JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!
simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM TERAKHIR ASEP
BAB 1: MALAM TERAKHIR ASEP SUNANDAR
Malam itu, dinginnya udara Bandung menusuk hingga ke tulang. Asep Sunandar baru saja keluar dari Warung Mang Ujang, perutnya terasa penuh, nyaris sesak—baru saja menghabiskan semangkuk besar mie ayam jumbo yang porsinya sungguh tak wajar, tapi berhasil ia sikat habis sendirian. Gembul memang, tapi soal isi perut, Asep tak pernah main-main.
"Alhamdulillah. Enak pisan tadi mah," gumamnya pelan sambil mengelap sisa kuah di sudut bibir pakai punggung tangan. Pipi tembemnya itu makin mengembang kalau habis makan enak. Meski badannya gembrot dan gerakannya tampak santai, di balik kaos yang melar itu mengalir darah jagoan Silat Cimande warisan Bapaknya, ditambah teknik Taekwondo dari Bang Ridwan.
Asep berjalan santai, menyeret langkah di gang sempit menuju rumahnya di kampung Ciateul. Jalanan sepi melompong. Hanya ada suara gonggongan anjing yang sayup di kejauhan, kontras dengan angin malam yang berembus kencang, membuat bulu kuduknya meremang.
Duh, besok harus bantu Mamah lagi. Semoga laku banyak, kasihan Mamah. Ale juga... seragam baru itu mahal.
Pikirannya melayang. Memikirkan tagihan, memikirkan keluarga. Mamahnya pasti sudah pulas, Ale paling-paling lagi begadang main HP jadul.
Tiba-tiba...
BRAAAAK!
Suara rem motor yang diinjak mendadak memecah sunyi. Asep berhenti melangkah. Motor lain. Dan lain lagi. Dalam hitungan detik, ia dikepung oleh belasan bayangan besar yang muncul dari mulut gang. Beberapa memegang celurit, parang, bahkan ada yang mengayunkan rantai besi tebal.
Jantung Asep langsung berdebar kencang, seperti drum yang dipukul terburu-buru. Sialan. Ada apa ini?
"Asep Sunandar?" Suara berat dan serak itu datang dari pria paling depan, badannya paling besar, dengan bekas luka sayatan panjang melintang di pipi kirinya. Ujang Gareng.
Asep otomatis pasang kuda-kuda siaga, tangannya refleks mengepal di samping paha. Tapi wajahnya ia paksa tetap tenang. "Iya, abdi Asep. Mau mesen gorengan Mamah? Ongkir gratis, loh, kalau beli lima bungkus."
Jangan kelihatan takut. Jangan sampai. Asep menelan ludah, air liur terasa pahit.
"Lu kira ini lawakan?!" Ujang melotot, matanya merah menyala. "Lu yang kemarin nolongin Bayu, kan?! Gara-gara lu, bisnis kita berantakan! Bayu itu utang 50 juta, malah lu umpetin!"
Asep mengernyit. Penyesalan mencubitnya. Goblok amat gue. Tabungan habis. Sekarang malah gue yang jadi target.
"Bayu mah udah bayar utangnya, Kang. Saya yang bantu talangin. Jadi masalahnya kelar," Asep mencoba menenangkan diri, nadanya datar.
"KELAR?!" Ujang tergelak, tawanya sinis. "Lu talangin cuma 15 juta! Masih kurang 35 juta! Tambah bunga! Tambah denda! Totalnya sekarang 60 JUTA! Mau bayar SEKARANG?!"
Edan. Ini jebakan. Asep tahu itu. Mereka hanya cari alasan. "Saya enggak punya duit segitu, Kang," jawab Asep jujur. "Tapi kalau Akang mau, kita bisa bicarain baik-baik. Saya bisa kerja buat bayar cicilan—"
"MISKIN! SOK PAHLAWAN! RASAIN AKIBATNYA!"
Ujang memberi kode. Dan kekacauan dimulai.
Lima orang pertama langsung menerjang tanpa aba-aba. Tidak ada urutan. Ada yang ayunkan celurit dari samping, dua orang mendorong dari depan, satu rantai besi menyambar.
Asep tidak sempat fokus. Ia terpaksa hanya bergerak berdasarkan insting.
Ia melompat mundur sejengkal, menghindari ayunan celurit yang hanya menyentuh udaranya. Lalu ia membungkuk cepat, rendah, menghindari dorongan dua badan besar di depannya. Di saat yang sama, ia menggunakan badan dua preman itu sebagai tumpuan untuk melancarkan sapuan kaki Macan Ngariung.
BRUK! BRUK! Dua preman di depannya langsung jatuh menimpa kaki si pengayun celurit.
Tiga... Asep menghitung sambil mengambil napas pendek, dadanya berdenyut.
"DASAR KEPARAT!"
Rantai besi kembali menyambar. Kali ini lebih cepat, dari belakang. Asep hanya bisa sedikit memiringkan kepala. Rantai itu menyabet bahu kirinya.
DUKHH!
Rasa nyeri yang tajam menjalar. Asep memejamkan mata menahan sakit, rahangnya mengeras. Ia putar badan, menangkap pergelangan si pemilik rantai, dan memelintirnya brutal.
KRAK!
Preman itu menjerit, rantai terlepas. Tanpa ampun, Asep menghantamkan sikut Palkup Chigi ke dada.
DUAKHHH!
Preman itu terpental, muntah, dan terkapar di tanah.
JEDA NAPAS
Asep menarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan detak jantungnya yang sudah sampai ke tenggorokan. Keringat sudah membasahi punggungnya. Ia melihat sekeliling. Tiga preman meringis kesakitan, satu muntah, tiga lainnya masih berdiri.
Sial. Badan gue berat banget malam ini. Habis mie ayam jumbo, mana bisa lincah. Ia mengelus bahu kirinya yang terasa kebas. Ini bukan pertarungan silat, ini pertarungan brutal di gang kotor.
"Masih mau, Kang? Pulang saja. Abdi cuma mau tidur," Asep berujar, suaranya sedikit serak. Ia mencoba mengintimidasi.
Ujang, yang sedari tadi hanya mengamati, tertawa sinis. "Pulang? Lo pikir ini tamasya? Serang dia!"
Tiga preman tersisa langsung maju. Ujang juga ikut bergerak. Sekarang empat lawan satu.
Ujang, mantan petinju amatir, langsung melancarkan pukulan jab cepat ke wajah Asep.
Asep memblok, tapi pukulan itu kuat sekali, membuat tangannya perih. Dalam sepersekian detik, preman dari kanan menyerang dengan parang. Asep cepat menghindar ke kiri, namun ia kehilangan keseimbangan saat Ujang menyusul dengan hook brutal.
DUAKH!
Pukulan itu menghantam rusuk Asep. Rasanya seperti ada petir menyambar di dadanya. Asep terhuyung mundur, matanya membelalak menahan napas yang tercekat.
"Aaakh!" Asep memegang rusuknya, membungkuk sedikit. Sakit. Sakit banget. Rusuk gue...
"Gimana? Sok jago?!" Ujang maju, wajahnya penuh kemenangan.
Asep tahu, kalau ia terus bertahan, ia akan kalah karena staminanya habis. Ia harus mengakhirinya. Mamah... Ale...
Mengabaikan rasa sakit yang luar biasa di rusuknya, Asep menggunakan sisa tenaga terakhirnya. Ia menghindari jab Ujang, membanting seluruh berat badannya ke belakang dan melancarkan Bandal Chagi (tendangan putar belakang). Itu adalah gerakan paling berisiko.
CTAK!
Kena telak. Ujang langsung sempoyongan, memegang pelipisnya yang berdarah.
Asep juga nyaris jatuh. Kakinya gemetar hebat. Ia berusaha berdiri tegak. "Kang... geus cukup. Udah... semua selesai. Pulang..."
Tapi saat ia lengah, membiarkan rasa lelah dan sakit menguasai, tiba-tiba...
DOOOORR!!!
Suara tembakan memecah keheningan malam.
Asep merasakan hantaman keras, sensasi panas, lalu rasa dingin yang menjalar dari kepalanya. Pandangannya langsung kabur, seperti melihat melalui pecahan kaca.
Ah... iyeu... naon... Mamah... Ale...
Kakinya lemas. Ia jatuh berlutut. Tangannya menyentuh kepala—basah. Lengket. Darah. Banyak sekali.
Asep jatuh tertelungkup ke aspal yang dingin dan kotor. Darah terus mengalir, membentuk genangan merah pekat di bawah cahaya lampu jalan yang remang.
Yang terakhir ia dengar sebelum semuanya menjadi senyap... adalah Ujang yang tertawa sinis, lalu meludah ke aspal di dekat kepalanya. "Dasar sok jago... mati aja lo..."
Mamah... Ale... maafin Asep... Asep enggak bisa pulang... Asep enggak bisa bantuin lagi...
Suara Mamahnya. Suara Ale. Suara Bapaknya, berbisik: "Asep, jadi orang baik itu susah. Tapi kudu tetap jadi orang baik, apapun risikonya."
Iya, Pah... Asep udah coba... tapi kok malah gini ya...
Lalu... semuanya gelap.
Gelap total.
Dingin.
Sunyi.
Kosong.
Tapi ini bukan akhir dari cerita Asep Sunandar.
Ini... baru permulaan.
BERSAMBUNG