bijak dalam memilih bacaan!
"Kamu... siapa?" bisik Zeya lirih, tangan kirinya memegangi kepala yang berdenyut hebat.
Pria itu tersenyum lembut, menatapnya seolah ia adalah hal paling berharga di dunia ini.
"Aku suamimu, sayang. Kau mungkin lupa... tapi tenang saja. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi...seperti dulu."
*****
Zeya, seorang mahasiswi kedokteran, tiba-tiba terbangun di dunia asing. Ia masih dirinya yang sama,nama, wajah, usia..tak ada yang berubah.
Kecuali satu hal, kini ia punya suami.
Ares Mahendra. Dosen dingin yang terlalu lembut saat bicara, terlalu cepat muncul saat dibutuhkan… dan terlalu mengikat untuk disebut sebagai “suami biasa.”
Zeya tidak mengingat apa pun. Tapi dokumen, cincin, dan tatapan Ares terlalu nyata untuk disangkal. Ia pun mulai percaya...
Hingga satu rahasia terkuak,zeya bukan istri nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azida21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Tanggal yang Tak Pernah Salah
Mobil hitam mengilap itu melaju perlahan di jalan kampus yang mulai ramai. Mahasiswa berlalu-lalang di sepanjang trotoar, beberapa mengenakan jas lab, lainnya memanggul ransel besar sambil terburu-buru menuju gedung perkuliahan.
Di dalam mobil, Zeya duduk di kursi penumpang dengan jemari yang sibuk merapikan jilbab tipis di lehernya. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke kampus setelah beberapa waktu “hilang”—meski ia sendiri belum mengingat jelas penyebab semua itu. Tapi satu hal yang ia yakini, sejak ia bangun di rumah besar bersama Ares Mahendra yang mengaku sebagai suaminya, hidupnya berubah… dalam banyak hal.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang utama kampus kedokteran. Ares mematikan mesin mobil, namun tidak langsung membiarkan Zeya keluar. Tangannya malah menggenggam tangan istrinya itu pelan, seperti enggan melepaskan.
“Ingat pesanku tadi pagi, Sayang...” suara Ares terdengar lembut namun sarat tekanan tersembunyi. Tatapannya menempel di wajah Zeya, tak ingin melewatkan satu gerak pun.
“Jangan dekat-dekat dengan laki-laki lain.”
Zeya menoleh, tersenyum tipis. Ia sudah tahu kalimat itu akan muncul, seolah menjadi doa wajib setiap kali ia akan keluar rumah.
“Iya… aku mengerti,” jawabnya singkat.
Ares membalas dengan senyum yang nyaris terlihat manis. Tangannya terulur, mengelus kepala Zeya perlahan, seperti biasa. Gestur itu seharusnya menenangkan, tapi entah kenapa pagi ini justru membuat leher Zeya terasa kaku.
Tiba-tiba, Ares membungkuk sedikit. “Cium aku, Sayang,” ucapnya.
Zeya sontak terkejut. Matanya membesar, memandang wajah suaminya dengan bingung.
“Hah?”
“Kenapa? Kamu masih belum terbiasa?” Ares tertawa kecil. “Padahal kita sudah menikah satu tahun.”
Zeya belum sempat menjawab saat bibir Ares menempel cepat di bibirnya—hanya sekilas, tapi cukup membuat jantung Zeya berdentum keras. Wajahnya memanas, terutama karena dari kaca depan mobil, ia bisa melihat beberapa mahasiswa yang mulai melirik ke arah mobil mereka.
“Kamu harus mulai terbiasa berciuman denganku,” ujar Ares lagi. Suaranya rendah dan datar. “Supaya kamu nggak kaget... kalau suatu hari aku mengajak berhubungan suami istri.”
Zeya menunduk. Pipi dan telinganya terasa terbakar. Ares memang tak pernah menyentuhnya lebih dari sekadar kecupan, tapi kalimat-kalimatnya selalu membawa tekanan yang membuat perut Zeya mengerut.
Kata-kata seperti itu... terlalu gamblang, terlalu frontal untuk gadis yang bahkan belum benar-benar merasa sebagai istri.
“Kamu malu, Sayang?” tanya Ares pelan, memperhatikan ekspresinya.
Zeya hanya mengangguk pelan, tak sanggup membalas.
“Baiklah… tidak perlu dibahas lagi. Aku cuma ingin kamu mulai terbiasa,” kata Ares seraya merapikan rambut Zeya yang tertiup angin AC. “Karena aku tidak tahu... sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istri cantikku ini.”
Zeya buru-buru memalingkan wajah. “Aku… pergi dulu, ya,” ucapnya cepat sambil membuka pintu mobil.
Tapi belum sempat kakinya menapak sempurna ke trotoar, suara Ares kembali memanggilnya.
“Sayang!”
Zeya menoleh setengah panik. “Ada apa lagi?”
Ares membuka pintu sebelahnya dan keluar, menyusul Zeya yang kini berdiri tak jauh dari gerbang.
“Aku hampir lupa,” katanya. “Ini… ambil.”
Ia menyodorkan sebuah kartu ATM ke arah Zeya.
Zeya memandang kartu itu dengan bingung. “Untukku?”
Ares mengangguk mantap. “Sandi-nya… tanggal ulang tahunmu.”
Zeya terdiam. Tanggal ulang tahun? Itu terdengar sederhana, tapi justru di situlah kegelisahan muncul. Ia tidak benar-benar yakin tanggal lahir yang mana yang Ares maksud.
Ia mengangguk pelan, menutupi kebingungannya. “Berikan aku pulpen?”
Tanpa tanya, Zeya mengeluarkan pulpen dari dalam tasnya. Ares mengambilnya, lalu meraih tangan Zeya dan menuliskan enam angka di telapak tangan gadis itu.
“130702,” ucap Zeya lirih, membaca angka itu. Tanggal tiga belas, bulan tujuh, tahun dua ribu dua.
Ia memandangi angka-angka itu cukup lama. Angka itu… benar benar sama dengan tanggal lahir sebenarnya.
“Ternyata… tanggalnya sama,” gumamnya pelan tanpa sadar.
Ares masih berdiri di depannya, mendengar dengan jelas gumaman itu. Tapi ia tak mengomentarinya. Hanya tersenyum kecil,senyum tipis yang menggantung di ujung bibirnya, seperti menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak ingin ia bagi.
“Kamu… mengingat sesuatu?” tanya Ares tiba-tiba, nadanya rendah dan nyaris tak terdengar.
Zeya terkejut. “Ah… tidak,” jawabnya cepat. “Cuma angka nya terasa akrab saja.”
Ares tidak menanggapi. Matanya tetap tertuju pada Zeya, seolah sedang menilai apakah ia berbohong atau tidak. Tapi akhirnya, pria itu mengangguk pelan.
“Masuklah. Kelasmu sebentar lagi akan dimulai,” ucapnya, kali ini lembut.
Zeya mengangguk,Tapi sebelum ia sempat melangkah, Ares kembali mendekat dan mengecup pipinya perlahan.
“Sampai jumpa nanti, Sayang,jangan lupa untuk terus mengabari ku"pesan nya untuk terakhir kali.
Zeya langsung panik. Ia bisa merasakan beberapa tatapan mengarah padanya dari mahasiswa yang lalu-lalang. Pipi dan telinganya kembali memerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung melangkah cepat menuju gerbang, melewati pagar kampus yang tinggi, meninggalkan Ares yang masih berdiri di samping mobilnya.
Ares menatap punggung Zeya yang menjauh dengan senyum yang sulit ditebak. Lalu, dengan suara pelan, ia bergumam.
“Gadis yang cantik...persis seperti dirimu, Sayang.”racau nya pelan,Namun kali ini, suaranya terdengar penuh makna. Bukan sekadar pujian, tapi semacam... perbandingan. Atau ingatan?
Sementara itu, Zeya melangkah cepat menuju bangunan fakultas, menahan napas agar jantungnya tak terdengar dari luar. Setiap kalimat yang diucapkan Ares seolah menempel di kulitnya, membekas dan tak mudah hilang. Ia tahu suaminya itu mencintainya atau setidaknya, mengklaim demikian. Tapi cara Ares mencintai… terasa berbeda.
Terlalu menuntut. Terlalu mengontrol.
Dan ada satu hal yang paling mengganggu Zeya
Senyum itu.Senyum kecil Ares saat ia menyebut tanggal ulang tahunnya.
Seolah Ares tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu.
Zeya menghela napas panjang saat tiba di tangga menuju ruang kelas. Dalam hati, ia berkata lirih.
“Kalau aku tidak hati-hati… aku bisa terjebak lebih dalam.”
Tapi hari ini, ia akan mulai menyusun potongan kecil yang ia punya. Dan jika benar Ares menyimpan rahasia… cepat atau lambat, ia akan menemukannya. Dengan caranya sendiri.