Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Aku boleh...
Tak mengerti apa yang membuat gadis itu terburu-buru, Haru terus mengejar. Langkah kakinya menggema di lorong kampus yang lengang. Detik terus berjalan, tapi jarak di antara mereka tak juga mengecil.
"Astaga, ini orang niat banget lari kemana sih..." Nafasnya setengah ngos-ngosan tapi rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa capek.
Di ujung lorong, sosok cantik itu mulai menaiki tangga. Haru menggertakkan giginya.
Sudah cukup.
"Hooii!"
Teriakan itu langsung menghentikan langkah. Suara lantang seperti itu, siapa sih yang tidak menoleh?
Mudah memanggil siapa saja dan selalu berhasil mencuri perhatian. Seperti panggilan naluriah yang membuat siapa pun menoleh, meski belum tentu dimaksudkan untuknya.
Gadis itu menoleh.
Haru sadar. "Sudah kuduga... dia memang sudah mengacak-acak perasaanku tanpa permisi."
Helaian rambut Zara terayun rapi, membingkai wajahnya yang bermandikan cahaya dari jendela besar di samping tangga. Titik-titik keringat berkelap kelip bagai kilau berlian, membuat sosok itu tampak seperti lukisan hidup yang tiba-tiba menggetarkan jantung Haru.
"Gawat!" Zara justru menyusut.
Refleks tangannya menggosok kedua lengan karena merinding. Bayangan sosok Haru yang kejam, yang sempat mengintimidasi Danish waktu lalu langsung melintas di kepalanya. Tak peduli bahwa sebelumnya ia sempat melihat sisi lembut pria itu.
"Gawat gawat..." bisiknya gugup. "Gue nggak mau tangan gue dipatahin juga. Ih, ngeri banget..."
Zara kembali melangkah.
Haru mengerang dalam hati. "Ya ampun, keras kepala banget. Dia nggak ngerti apa gue paling nggak suka lari-larian begini?"
"Zara!" akhirnya.
Langkah Zara tersendat. Kedua bahunya menegang seketika. Kaget bukan main.
"Dia... Gimana bisa tahu namaku?"
Tubuhnya mendadak limbung, seolah dunia berguncang oleh satu kata itu saja. Panik menyerang. Kakinya terpeleset di tepian anak tangga.
"Eh?! Eh, eh, eh...! Eeeeeeehhh..."
Dalam sekejap, segalanya terasa melayang.
"Uwaaa...!" Teriaknya meledak.
"Ya Allah...! Nggak mau... jangan. Jangan jatuh! Jatuh cinta pun boleh tapi aku belum siap masuk rumah sakit...! Gak mau matii..." Otaknya langsung membayangkan kepala boc*r, tangan terkilir, atau kaki patah.
Ngeri.
"Mamaaaa..."
Mata Haru langsung membelalak. Refleks tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sempat menyusun rencana. Ia melesat. Beberapa detik terasa lambat seperti cuplikan film. Zara terjatuh ke arahnya.
Dan...
Alih-alih menyelamatkan dengan anggun, Haru justru roboh bersama tubuh Zara. Bibir mereka bertemu. Sebuah insiden tak terencana, menyatukan bibir mereka.
Bruk!
Tubuh Haru terhimpit di bawah, menahan beban Zara yang masih syok. Detik itu juga, jantung mereka berdetak tidak karuan. Tidak ada yang berani bersuara. Hanya suara degup yang terdengar lebih keras daripada dunia di sekitar mereka.
"No! My first kiss!!"
Zara reflek mendorong bahu Haru dengan telapak tangannya. Wajahnya merah padam, campur-campur bercampur tidak percaya atas kejadian barusan.
Namun tangan Haru kini justru menahan agar gadis itu tidak menjauh. Menarik kembali ke dalam pelukan. Tak mengerti akan reflek tubuhnya sendiri.
Dug.
Lengan itu mendekap pelan. Pipi Zara bersandar lembut di dada Haru, tepat di atas sumber denyut yang tak stabil itu.
Zara membeku. Degup itu... begitu jelas.
Dug dug... Dug dug...
"Apa... maksudnya ini..."
“Tu-- tunggu sebentar. Haru mencegah, "Aku ingin kamu dengar... bagaimana jantungku berdetak saat ini.”
Zara menahan napas. Ada kejujuran aneh di sana, yang membuat tubuhnya tak mampu bergerak.
"Rasanya... sesak napas. Tapi... entah kenapa, aku tetap ingin kamu mendengarnya."
“Kamu... baik-baik saja?”
Senyuman kecil, hambar tapi hangat, muncul di wajah Haru. “Nggak. Ini... sakit. Tapi aku ingin merasakannya. Karena ini cuma terjadi kalau kamu yang dekat.”
Dug... dug... dug...
Degup itu berat. Tidak wajar. Tapi bukan karena marah, atau takut. Itu... sesuatu yang lebih rumit. Dan Zara bisa mendengarnya. Bahkan bisa merasakannya menggetarkan dadanya juga.
“Jantungnya... kenapa aku malah jadi khawatir? Aku deg-degan, tapi juga malah takut. Takut kalau... degup itu berhenti.” pikir Zara.
Haru mencoba bernapas perlahan. Satu tarikan, satu hembusan. Lama-lama, degup itu mulai menurun. Tenang. Stabil. Tapi rasa di dalam dada tetap tak tenang. Tidak akan pernah, selama gadis itu ada di pelukannya.
Dan Zara tahu... ini bukan pelukan biasa. Ini pelukan yang mengandung rasa. Beberapa detik berlalu. Mungkin menit. Mereka tidak tahu. Waktu terasa tak berarti saat itu.
Haru menutup matanya sebentar, menahan denyut nyeri yang kembali berdesak-desakan. “Tetaplah di sini... Aku mohon. Aku mohon."
Zara bingung. “Kenapa?”
Degup itu berubah lagi. Haru mengerang pelan dalam hati. "Ah! Sh*t! Gue ngerasa sakit lagi..."
Zara bisa mendengar tarikan napas Haru yang berat. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik itu. Sesuatu yang belum dia katakan.
Dia tetap diam. Memiringkan telinga, terus mendengarkan. Deg-degan karena cinta... bisa menyiksa juga, ya...
"Zara..." suara Haru terdengar berat.
“Um?” gumam Zara pelan.
“Boleh aku cerita sedikit?” tanyanya. Suaranya nyaris pecah, seperti jantungnya sendiri.
“Apa?”
"Aku seperti... Punya rasa terhadapmu. Entahlah. Ini tentang Ray, tentang bunda, tentang semua, bahkan tentang kehidupan. Semua tertuju hanya pada dirimu."
Zara mengerutkan kening. “Aku nggak ngerti...”
Haru menarik napas. Matanya menatap ke langit-langit kosong. “Aku membenci kakakmu... tapi aku lebih memilih diam, menghindar. Kamu tahu, dia terlalu ramah, terlalu sempurna. Nggak ada celah buat dibenci. Tapi hatiku terus menahan... supaya tetap stabil.”
Zara menatap Haru lebih dekat. “Kenapa kamu membenci Abang Ray?”
“Bukan. Iya, maksudku...” Haru bergumam pelan. “Lebih ke... iri. Dia selalu lebih dulu dalam segalanya. Aku hanya melihatnya sebagai rival, bukan musuh.”
“Tapi tahu nggak, apa yang paling bikin sesak?” tanyanya, matanya bergerak pelan ke arah Zara. Tatapannya sayu, tapi penuh gejolak.
“Apa?”
“Fakta kalau kamu... adiknya.”
Zara membelalak, jantungnya juga berdebar sekarang. “Maksudmu?”
“Aku nggak bisa ngebayangin, kamu sekarang muncul di hadapanku. Bukan sebagai bayangan dia... tapi sebagai kamu. Dan itu yang bikin aku kacau.”
“Kenapa?”
“Karena kamu satu-satunya hal yang bikin degup jantungku terasa... hidup. Meskipun sakit, aku tetap ingin merasakannya.”
Zara menunduk, mencoba memahami. Tapi otaknya seperti beku. Kata-kata Haru tak pernah langsung. Selalu berlapis kiasan dan teka-teki, seakan diajak menyelesaikan soal matematika tanpa tahu rumus dasarnya. Haruskah dia merasa baper? Khawatir? Atau... justru percaya diri?
“Zara,” suara Haru terdengar pelan, nyaris bergetar. “Untuk memastikan… apakah jantungku akan terus berdetak… atau justru berhenti…”
Dia menelan ludah, lalu mengangkat bahu Zara perlahan. Sentuhannya begitu hati-hati, seolah takut gadis itu akan pecah.
Tatapan mereka bertemu. Mata Haru redup, namun menyimpan gejolak. Sementara di mata Zara, denyut jantungnya bisa terlihat jelas. Cemas. Bingung. Tapi juga penasaran.
“Apa aku boleh…”
Degup itu makin keras. Membentur dada Haru seperti pintu yang tak sabar diketuk.
“Huff… huff…”
Napasnya mulai berat. Tangan yang semula gemetar kini merambat ke kepala Zara, menyibak helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
Zara hanya bisa diam. Tubuhnya menegang, tapi tak bergerak. Seolah waktu menahan semuanya agar tetap diam di tempat.
"Apa... Apa? Apa yang mau dia lakukan?"
"Zara..." Panggilan itu kembali menggema ke sanubari gadis yang sudah kelimpungan.
"Bundaku... Ingin bertemu denganmu. Dan aku, bolehkah aku menemui kedua orang tuamu?"
"EEEHHHHHH?!!!"
../Facepalm/