Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAMANYA JEMIA PRAMESWARI
"Nona Thalia pernah melahirkan di Klinik Bhakti Farma lima tahun yang lalu. Tepatnya setelah 5 bulan ia menghilang. Anak itu berjenis perempuan. Dia terlahir prematur. Dan, pendamping Nona Thalia saat itu adalah Tuan Julian."
Penjelasan dari Aryo, di timpali oleh anggukan mantap Aji membuat dada Bhumi semakin sesak. Malam itu adalah malam yang paling menyesakkan untuk Bhumi.
Kenyataan itu membuat kepalanya terasa dihantam beban berat. Bhumi kini hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Ia senang, sangat senang saat mengetahui bahwa putrinya masih hidup.
Demi mendengarkan pernyataan langsung Aryo, Bhumi bahkan meninggalkan Adelia di restoran dan langsung menuju kantornya. Saking senang dan tidak sabarnya ia mendengarkan itu, Bhumi bahkan melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.
Alhasil, ia pun kecelakaan kecil dan sempat berakhir di rumah sakit. Beruntung Aji lekas datang dan segera mengurus semuanya.
Bhumi menatap Aji dengan seksama. "Kamu sudah memastikan itu, Ji?"
Aji mengangguk. Kemudian, melangkah mendekati Bhumi. Menyodorkan beberapa dokumen resmi yang menyatakan fakta itu.
"Saya sudah mengkonfirmasi langsung ke dokter yang menangani Nona Thalia melahirkan, Pak. Diam-diam, orang suruhan Aryo juga sudah mengkonfirmasi bahwa anak yang bersama Nona Thalia itu adalah putri Pak Bhumi."
Air mata Bhumi pun keluar. Membayangkan akan ada yang memanggilnya dengan sebutan papa membuat dadanya membuncah bahagia. Ia sungguh tidak sabar menunggu hari di mana ia bisa menemui putrinya.
Ah, betapa bahagianya saat itu tiba.
"Dimana Thalia sekarang?" Bhumi menatap Aryo. Tatapannya begitu menuntut jawaban secepat mungkin.
Bhumi ingin menanyakan itu langsung ke Thalia. Tentang apa saja kesukaan putrinya, bagaimana kebiasaannya dan hal-hal lain yang menyangkut putrinya.
Aryo berdeham. "Nona Thalia sedang di toko roti, Pak."
Bhumi berdecak kesal. Tetapi kekesalannya tidak lantas menghapus kebahagiannya itu. Kemudian, matanya menatap lurus pada Aji.
"Aji!"
"Iya, Pak?" jawab Aji langsung.
"Jemput Thalia sekarang. Dan minta Bi Ningrum menyiapkan makan malam spesial untuk Thalia."
Aji mengangguk. Kemudian, ia berpamitan dan lekas melaksanakan perintah Bhumi.
Namun, suara Aryo membuat langkah Aji terhenti dan Bhumi bingung.
"Nona Thalia dan Tuan Julian ada janji makan malam bersama hari ini. Mereka berencana merayakan keberhasilan putri anda tampil saat pensi di sekolah beberapa hari yang lalu."
Aji memutar badannya kembali. Menunggu perintah selanjutnya dari Bhumi.
Sedangkan Bhumi terduduk lemas di kursi kerjanya. Ia hampir melupakan fakta bahwa putrinya mungkin hanya mengenal Julian. Atau jangan-jangan posisinya kini sudah diambil Julian Sialan itu?
"Kamu yakin itu?" Bhumi menatap Aryo serius.
Aryo mengangguk. "Nona Thalia bahkan sudah bersiap sejak tadi sore untuk malam ini."
Bhumi terdiam. Ia bisa saja mendatangi restoran itu dan menjemput Thalia serta putrinya. Namun, ia tahu kehadirannya akan membuat Thalia menghindar.
Saat terdiam itulah, Bhumi menyadari sesuatu. Sejak tadi mereka membahas tentang kemungkinan putrinya yang masih hidup. Tetapi baik Aryo ataupun Aji, tidak satupun yang menyebutkan nama putrinya itu.
"Nona Mia pasti bingung kalau anda tiba-tiba datang." Aryo bersuara.
Dahi Bhumi berkerut. Nama Mia seperti tidak asing di telinganya.
"Oh Shit!" Bhumi bangkit, mengumpat kebodohannya sendiri.
Ingatan Bhumi kembali pada momen beberapa hari yang lalu. Thalia pernah mengungkit nama Mia di rumahnya. Dan saat itu, Bhumi pernah mengingatkan Thalia agar tidak menyebutkan nama Mia di hadapannya.
"Namanya Mia, Pak." Kali ini suara Aji yang menjawab. "Lengkapnya Jemia Prameswari."
"Jemia?" ulang Bhumi seakan tak percaya. Ia baru saja bertemu Jemia tadi siang.
Dan sialnya, momen pertemuan mereka tak pernah baik dan wajah anak itu tak pernah ramah padanya.
Kenyataan seperti apa ini? Mengapa ia dengan bodohnya tidak menyadari hal ini?
Bhumi segera mengambil jasnya. "Aji segera antarkan saya ke restoran tempat Thalia dan Julian berada."
***
Pintu besar rumah itu terbuka sempurna. Thalia melangkah dengan hati senang dan mantap. Senyuman bahagianya terpancar nyata, bahkan matanya pun berbinar dengan cantik.
Namun, senyuman itu mendadak lenyap, bergantikan wajah datar yang biasa ia tunjukkan di hadapan Bhumi.
Thalia merapatkan jas milik Julian di tubuhnya. Dia berharap Bhumi tidak menyadari itu. Bisa mengamuk pria itu jika ia tahu ada barang milik Julian di rumahnya.
"Setelah bekerja dengan si Sialan itu, kamu juga harus menemaninya makan malam?"
Thalia tidak bereaksi. Meskipun nada bicara Bhumi tidak meninggi apalagi menghinanya seperti biasa, tetapi tetap saja, kalimat yang keluar dari mulutnya sejenis kalimat yang merendahkan Thalia.
"Bisu kamu, Thalia?" tegur Bhumi, yang kini berdiri di samping Thalia.
"Ada makan malam bersama staf yang lain."
Bhumi menghela napasnya. Kemudian, tangannya menyambar jas milik Julian dan melemparnya ke sembarang arah.
Kini tampaklah Thalia dengan balutan gaun malam berwarna rosegold berlengan sebahu dengan potongan rendah, tetapi tetap sopan.
"Harus dengan penampilan seperti ini?" Bhumi menatap wanita itu tanpa berkedip.
Thalia begitu cantik. Bhumi akui itu. Rambutnya tergerai setengah, riasannya pun tipis tetapi mempesona.
Sialnya Julian Sialan itu yang harus berada di samping wanitanya itu.
Wanitanya? Bhumi senang mengakui itu. Apalagi dengan kenyataan bahwa Jemia adalah putrinya. Thalia membesarkan Jemia dengan sangat baik.
"Kenapa? Mau menghinaku lagi?" tanya Thalia. Dagunya terangkat, seperti menantang Bhumi.
Bhumi ingin tertawa. Raut Thalia yang sekarang sangat mirip dengan raut Jemia saat memarahinya.
Bhumi mengusap pipi merah Thalia. Matanya menatap wanitanya dengan penuh kekaguman.
"Kenapa selalu menuduh saya seperti itu? Saya hanya tidak suka cantikmu ini harus dibagi dengan pria lain. Sekalipun itu adalah sahabat sialanmu itu."
Thalia tertawa pelan, sinis. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Jangan membual, Bhumi. Aku jijik mendengar cara bicaramu itu."
Bhumi menunduk. Kemudian berbisik pelan di dekat telinga Thalia, "Tapi saya tidak membual. Pantas saja putriku secantik itu. Saya jadi tidak menyesal pernah menyebarkan benih saya ke rahimmu."
Thalia mundur selangkah. Kedua alisnya bertaut. Matanya menatap Bhumi tak berkedip. Sejenak, ia seperti membeku saat itu juga.
"Kenapa, Gadis Kecil? Kenapa terkejut seperti itu?" kekeh Bhumi, menikmati raut terkejut Thalia.
"Maksud kamu apa?" balas Thalia sengit.
"Jemia. Seharusnya kamu menambahkan nama Dirgantara di belakang namanya."
Tangan Thalia mengepal kuat. Jantungnya berdebar kencang. Ini gila.
Thalia tidak pernah memperhitungkan betapa berkuasanya Bhumi. Pria itu, wujudnya memang satu. Tetapi matanya ada banyak.
Bhumi melangkah mendekat. "Terima kasih telah—"
"Kamu salah, Bhumi. Jemia bukan anakmu." Thalia menatap Bhumi tanpa ragu. Wajahnya tenang. "Jemia adalah anakku dan Julian. Hanya Julian Ayahnya. Bukan kamu."
*
*
*
Bonus untuk kalian yang rajin banget komen dan like. Wkwkwk. Terima kasih yaaa :)
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭