Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.
Setelah selesai makan malam, Mahardika dan juga Za kembali ke kamar.
"Maaf sudah meninggalkanmu sendiri siang tadi." kalimat pertama yang diucapkan Mahardika setibanya mereka dikamar.
"Nggak perlu minta maaf. Lagian kamu kan kerja bukannya lagi bersantai." balas Za seraya mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Sementara Mahardika masih dalam posisi berdiri dengan jarak beberapa langkah dari posisi Za saat ini.
"Aku mengerti, apa yang terjadi pada kita pasti sangat mengejutkan bagimu. Tiba-tiba menikah dan hidup bersama bahkan berbagi kamar, tapi aku berharap kamu bisa menerima pernikahan ini!." Tutur Dika dengan suara yang terdengar lembut.
"Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita terus bersama sedangkan kita tidak saling mencintai?."
"Apa kamu memiliki niatan untuk mengakhiri pernikahan ini?." Mahardika balik bertanya.
"Jika ada, maka sebaiknya lupakan karena aku tidak akan menceraikan mu!." imbuh Mahardika sebelum Za sempat menjawab.
Zaliva menarik sudut bibirnya ke samping hingga menciptakan sebuah seringai di sana. "Jika kau tetap mempertahankan aku, lalu bagaimana kamu bisa bebas menemui para kekasihmu itu, hm?."
"Jangan mengada-ada Zaliva. Aku bukan lelaki buaya darat seperti apa yang selalu kau tuduhkan selama ini!." Mimik wajah Mahardika lebih serius dari sebelumnya. "Aku bahkan tidak punya kekasih, lalu bagaimana bisa kau selalu menyebutku lelaki buaya darat?." sambung Mahardika dengan dahi berkerut.
Ketimbang meladeni Mahardika yang menurutnya sedang bersandiwara, Za memilih beranjak menuju lemari pakaian guna mengambil pakaian tidurnya.
"Bibi meletakkannya di sebelah mana sih?." Gerutu Zaliva sembari mencari-cari keberadaan semua piyamanya. gadis itu sampai berjinjit untuk memeriksa pada bagian teratas mungkin bibi meletakkannya di sana. tapi sayangnya, ia tak kunjung menemukannya. "Apa bibi belum mengeluarkan nya dari koper." gumam Za, lalu berinisiatif mengecek kembali ke dalam koper yang berada di atas lemari.
"Arg....."
Kalau saja Mahardika tidak cepat menopang tubuhnya, mungkin Za sudah melorot ke lantai akibat kakinya tergelincir saat menaiki kursi hendak mengambil koper dari atas lemari.
Deg
Jantung Mahardika berdegup kencang ketika mereka berada dalam posisi sedekat itu, terlebih Za yang terkejut kontan berbalik badan hingga posisi keduanya saling berhadapan. Saking dekatnya, Za dapat menghirup aroma min yang berasal dari hembusan napas Mahardika.
Entah karena nalurinya sebagai seorang pria normal atau karena memang yang kini berada tepat dihadapannya adalah istrinya, Mahardika seakan kehilangan kendali sehingga. "Cup." sebuah kecu-pan lembut mendarat dibibir mungil Zaliva.
"Maaf." Tutur Mahardika ketika menyadari tindakan yang dilakukannya.
Zaliva masih terpaku, seperti tak percaya Mahardika baru saja menge-cup bibirnya, mengambil ciu-man pertamanya. Setelah tersadar, Za segera beranjak menuju tempat tidur, merebahkan tubuhnya memunggungi posisi berdirinya Mahardika saat ini.
Mahardika menghela napas panjang. "Apa yang sudah aku lakukan? Kalau begini, Za pasti akan membenciku, menganggap aku telah berbuat lancang kepadanya." batin Mahardika, menyesali tindakan gegabah yang telah dilakukannya.
Malam ini Mahardika memilih tidur di sofa. Bukannya tak mau tidur di samping Za, namun saat Mahardika meminta izin untuk bergabung di tempat tidur, Za sama sekali tidak memberikan jawaban, istrinya itu hanya diam saja padahal Mahardika tahu betul bahwa Zaliva belum tidur.
"Jika hari ini saja dia sudah berani menge-cup bibirku, tidak menutup kemungkinan kedepannya dia akan melakukan hal yang lebih dari ini." batin Za yang tak dapat memejamkan matanya walaupun waktu telah menunjukkan pukul setengah satu dini hari.
"Ini tidak boleh dibiarkan, aku harus bertindak sebelum semuanya terlambat." Za masih saja berbicara dalam hati.
Keesokan paginya.
Mahardika yang terjaga lebih dulu beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya sebelum bersiap berangkat kerja.
Mungkin karena semalam ia baru tertidur pada pukul empat dini hari, Za baru terbangun sesaat setelah Mahardika berangkat ke kantor.
Di sepanjang perjalanan menuju perusahaan tempatnya berkantor, Mahardika terus memikirkan tindakannya terhadap Za semalam. Di satu sisi Mahardika merasa bersalah namun di sisi lain hatinya, Mahardika justru membenarkan tindakannya mengingat Za adalah istrinya dan ia berhak melakukannya bahkan lebih dari sekedar menge-cup bibir Za pun ia berhak.
Bahkan hingga beberapa jam menempati kursi kebesarannya, Mahardika masih belum bisa melupakan kejadian semalam.
"Permisi tuan." kedatangan asisten pribadinya sekaligus menyadarkan Mahardika dari lamunannya.
"Ada apa?."
Asisten pribadinya tersebut ingin menyampaikan sesuatu tetapi terlihat ragu.
"Apa ada masalah?." tebak Mahardika.
"Nyonya barusan menelepon dan meminta saya menyampaikan pada anda jika saat ini istri anda tidak ada di rumah, tuan."
"APA?." Mahardika sampai bangkit dari duduknya. "Bagaimana bisa?."
Mahardika langsung mengecek ponselnya, dan pria itu langsung berdecak kesal. pantas saja mama Riri menghubungi asisten pribadinya ternyata ia lupa mengaktifkan ponselnya pagi tadi sebelum berangkat ke kantor. Mahardika langsung melacak keberadaan GPS di ponsel Za untuk mencari tahu keberadaan istrinya itu.
"Bandara?." gumam Mahardika. Ternyata lokasi GPS di ponsel Zaliva tengah menunjukkan lokasi bandara. Mahardika langsung menyambar kunci mobilnya dan berlalu menuju bandara.
Mahardika mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga dalam kurun waktu beberapa menit saja mobilnya telah tiba di bandara.
Tanpa membuang waktu, Mahardika segera turun dari mobilnya guna mencari keberadaan Zaliva. pria itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Kamu di mana, Zaliva? Kenapa kamu melakukan ini?." Mahardika semakin cemas mengingat Za tidak terlalu tahu situasi di kota ini.
Hampir setengah jam Mahardika mengelilingi area bandara tapi ia tak kunjung menemukan keberadaan istrinya. Di saat Mahardika hampir putus asa, secara tidak sengaja pandangannya menangkap keberadaan Zaliva yang kini sedang duduk di sebuah bangku besi bandara.
"Zaliva..." Lirih Mahardika lalu mengayunkan langkah lebar menghampiri gadis itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?." suara bariton yang sangat dikenalnya mampu membuat Za mengangkat pandangannya.
"Aku ingin kembali ke Surabaya. Aku ingin mengakhiri semua ini, aku tidak sanggup menjalani pernikahan ini. Tolong ceraikan aku, aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini!."
Deg
Mahardika tersentak mendengar permintaan Za. baru beberapa hari menikah, gadis itu sudah meminta cerai.
"Tenangkan dirimu...! Kita bisa bicara baik-baik Zaliva!." Sadar jika saat ini Zaliva sedang emosi, Mahardika pun berusaha bersikap lebih tenang.
Disebabkan Za menolak bicara baik-baik dengannya, dengan terpaksa Mahardika merebut tiket pesawat yang berada digenggaman tangan Za.
"Kembalikan... kembalikan tiketnya, mas!."
"Kamu tidak akan pergi kemana-mana sebelum kita bicara." balas Mahardika seraya berlalu meninggalkan Za. Bukannya tega meninggalkan istrinya tetapi Mahardika yakin jika ia membawa serta tiket pesawat milik Za, istrinya itu pasti akan menyusulnya.
Seperti dugaan, Za pun menyusul Mahardika hingga ke mobilnya.
"Kembalikan tiketnya mas, aku mau kembali ke Surabaya! Aku mau Kita pisah."
"Cobalah berpikir dengan jernih Zaliva! Apa kamu pikir orang tua kamu tidak akan marah jika kau kembali pada mereka dengan cara seperti ini, dengan cara meninggalkan suami kamu begitu saja?."
Deg.
Zaliva baru menyadari itu. Mungkin karena terlalu banyak hal yang mengisi otaknya sehingga hal sepenting itu tak terpikirkan olehnya.
"Aku mohon ceraikan aku, mas! jika kamu menceraikan aku mama dan papa pasti tidak akan marah dan mau menerima aku kembali." pinta Za dengan tatapan berubah nanar.
Cukup lama Mahardika terdiam sampai pada akhirnya pria itu kembali berucap. "Jika memang kamu ingin mengakhiri pernikahan ini, mas punya satu syarat."
"Syarat apa yang mas inginkan?." Za merasa ada secercah harapan agar bisa terlepas dari belenggu pernikahan bersama Mahardika.
"Sebelum kita berpisah, mas ingin kamu melahirkan seorang anak untuk mas!." entah apa maksud dan tujuan Mahardika sehingga mengajukan syarat demikian kepada Za.
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...