Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Diam diam saling memperhatikan
“Gila yaa, reschedul 10 menit sebelum masuk kelas tuh sopan santunnya dimana sih?!” Keluh Diana sambil merengut.
“Iyaa… tau dia dosen, berhak ngatur jadwal. Tapi enggak sepuluh menit sebelum kelas dimulai juga” lanjutnya.
Tessa yang sejak tadi duduk membaca novel yang dia pinjam beberapa waktu diperpus menoleh pada Diana. Diana paling gak bisa bangun pagi, jadi kalau ada kelas pagi jelas dia..sangat effort sekali untuh bisa datang tepat waktu.
“Udah lah Di, sabar..”
“Lagian alasannya pak Irwan juga wajar kok kenapa dadakan. Karena istrinya mau melahirkan.”
Raisa mencoba menenangkan sahabatnya itu. Ia menyodorkan minuman kaleng setengah dingin itu ke arah Diana.
“Nih minum dulu, biar adem pikiran lo”
Diana mengambil minuman itu, tapi wajahnya masih cemberut.
“Dari pada gabut, kita ke cafe depan kampus yuk,” ajak Tessa tiba-tiba. “Gue lihat diIG buka start jam tujuh, tempat nya juga cozy banget sih.”
Sebenarnya, dia butuh lebih dari sekedar kopi. Dia butuh menenangkan pikirannya. Meningat pertengkarannya semalam dengan Renata—ibu mertua nya dan juga postingan Liora yang sedang bersama dengan Rajata—suaminya.
“Boleh juga tuh..ayok deh” sahut Diana cepat “Butuh manis-manis gue buat ngilangim badmood”
“Eh…si Putri gimana?” Tanya Raisa mengehentikan langkahnya.
“Kirim pesan aja. Bilang kita geser ke cafe depan!” Balas Diana sambil menggandeng lengan Raisa.
“Okedeh”
Kini mereka berjalan beriringan menuju cafe di depan kampus. Jaraknya cukup dekat, jadi mereka memutuskan untuk jalan kaki saja.
Cafe itu didesain instagramable banget, dengan sentuhan estetik ala mahasiswa. Nuansanya cozy, lumayan cocok untuk nongkrong atau nugas sambil menikmati suasana.
Mereka memilih duduk di pojokan, tepat di samping jendela besar yang menghadap ke luar. Dari situ, mereka bisa melihat para mahasiswa lalu-lalang masuk ke area kampus.
Beberapa menit kemudian, aroma kopi dan croissant hangat mulai menguar di udara.
“Ini pesanannya, Kak,” ucap pelayan sambil menyusun gelas dan piring di atas meja.
“Dua coffee latte… satu chocolate float-nya… dan matcha latte, satu croissant dan dua spaghetti bolognese”
“Terimakasih!” Jawab Tessa sopan.
“Eh matcha latte punya siapa? Tanya Diana menatap satu persatu teman nya.
“Punya gue!” sahut Putri yang baru datang dengan napas memburu. Ia langsung menjatuhkan diri ke kursi kosong di samping mereka.
“Lah cepet amat buk datengnya” balas Raisa yang spontan menggeser duduk nya memberi ruang untuk Putri.
“Perasaan lo baru bilang ‘otw’ deh!” Sahut Diana heran.
“Gue bilang ‘otw’ dari parkiran kampus maksudnya.” Sahut Putri santai.
Mereka bertiga tenggelam dalam obrolan seru. Topik utamanya, tentu saja, soal Diana yang masih kesal karena kelas paginya tiba-tiba dibatalkan.
“Pokoknya ya… gue udah bela-belain pasang alarm jam lima pagi, mandi buru-buru sampai matahin tutup face wash gue, eh kelasnya malah dibatalin,” gerutu Diana sambil menyilangkan tangan di dada.
“Ya anggap aja lo belajar bangun pagi biar jadi istri idaman besok” kata Raisa.
Diana mendengus. “Nggak lucu.”
Di sela-sela obrolan mereka, ponsel Putri yang diletakkan di meja tiba-tiba bergetar pelan. Layar ponsel itu menyala, menampilkan nama ‘Ayah’ disana.
Putri buru-buru meraih ponselnya. “Eh, gue angkat telepon bokap dulu ya,” katanya sambil bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh ke luar cafe.
“Halo…” sapa Putri sambil menempelkan ponsel ke telinganya.
“Halo Putri… kumaha damang?” sapa Hendra, ayah Putri, dengan suara hangat.
“Alhamdulillah damang, Yah. Ayah sorangan kumaha? Tumben telepon ayeuna mah?” jawab Putri, senyum kecil terukir di wajahnya.
Putri memang asli Bandung. Sejak diterima di salah satu universitas di Jakarta, ia kini harus tinggal ngekos jauh dari keluarga. Meski sudah beberapa bulan, rasa rindu pada rumah masih sering muncul.
“Ayah mah kangen we ka Putri… Besok weekend, pulang bisa teu, Put?” tanya Hendra, nadanya penuh rindu.
“Bisa, Yah… Putri usahakeun, nya.”
“Alhamdulillah… Ayah senang pisan kalau Putri pulang. Rumah jadi sepi teu aya Putri. Ibu jadi suka ngomel ka Ayah kalau ditinggal mancing,” ucap Hendra sambil tertawa kecil.
“Ayah sih mancing terus,” sahut Putri ikut tertawa. “Ya sudah, besok weekend Putri pulang, nya.”
“Iya… Ayah tunggu nya,” jawab Hendra hangat.
“Iya, Ayah. Salam ka Ibu, nya.”
Putri sudah kembali duduk sambil menyeruput es matcha latte-nya pelan.
“Kenapa, Put?” tanya Raisa yang langsung menyadari ada sedikit perubahan di wajah Putri setelah menerima telepon.
“Gue disuruh Ayah pulang besok weekend,”
“Kenapa? Ayah lo sakit?” sahut Diana cepat, nadanya sedikit khawatir.
“Bukaan… cuma kangen aja katanya. Gue juga jadi ikutan kangen rumah,”
Tessa yang sedari tadi duduk di depannya hanya diam, kemudian meraih tangan Putri, menggenggamnya erat. Dia tahu betul rasanya rindu pada orang yang disayang, apalagi orang tua. Putri masih beruntung, pikirnya, hanya terpisah jarak. Sedangkan dirinya… sudah terpisah alam.
“Pulang aja, Put. Naik kereta lebih cepat kan? Biar nggak capek,” kata Tessa lembut.
***
Setelah kelas ketiga selesai, jam di dinding menunjukkan pukul tiga sore.
“Lo langsung balik, Di?” tanya Tessa pada Diana yang sedang merapikan alat lukisnya.
“Hmm… ngantuk banget gue! Mau rebahan,” jawab Diana sambil menguap lebar.
“Lo, Sa? Juga langsung balik?” Tessa menoleh ke arah Raisa.
“Iya nih, gue ada janji sama Nyokap buat nganterin kue,”
“Yaudah deh, ayok…” ajak Tessa, berjalan keluar kelas bersama mereka.
Sebenarnya, Tessa malas pulang ke rumah. Namun karena teman-temannya tidak bisa diajak jalan, mau nggak mau ia memutuskan untuk pulang saja.
Tessa memilih duduk sebentar di taman dekat lapangan basket. Dari sana, ia melihat Rajata sedang latihan bersama teman-temannya.
Saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata elang Rajata, ia buru-buru melengos.
“Huh… males banget liat muka lo,” gumam Tessa lirih. “Dasar Munafik!” Umpatnya dalam hati.
Ia menekan layar ponselnya, hendak memesan ojek online. Namun sebelum sempat menekan tombol konfirmasi, ponselnya berdering. Nama Rajata tertera di layar.
Tessa mendengus kesal. Ia melirik ke arah lapangan—Rajata juga sedang menatapnya tajam seolah berkata: “Angkat telepon gue.”
Dengan malas, Tessa akhirnya menekan tombol hijau.
“Halo.”
“Pulang bareng gue. Tunggu di parkiran,” suara Rajata terdengar dingin namun tegas.
Tessa baru hendak membalas, tapi tiba-tiba terdengar suara perempuan lain di seberang sana.
“Rajaa… anterin aku pulang ya. Mobil aku masih di bengkel,” suara Liora terdengar manja.
Tessa menggertakkan gigi. Ia benar-benar tidak sudi mendengar ocehan itu lebih lama. Dengan cepat, ia memutuskan sambungan telepon.
“Dasar anomali! Udah dibuang juga masih nempel aja,” umpatnya kesal.
Di lapangan, Rajata terdiam saat menyadari teleponnya diputus. Tatapannya masih tertuju pada Tessa, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. Ia ingin menolak permintaan Liora, namun melihat sorot mata Liora yang lembut membuatnya kembali tak tegas.
“Yaudah… ayok. Gue ganti baju dulu,” katanya pada Liora akhirnya.
Liora tersenyum puas. Menang lagi.
“Oke, aku tunggu di sini yaa,” jawabnya dengan nada manja.
Rajata hanya mengangguk. Namun saat ia berjalan menjauh, sorot matanya masih terus mencari sosok Tessa yang kini sudah tak terlihat di taman.
“Kok ditolak terus sih?!” Tessa menggerutu kesal sambil menatap layar ponselnya.
“Kenapa, Tess?” suara Arjuna mengejutkannya. Motor Arjuna berhenti tepat di samping tempat Tessa berdiri.
“Eh… ini gue pesen ojol dari tadi ditolak mulu,”
Arjuna melirik sekilas ke ponsel Tessa lalu tersenyum tipis.
“Wajar… nggak bakal ada yang nerima sekarang. Para driver lagi demo besar-besaran di Istana Presiden.”
“Hah? Demo?” Tessa mengernyit.
“Kenapa emangnya?”
“Nggak tahu detailnya sih… tapi katanya soal tuntutan mereka yang belum ditindaklanjuti pemerintah. Tentang regulasi tarif pengantaran barang sama pembagian hasil yang adil antara pengemudi dan aplikator,” jelas Arjuna sambil mematikan mesin motornya.
Tessa menatap Arjuna dengan takjub.
“Lo update banget ya soal beginian.”
Arjuna tertawa kecil.
“Nggak juga… kebetulan aja tadi gue baca beritanya di timeline.”
Tessa menghela napas panjang.
“Duh… terus gue gimana pulangnya?”
“Ya udah, ayok gue anterin aja,” tawar Arjuna sambil menepuk jok belakang motornya.
Tessa terlihat ragu-ragu. Ia sempat menimang-nimang tawaran itu, namun akhirnya mengangguk pelan.
“Hmm… yaudah deh. Makasih banget ya, Jun.”
“Siap, nih pake helm dulu,” balas Arjuna sambil menyodorkan helm cadangan.
Tessa menerima helm yang disodorkan Arjuna dengan senyum kecil di wajahnya.
“Thanks banget loh, Jun,” ucapnya sambil menyelipkan helm di kepalanya.
Tanpa ia sadari, dari kejauhan Rajata berdiri di sisi parkiran, matanya terpaku pada sosok Tessa yang kini duduk di atas motor Arjuna. Ia melihat tangan Tessa yang ringan menyentuh pundak Arjuna untuk menjaga keseimbangan. Ada sesuatu yang berdesir di dadanya—perasaan asing yang membuat hatinya terasa sesak.
Rajata mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rahangnya mengeras, tatapannya tak lepas dari mereka.
“Raja… ayok!” suara Liora menyentak lamunannya.
Namun Rajata tak menjawab. Ia hanya melangkah cepat menuju mobilnya dengan tatapan tajam yang masih tertinggal ke arah Tessa dan Arjuna.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa