Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Keluarga dan Bisikan Takdir
Siang itu, rumah keluarga Bani Rohman terasa hangat, bukan hanya oleh teriknya matahari yang masuk melalui jendela, tetapi juga oleh kehangatan kebersamaan. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, namun cukup untuk menampung keluarga besar yang sedang berkumpul. Sofa-sofa tua yang empuk, peninggalan orang tua, kini tak lagi mencukupi untuk duduk mereka semua. Sebagian besar orang yang lebih tua duduk di atas sofa, menikmati sandaran yang nyaman. Sementara generasi muda, termasuk Anto, Imam, dan Syakila dengan suaminya, duduk lesehan di atas karpet tebal yang membentang di lantai, sesekali bersenda gurau. Anak-anak kecil? Entahlah, mereka terlalu lincah untuk mau duduk diam, berlarian kesana kemari, menciptakan riuh rendah tawa dan teriakan yang mengisi ruangan.
Keluarga besar Bani Rohman itu sedang berkumpul, dan dari bisik-bisik yang terdengar, tampak seperti sedang membahas sesuatu yang penting, sebuah topik serius yang menyatukan mereka semua.
"Assalamualaikum," suara lembut Haisya terdengar dari ambang pintu ruangan, menghentikan sejenak percakapan mereka.
Serempak, wajah-wajah menoleh ke arahnya, senyum merekah di bibir mereka. "Wa'alaikumussalam, sudah bangun, Sha? Sini duduk dulu!" Nyonya Kurni, ibu Haisya, menyambutnya dengan senyum hangat, menepuk tempat kosong di sampingnya di atas karpet.
Haisya mengangguk, melangkah masuk dan duduk bergabung. Ia memperhatikan sekeliling, merasakan kehangatan keluarga. "Semuanya sudah salat Zuhur?" tanyanya, suaranya pelan.
"Belum," jawab mereka bersamaan, disusul tawa renyah. Beberapa yang tidak menjawab hanya menggelengkan kepala, tersenyum malu.
"Ya sudah kalau belum," kata Haisya sambil tersenyum, "mendingan sekarang kita sholat dulu. Ngobrolnya nanti lagi, ya." Sebuah ajakan yang tak bisa ditolak.
Tanpa banyak protes, mereka beranjak dari tempatnya masing-masing. Suasana obrolan yang ramai seketika berubah menjadi lebih khusyuk. Satu per satu mengambil air wudhu, lalu dengan tertib, mereka melaksanakan salat Zuhur berjamaah di ruang tengah yang luas, dipimpin oleh Bapak Rohman sebagai imam. Kekhusyukan meliputi ruangan, seolah melahirkan kedamaian baru di antara keramaian keluarga itu.
***
DI SEBUAH PESANTREN DI MADURA.
Jauh di sebuah pesantren kuno di Madura, di tengah tumpukan kitab kuning dan aroma dupa yang menenangkan, Ridwan sedang fokus mengkaji salah satu kitab tebalnya. Konsentrasinya terpecah saat ponsel di sampingnya bergetar. Sebuah panggilan dari Hasnan, sepupunya, sahabat sekaligus penghubung dengan dunia luar.
"Assalamualaikum," suara Hasnan terdengar di ujung telepon.
Ridwan menjawab salam, lalu mendengarkan laporan Hasnan dengan saksama. Hasnan bercerita tentang kepulangan Haisya ke Indonesia, dan dengan bersemangat memberikan saran-saran terkait rencananya untuk mengkhitbah sepupunya itu. Ia menjelaskan bahwa Haisya kini sudah di Jawa, di kampung halaman mereka, dan ini adalah waktu yang tepat.
"Oke, saya pasti akan segera datang," ucap Ridwan, nadanya penuh tekad. "Tapi tolong jangan beri tahu dia sebelum saya datang. Saya ingin memberinya kejutan." Ridwan tersenyum tipis. "Tapi sekarang saya masih di Madura, jadi butuh waktu beberapa hari."
"Oke, siap," jawab Hasnan riang.
"Syukron infonya," kata Ridwan.
"Santuy..." balas Hasnan, disusul tawa kecil sebelum panggilan terputus.
Setelah mendapatkan informasi berharga dari Hasnan, Ridwan segera menutup kitab kuningnya dan menatanya kembali di rak kayu yang rapi. Ia melihat jadwal kegiatan pesantren yang tertempel di dinding kamarnya, dan matanya berbinar saat melihat ada hari libur esok hari selama sepekan. Ini adalah kesempatan sempurna. Tanpa menunda, ia mengambil teleponnya dan menghubungi seseorang untuk memesankan tiket bus pulang ke kota Cilacap. Ia mulai mengemas barang-barangnya, beberapa sarung dan baju kokonya telah ia bereskan rapi di dalam tas ransel. Di dalam lemarinya, hanya tersisa beberapa pakaian sehari-hari dan sebuah kotak kecil berisi cincin pertunangan yang telah lama ia persiapkan. Ridwan mengambil cincin itu, memandangnya dengan senyum bahagia yang tulus. Dibayangkannya momen ketika ia akan memberikan cincin itu kepada wanita yang dicintainya, wanita yang kini telah kembali.
"Tunggu diriku, Sha... aku akan datang untuk mengkhitbahmu," ucapnya dalam hati, sebuah janji yang ia ukir dalam sanubarinya.
***
DI HALAMAN BELAKANG RUMAH Haisya, SORE HARI.
Beberapa jam kemudian, di halaman belakang rumah Haisya, suasana kembali ramai. Keluarga besar berkumpul sambil menikmati teh hangat dan kudapan sore. Di tengah obrolan ringan, tiba-tiba Bapak Rohman, ayah Haisya, menatap putrinya dengan tatapan serius.
"Bagaimana, nduk, siap belum?" tanya Rohman, suaranya mengandung harapan. "Siap untuk menikah, maksud Bapak." Haisya sontak bingung, matanya mengerjap. Ia bingung harus menjawab apa. Sebab, laki-laki yang Haisya cintai—Ridwan—belum ada kabar sampai sekarang. Hatinya bertanya-tanya, apakah Ridwan masih mengingat janjinya?
"Insya Allah banyak laki-laki yang mengharapkan, mereka adalah laki-laki yang saleh dan telah mapan," Rohman melanjutkan, menceritakan beberapa sosok calon yang telah melamar Haisya, nama-nama yang asing di telinganya.
"Sudah, Om, tidak perlu dicarikan, Haisya sudah ada kok," tiba-tiba suara ceria Hasnan muncul dari ambang pintu depan, mengagetkan mereka semua. Ia masuk begitu saja, tanpa mengetuk.
"Ini anak datang-datang main nyelonong aja!" tegur Rohman, namun ada senyum geli di bibirnya.
"He... he... he... maaf, Om, Assalamualaikum..." Hasnan terkekeh, baru teringat sopan santun.
"Wa'alaikumussalam... nah, gitu dong, salam dulu," Rohman menggelengkan kepala.
"Iya, Om, maaf tadi lupa," Hasnan cengengesan.
"Gimana tadi kamu bilang Haisya sudah memilih gitu?" Rohman kembali pada topik utama, matanya beralih dari Hasnan ke Haisya.
"Iya, Om," jawab Hasnan, mengangguk yakin.
"Benar itu, Sha?" Rohman bertanya kepada Haisya, namun Haisya tetap diam, wajahnya memerah menahan kesal.
"Sudah, Om, jangan ditanya mungkin dia malu," kata Hasnan, mengedipkan mata ke arah Haisya.
Rohman hanya melihat Haisya yang melotot, pandangannya tajam, tanda tidak suka dengan Hasnan yang sok tahu dan berbicara seolah-olah mengerti perasaannya. Hasnan hanya terkekeh, menikmati reaksi sepupunya.
***
DI SEBUAH RUMAH SAKIT DI JAWA TIMUR.
PADA SAAT YANG SAMA, DI KOTA YANG BERBEDA.
Jauh dari suasana hangat keluarga Haisya, di sebuah rumah sakit di Jawa Timur, ketegangan menyelimuti. Seorang wanita paruh baya duduk gelisah di kursi tunggu, di depan ruang UGD. Matanya tampak sembab dan merah karena menangis tanpa henti. Seorang lelaki paruh baya di sampingnya, suaminya, hanya bisa menenangkannya. Ia juga berlinang air mata, namun berusaha keras menahannya agar tidak menetes, mencoba terlihat tegar demi istrinya.
Detak jantung mereka berdua berpacu tak karuan saat seorang dokter muda keluar dari ruang UGD. Kedua orang itu segera menghampiri, dengan langkah tergesa-gesa dan wajah penuh harap.
"Keluarga pasien?" tanya dokter itu, suaranya tenang namun penuh kehati-hatian.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" sang ibu bertanya, suaranya bergetar.
Dokter menghela nafas panjang. "Maaf, Pak, Bu, anak Anda sedang kritis dan kemungkinan akan mengalami koma. Doakan saja. Semoga ada sebuah keajaiban." Kata-kata dokter itu bagai sambaran petir di siang bolong.
"Boleh kami masuk, Dok?" sang ayah bertanya, suaranya melemah.
"Maaf, Pak, pasien belum bisa dijenguk dulu. Kondisinya masih sangat rentan."
"Tapi saya ingin melihat anak saya, Dok, tolong biarkan saya masuk, saya ibunya, Dok... hiks, hiks..." wanita paruh baya itu memaksa ingin masuk, tubuhnya gemetar, mencoba menerobos pintu.
"Sudah, Bu, sudah," suaminya mencoba menenangkan dan menuntunnya untuk duduk kembali di kursi tunggu.
"Hiks, hiks... kenapa ini terjadi sama Ridwan anak kita, Pah? Dia anak yang baik, kenapa nasibnya seperti ini..." Isak tangis wanita itu memenuhi koridor rumah sakit.
"Sudahlah, Bu, bersabar. Ini adalah ujian dari Allah," laki-laki itu memeluk dan mengelus punggung istrinya untuk memberi ketenangan, meskipun hatinya sendiri juga hancur. Mereka hanya bisa menunggu dan berdoa.
***
KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN Haisya.
Sore itu, setelah insiden "sok tahu" Hasnan di ruang keluarga, Haisya menarik tangan Hasnan dan membawanya ke taman belakang rumah. Suasana di sana lebih sepi, hanya ada suara angin berdesir melalui pepohonan. Raut wajah Haisya menunjukkan bahwa ia sedang marah, namun Hasnan tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain ketenangan yang mengesalkan.
"Mas Hasnan, apa-apaan sih, maksud Mas apa ngomong kayak gitu ke Bapak?" Mata Haisya menatap Hasnan tajam, tak suka dengan gurauan sepupunya itu.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, Sha," jawab Hasnan santai, tersenyum misterius.
"Ya, tapi nantinya kapan?" Haisya mendesak, tak sabar.
"Saat orang yang mencintaimu datang untuk mengkhitbahmu," jawab Hasnan, masih dengan nada santai, dan ia tahu betul siapa orang yang ia maksud.
Haisya menaikkan sebelah alisnya, dahinya mengernyit. "Siapa yang dimaksud Mas Hasnan?" batinnya bertanya-tanya, seribu pertanyaan bergelayut di benaknya. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap Ridwan-lah yang nantinya datang menemui ayahnya dan mengkhitbahnya, memenuhi janji yang dulu pernah tersirat.
Tiba-tiba, suara lembut ibunya memanggil dari teras belakang rumah. "Haisya!"
"Dalem, Bu," jawab Haisya, segera melupakan sejenak rasa penasarannya.
"Ini ada kiriman surat dari Kairo!" seru ibunya, Kurni, dengan nada bersemangat.
"Apa... Kairo?" Haisya terkejut, matanya membulat. Sebuah ingatan tentang impian kuliah di Al-Azhar, Mesir, menyeruak.
"Iya, sini buruan lihat," desak ibunya, tak kalah penasaran.
Haisya menghampiri ibunya dan menerima surat itu. Sebuah amplop resmi dengan cap Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Haisya benar-benar tak sabar ingin mengetahui isinya. Dengan hati berdebar, ia membuka surat itu, lipatan kertasnya terasa kaku di jemarinya, dan mulai membacanya.
"Masya Allah, Subhanallah..." Haisya terkejut, namun senyum lebar perlahan merekah di wajahnya. Isi surat itu melampaui harapannya.
***
MALAM HARI, DI KAMAR HASNAN.
Pukul 19.00, malam telah tiba. Hasnan sedang rebahan di ranjangnya, mencoba menghubungi Ridwan melalui chat. Namun rupanya yang di-chat justru tidak online. Pesan yang ia kirimkan masih ceklis satu, sama sekali belum terbaca. Ia kemudian mengirimkan pesan untuk kedua kalinya untuk memastikan.
Chat Hasnan 19.01: Posisi? 19.05: Wan! Ridwan!!
"Ke mana nih anak, tumben offline, enggak biasa-biasanya dia kayak gini," gumam Hasnan, cemas. Sebuah firasat buruk mulai merayapi benaknya.
Tak lama kemudian, suara adzan Isya terdengar dari mushola terdekat, mengalun merdu memecah keheningan malam. Hasnan segera bangkit dari ranjangnya, melipat lengan bajunya hingga tersingsing di atas siku, dan mengambil air wudhu. Ia bergegas menunaikan salat.
***
DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT, JAWA TIMUR.
Di lain tempat, di ruang rawat inap yang dingin, Ridwan terbaring lemah dengan selang-selang medis yang menempel di seluruh tubuhnya. Monitor-monitor berkedip pelan, menampilkan grafik detak jantung yang stabil namun lemah. Manik matanya sama sekali belum terbuka sejak 14 hari yang lalu, sejak kecelakaan itu.
Seorang anak perempuan berusia belasan tahun, adik Ridwan, masuk ke dalam ruangan. Ia duduk di kursi samping ranjang, menatap kakaknya dengan tatapan sendu. Ruangan itu begitu sunyi, hanya suara-suara peralatan rumah sakit seperti mesin CPAP yang selalu mengisi keheningan dengan ritme teratur.
Gadis itu memegang tangan pemuda yang belum juga sadarkan diri, menggenggamnya erat. Ia menciumi tangan kakaknya dengan penuh kasih sayang, air matanya terjatuh, membasahi tangan Ridwan yang masih belum siuman. Ia menyandarkan kepalanya ke samping ranjang yang Ridwan tempati, berharap keajaiban datang.
"Masya Allah!" Ia langsung terbangun dari lamunannya, terkesiap. Sebuah keajaiban terjadi. Jemari sang kakak mulai bergerak, sangat perlahan, namun nyata. Matanya sontak membulat. Dengan cepat, ia menekan tombol darurat untuk memanggil tenaga medis. Tidak lama setelah itu, orang-orang berjas putih—dokter dan perawat—masuk dan segera memeriksa Ridwan dengan cekatan.
Gadis itu keluar ruangan, hatinya dipenuhi kebahagiaan yang meluap-luap. Ia segera mengambil ponselnya, gemetar, dan menelepon keluarganya, mengabarkan tentang kondisi Ridwan yang telah siuman. Sebuah harapan baru telah lahir di tengah kegelapan.
***
KEMBALI KE KAMAR Haisya, KAMPUNG HALAMAN.
Jarum jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, kedua mata Haisya belum mau terpejam, masih terlalu banyak yang berputar di benaknya. Bukan karena kamar yang ia tempati tidak nyaman, sama sekali bukan. Kamar itu meskipun sempit, tapi sangat rapi, bersih, nyaman, dan harum, tempat yang sempurna untuk beristirahat.
Ia hanya rebahan di atas ranjang, menatap langit-langit kamar berwarna putih yang familiar namun terasa baru. Ia menghela napas panjang, kedua matanya memandangi foto gadis berhijab yang ada di sebuah pigura di nakas. Wajah gadis itu tampak ceria, penuh senyum. Rasanya ingin sekali ia berjumpa lagi dengannya. Meskipun gadis dalam foto itu pernah jahat kepada Haisya di masa lalu, tapi Haisya tetap menyayanginya dan tidak akan pernah bisa membencinya sepenuhnya.
"Di mana kamu sekarang, Fi?" Haisya berbisik lirih, mengelus foto itu dengan jemarinya. Ia menghembuskan napas kasar, meletakkan foto itu kembali di atas nakas, dan kembali berbaring. Ditariknya sebuah selimut untuk menutupi tubuhnya hingga dada.
Tak tik, tak tik, tak tik tuk, tak tik tuk... suara-suara detikan jarum jam di dinding semakin terkesan horor di tengah keheningan malam. Hari sudah benar-benar gulita, tak ada pergerakan sama sekali kecuali suara serangga di alam bebas yang sayup-sayup terdengar dari luar.
Kali ini, pikiran Haisya teringat pada Ridwan. Sudah lama ia tidak berjumpa, ia ingat Ridwan pernah bilang akan segera menemuinya jika ia telah berada di Indonesia.
"Tidak perlu repot, Om, Haisya sudah punya." "Sudah, tidak perlu dicarikan, Haisya sudah ada." "Saat orang yang mencintaimu datang mengkhitbahmu."
Bayangan-bayangan kalimat itu tiba-tiba terlintas di pikirannya, mengulang perkataan Mas Hasnan kepada ayahnya dan juga kepadanya sendiri. Ia berpikir keras.
"Siapa yang Mas Hasnan maksud? Apa mungkin itu Ridwan? Ah, sepertinya bukan, nomornya saja sudah tidak bisa dihubungi." Haisya merasa bingung dan sedikit putus asa. "Eh, tapi mungkin dia sudah ganti nomor, tapi belum memberitahuku... Mungkin dia selama ini masih berhubungan sama Mas Hasnan. Secara mereka kan bersahabat, pasti Mas Hasnan tahu nomor barunya. Besok aku coba tanyain deh."
Haisya hanya bisa bermonolog sendiri dalam kegelapan kamar, otaknya terus bekerja mencari jawaban. Tak lama kemudian, matanya perlahan terpejam, kelelahan menguasai dirinya, dan ia pun tertidur, membawa serta teka-teki tentang Ridwan dan takdir yang menantinya.