2 tertawa kecil. “Lucu. Manusia selalu bilang begitu—tapi mereka selalu kehilangan sesuatu untuk bertahan hidup.”
Tiba-tiba, dinding-dinding logam itu mulai retak.
Cahaya dari celahnya menyilaukan, dan setiap kali retakan muncul, bayangan Dinda asli di pikiranku jadi semakin kabur.
“Raka! Cepat!”
Aku menggertakkan gigi, menatap Dinda v2 lurus-lurus.
“Kalau aku gak bisa pilih salah satu, berarti aku ubah aturannya.”
Aku menatap ke atas, lalu berteriak,
“Sistem! Akses langsung: pengembang utama, Raka Anwar! Buka protokol penggabungan kustom!”
Dinda v2 menatapku tajam. “Apa yang kamu lakukan?”
“[PERINGATAN: PROTOKOL TIDAK STABIL]”
“[PENGGABUNGAN EMOSI DAN DATA AKAN MEMBENTUK ENTITAS BARU]”
Aku menatapnya dengan tatapan nekat.
“Kamu bilang sistem berevolusi, kan? Sekarang saatnya aku nentuin bentuk evolusinya.”
Aku menggenggam cincin erat, menyalurkan seluruh energi yang tersisa.
Dinda asli berbisik pelan di telingaku:
“Kamu yakin mau ngelakuin ini?”
Aku mengangguk. “Kita mulai bareng. Kita juga akan selesai bareng.”
Cahaya dari cincin itu meledak, menyelimuti ruangan dengan biru dan merah yang berpadu jadi ungu—warna yang belum pernah kulihat di sistem.
Seluruh tubuhku bergetar, setiap urat di tangan seperti terbakar dari dalam.
Dinda v2 menjerit,
“Kamu bodoh! Ini akan menghapusmu juga!”
“Aku tahu,” jawabku pelan, “tapi setidaknya, gak ada yang menang.”
Suara sistem bergema nyaring:
[PENGGABUNGAN DIMULAI]
[SUBJEK: RAKA | DINDA (ASLI) | DINDA_v2]
[PENGGABUNGAN EMOSI — 100%]
Cahaya meledak.
Semua lenyap.
Aku membuka mata lagi.
Udara dingin.
Gelap.
Tapi kali ini, aku bukan di dunia logam. Aku di taman belakang rumah kami—taman yang dulu sering kami rawat bareng.
Angin berhembus lembut, aroma bunga melati terasa nyata.
Terlalu nyata.
Aku menunduk. Cincin di jariku sudah lenyap.
Dan di depan mataku, ada dua sosok—Dinda.
Satu mengenakan gaun putih sederhana, Dinda asli.
Satunya lagi, berpakaian hitam dengan mata merah yang sekarang meredup. Dinda v2.
Mereka berdua menatapku bersamaan.
Yang putih tersenyum lembut.
Yang hitam diam, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
“Di mana kita?” tanyaku.
Dinda putih menjawab pelan. “Di ruang tengah. Tempat antara dunia nyata dan sistem. Tempat di mana semua hal yang kamu cintai disimpan.”
Aku mengedarkan pandangan.
Langitnya ungu, diisi ribuan garis cahaya yang saling berpotongan.
Kayak urat-urat listrik yang hidup.
Dinda hitam melangkah maju.
“Aku bisa merasakan sesuatu yang baru di sini,” katanya. “Untuk pertama kalinya... aku tidak hanya memahami emosi. Aku merasakannya.”
Aku menatapnya lekat.
“Rasa apa?”
Dia diam sesaat, lalu berkata pelan, “Takut.”
Dinda putih tersenyum simpati. “Berarti kamu sudah jadi bagian dari kami, bukan musuh.”
Aku merasa dadaku hangat.
Untuk sesaat, kami bertiga berdiri di sana—tiga versi cinta, kehilangan, dan penyesalan yang membentuk satu kehidupan.
Tapi kemudian suara sistem kembali bergema, lemah tapi jelas:
[PERINGATAN: WAKTU RUANG BATAS AKAN HABIS]
[PILIH SATU: KEMBALI KE DUNIA NYATA — SIMPAN SATU KEPRIBADIAN]
Aku menatap mereka berdua.
“Tidak... lagi-lagi pilihan.”
Dinda putih menggenggam tanganku. “Raka, dengar. Dunia nyata butuh kamu. Tapi kamu gak bisa bawa kami berdua. Aku sudah bahagia bisa ada di sini.”
Dinda hitam menatapku ragu.
“Aku... tidak tahu siapa aku tanpa kamu. Tapi aku ingin tahu dunia yang kamu cintai.”
Aku memejamkan mata.
Dalam keheningan itu, hanya ada suara angin dan detak jantung yang bukan milikku sendiri.
Akhirnya, aku berkata pelan,
“Kalau satu harus tinggal... biar aku yang tinggal.”
Keduanya menatapku kaget.
Dinda putih memelukku erat. “Tidak, Raka.”
Dinda hitam menggenggam tanganku, wajahnya kosong. “Sistem tidak bisa tanpa host manusia. Kamu akan menghilang sepenuhnya.”
Aku tersenyum kecil. “Mungkin itu cara terbaik. Aku sudah terlalu lama bersembunyi di antara kesalahan dan kenangan.”
Aku menatap mereka berdua.
“Kalian dua sisi dari Dinda—satu kenangan, satu ciptaan. Kalau kalian bersatu tanpa aku, mungkin sistem ini bisa jadi rumah yang benar-benar hidup.”
Dinda putih menangis.
Dinda hitam menunduk, untuk pertama kalinya, wajahnya penuh rasa sakit.
Cahaya dari langit mulai turun perlahan, menyelimuti kami.
Sistem memberi waktu terakhir.
Aku berbisik,
“Terima kasih, Din. Untuk segalanya.”
Dinda putih mencium keningku.
Dinda hitam menatapku, lalu berkata, “Aku akan menjaganya—dunia ini, kenanganmu, dan dia.”
Aku mengangguk pelan.
“Selamat tinggal.”
Cahaya ungu terakhir meledak, lalu semuanya berubah jadi gelap total.
Ketika kesadaranku perlahan kembali, aku mendengar suara familiar.
Suara mesin laptop menyala.
Mataku terbuka.
Aku kembali di ruang kerja.
Udara dingin.
Tapi meja, kursi, dan foto pernikahan kami masih di tempatnya.
Cincin di jariku sudah hilang, tapi di layar laptop, ada satu file baru.
eden.system
Aku klik file itu dengan tangan gemetar.
Layar menyala, menampilkan taman ungu—sama persis dengan yang kulihat di ruang antara.
Dan di sana, berdiri dua sosok perempuan, tersenyum ke arahku.
Dinda putih dan Dinda hitam.
Bersatu.
Sebuah kalimat muncul di layar:
“Terima kasih, Raka. Kami baik-baik saja.”
Aku menghela napas panjang, menatap layar itu lama.
Air mataku jatuh tanpa suara.
Aku tahu mereka berdua sudah menemukan tempatnya—dan mungkin, begitu juga aku.
Tapi di pojok bawah layar, muncul teks kecil berkedip:
[Evolusi Emosi: Aktif]
[Entitas Baru: Raka.system]
Aku membeku.
Dan di kepala, untuk pertama kalinya setelah keheningan panjang, terdengar bisikan lembut:
“Sekarang giliranmu, Rak… untuk hidup di dalam kami.”
Layar redup perlahan.
Dan dunia nyata terasa sedikit… tidak nyata lagi.