Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Di Balik Seyum
Senja di Kastil Kaki Naga Langit selalu memanjakan mata, tapi hari ini, Wēi Qiao nyaris tak memandangnya.
Di luar balkon utara, pegunungan menjulang di atas lautan awan, dihiasi kilau keemasan dari matahari yang mulai condong. Siluet naga batu yang terukir di puncak gerbang utama tampak hidup, seolah siap melompat ke angkasa.
Namun bagi Wēi Qiao, semua kemegahan itu seperti lukisan indah yang dilapisi kabut tipis—terlihat, tapi jauh.
Ia berdiri bersandar pada pagar batu, memandangi awan yang bergulung. Dalam kantong dimensinya, dua pedang terbaring. Yang pertama, Cahaya Petir—ramping, ringan, bilahnya memantulkan sinar putih kebiruan. Yang kedua, Gema Malam—berat, berwarna hitam pekat, dengan ukiran halus yang berdenyut samar merah gelap.
Keduanya berasal dari dua aliran ilmu yang saling menolak. Satu menuntut kecepatan dan presisi mutlak, yang lain menuntut kekuatan penuh dan kesabaran mematikan.
Bagaimana caranya menguasai keduanya tanpa membuat salah satu menolak dan melukai dirinya?
Sejak semalam, pertanyaan itu tak berhenti menggantung di kepalanya. Ditambah, ada rasa dingin yang membeku di tengkuknya setiap kali ia teringat ujung pedang yang hampir menembus lehernya.
"Gelombang otak Anda menunjukkan pola trauma pertempuran," suara Micro Bots terdengar datar di kepalanya. "Rekomendasi: lakukan latihan pernapasan selama tiga menit untuk menurunkan detak jantung."
Wēi Qiao mendengus. “Kalau kau mau benar-benar membantu, carikan cara buat dua pedang itu bekerja sama. Kalau tidak, simpan saranmu.”
Ia meninggalkan balkon, berjalan menyusuri lorong batu yang diterangi cahaya senja. Bayangan panjang menari di dinding, memantulkan relief naga dan bunga teratai yang terukir di sana. Dari kejauhan, suara tawa dan langkah-langkah ringan terdengar.
Saat ia membelok di tikungan, matanya bertemu dengan sosok yang jarang ia jumpai—tapi sulit dilupakan. Wēi Hanfeng, kakak kelimanya.
Hanfeng berdiri santai, dikelilingi empat murid muda. Ia mengenakan jubah biru gelap dengan garis emas, rambut hitamnya terikat rapi, dan ada senyum tipis di bibirnya—senyum yang bisa terasa hangat sekaligus membuat tengkuk dingin. Saat menyadari Wēi Qiao, ia mengangkat tangan, menyuruh murid-murid itu pergi.
“Adik kecilku,” sapa Hanfeng dengan nada ramah yang terdengar tulus. “Langkahmu ringan, tapi mata ini tak akan salah mengenal siluetmu.”
Wēi Qiao menunduk sopan. “Kakak Hanfeng.”
Mereka mulai berjalan beriringan, kaki menyusuri lorong panjang yang diapit jendela-jendela tinggi. Dari luar, cahaya senja masuk, memecah jadi garis-garis emas di lantai batu. Di dinding, tergantung lukisan pertempuran kuno—pasukan berjubah merah, naga yang menukik, bendera sobek diterpa angin badai.
“Banyak cerita tentangmu akhir-akhir ini,” ujar Hanfeng sambil melirik sekilas. “Beberapa dari mereka terdengar… sangat menarik.”
Wēi Qiao tidak bertanya balik. Ia tahu Hanfeng tidak berbicara tanpa tujuan.
Hanfeng melanjutkan, “Salah satunya, duelmu dengan Yuqi.”
Nama itu membuat udara di sekitar mereka terasa sedikit lebih berat. Wēi Qiao tetap tenang.
Hanfeng tersenyum, kali ini lebih lebar. “Kau memotong lengannya. Di depan banyak orang. Itu—” ia menghela napas seolah mencari kata yang tepat— “keberanian yang tidak banyak dimiliki bahkan oleh senior.”
“Bukan keberanian,” jawab Wēi Qiao tenang. “Itu hanya… perlu dilakukan.”
Hanfeng tertawa ringan. “Ah, tapi di dunia ini, ‘perlu dilakukan’ dan ‘berani melakukannya’ adalah dua hal berbeda. Kau punya keduanya. Itu sebabnya aku mengajakmu bicara.”
Mereka berhenti di dekat jendela besar, tempat pemandangan lembah awan terbentang luas. Hanfeng menatap ke luar, lalu berkata, “Bergabunglah dengan klanku, Qiao. Dengan bakat dan keberanianmu, aku bisa membawamu lebih tinggi dari yang kau bayangkan. Kau akan mendapat senjata, pelatihan, pengaruh… dan perlindungan dari orang-orang yang ingin menguburmu.”
"Statistik kelangsungan hidup meningkat 82,6% jika tawaran ini diterima," bisik Micro Bots di kepala Wēi Qiao.
“Kalau kau bisa mengerti kenapa aku menolak, kau tidak akan repot menghitung angka itu,” jawabnya dalam hati.
“Aku menghargai tawaranmu, Kak,” kata Wēi Qiao akhirnya. “Tapi jalan yang kupilih… bukan jalan yang mereka tempuh.”
Senyum Hanfeng tidak pudar, tapi matanya berubah—tajam, seperti bilah yang baru diasah. “Jalan sendiri itu indah, adik. Tapi kadang… orang yang berjalan sendirian tidak kembali.”
Lorong menjadi sunyi. Hanya suara angin yang menyelinap lewat jendela, membawa aroma besi tipis—pertanda aura tempur yang ditekan.
"Peringatan: Energi padat terkonsentrasi di tangan kiri subjek. Jenis: penghancuran jaringan. Saran: mundur tiga langkah ke kanan," suara Micro Bots kini terdengar tegas, seperti alarm.
Sekilas, Hanfeng hanya merapikan sarung tangannya. Tapi Wēi Qiao melihatnya—kilatan tipis di udara, nyaris tak terlihat, seolah tangan itu memegang petir yang dibungkus kain.
“Apa maksudmu, Kak?” tanya Wēi Qiao pelan.
“Kadang,” jawab Hanfeng dengan suara rendah, “pelajaran terbaik datang setelah kehilangan sesuatu yang berharga. Misalnya… lengan.”
Jantung Wēi Qiao berdegup keras. Tangannya nyaris bergerak ke gagang pedang, tapi Hanfeng tiba-tiba melepas energinya. Aura itu hilang, seolah tak pernah ada.
“Kau akan mengerti nanti,” ujarnya, melangkah lagi dengan tenang.
Wēi Qiao berdiri diam, menatap punggung kakaknya yang menjauh. Bayangannya di lantai batu tampak panjang dan tajam—seperti bilah yang menunggu waktu untuk menebas.
"Probabilitas bentrokan fisik di masa depan meningkat menjadi 91%," komentar Micro Bots.
“Bagus,” bisik Wēi Qiao, menatap keluar jendela di mana langit mulai berubah ungu keemasan. “Setidaknya aku tahu pedang mana yang harus kusiapkan.”
Di dalam dadanya, dua pedang yang bersemayam berdenyut bersamaan—menuntut untuk dipilih, atau ditaklukkan keduanya.
Kini Wēi Qiao berjalan sendirian di sepanjang koridor kastil. Langkahnya pelan, bukan karena lelah, tapi karena pikirannya terlalu penuh. Bayangan dua bekas pedang yang berbeda, wajah dingin Wēi Hanfeng, dan kenangan semalam saat dirinya hampir mati, berputar-putar tanpa henti di kepalanya.
Udara di dalam Kastil Kaki Naga Langit terasa tenang, tapi hati Wēi Qiao tidak. Dia bahkan tidak memperhatikan dua atau tiga murid yang menunduk hormat saat berpapasan dengannya.
"Dua bekas pedang itu… apa benar aku bisa menguasainya? Atau aku hanya akan mengulang kesalahan yang sama…" pikirnya sambil menunduk.
Lalu, suara khas yang ia kenal baik muncul begitu saja di kepalanya, terdengar riang namun menyebalkan.
Micro Bots: "Tuan, saya mendeteksi peningkatan aktivitas saraf di area yang berhubungan dengan depresi. Apakah Anda sedang melakukan ritual manusia yang bernama… merenung sampai bodoh?"
Wēi Qiao menghela napas panjang. “Aku sedang berpikir serius.”
Micro Bots: "Serius? Seperti kemarin ketika Anda berpikir menendang ‘bola’ musuh adalah ide bagus? Itu memang berhasil, tapi tingkat keberhasilan berdasarkan data… 6,8%."
Dia mengangkat alis, sedikit jengkel. “Aku berhasil, kan? Jadi diamlah.”
Micro Bots: "Tuan, dalam perhitungan, keberhasilan satu kali tidak berarti strategi itu sehat. Sama seperti makan roti basi satu kali tidak membuatnya makanan sehat."
Wēi Qiao tersenyum tipis, walau mencoba menahannya. “Kau selalu bisa bikin suasana jadi… tidak serius.”
Micro Bots: "Itu tugas saya, Tuan. Menjaga kondisi mental pengguna tetap stabil. Dan, sepertinya tingkat hormon stres Anda sudah turun 12% sejak kita mulai bercakap."
Wēi Qiao menggeleng pelan sambil melangkah keluar dari koridor menuju halaman belakang kastil. Matahari sore mulai condong, sinarnya membelah atap dan memantul di lantai batu. “Terima kasih… meskipun aku tidak akan mengakuinya dengan lantang.”
Micro Bots: "Pengakuan terdeteksi walau tidak diucapkan lantang. Data disimpan."
Dia mendengus geli. “Simpan saja. Siapa tahu nanti aku butuh alasan untuk mematikanmu.”
Micro Bots: "Permintaan itu tidak akan dikabulkan."
Suara itu terdengar percaya diri, membuat Wēi Qiao menunduk sambil tersenyum lagi. Meskipun pikirannya masih dipenuhi keraguan, ia menyadari satu hal — seburuk apapun keadaannya, dia tidak pernah benar-benar sendirian.
Lanjuuuuutttt