Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan Kalimantan dan Garis Komando
Air mata Kalea membanjiri lutut Kapten Byantara. Isak tangisnya adalah luapan kesedihan dan keputusasaan setelah Byantara menolak cinta mereka demi menjaga kehormatan.
“Kenapa harus kehormatan, Bang? Kenapa harus mengorbankan perasaan kita?” isak Kalea, suaranya parau.
Byantara membiarkan Kalea bersandar. Ia menahan napas, mencoba menyembunyikan getaran di tubuhnya. “Aku rela sakit, Lea. Tapi aku tidak rela melihatmu melukai Ramdan, dan melangkahi kehormatan seorang prajurit. Tetaplah bersama Ramdan agar tidak ada yang terus di lukai dari rasa yang salah ini Lea.”
Tepat pada momen hancur itu, ponsel Kalea bergetar hebat dengan nada dering darurat khusus Komando Atas.
Kalea tersentak, tetapi ia tidak langsung berdiri. Ia tetap di posisi semula, tangannya bergerak cepat, mengusap kasar air matanya hingga kering. Semua emosi pribadi dibekukan.
Kalea mengangkat telepon. “Hormat, komandan. Mohon arahan komandan.”
Suara di seberang telepon terdengar berat dan mendesak, tanpa basa-basi. “Letda Kalea Aswangga! Perintah mendadak dari Komando Atas! Ada insiden penyanderaan di tengah hutan Kalimantan! Tim evakuasi sudah disiagakan. Kamu harus bergabung! Cuti dibatalkan! Siapkan diri untuk terjun! Mobil dinas sudah menjemputmu di rumah!”
“Siap! Perintah diterima dan saya akan kembali sekarang ke kesatuan!” jawab Kalea, tegas, suaranya kini kembali tajam.
“Helikopter militer sudah menunggu di Markas Yonif 113 di Bireuen untuk membawamu ke pangkalan udara! Segera bergerak!”
Kalea menutup telepon. Barulah ia berdiri tegak, seluruh postur tubuhnya berubah dari seorang gadis yang rapuh menjadi perwira yang dingin.
Byantara masih terpaku di ranjang. Ia melihat Kalea, sang gadis yang baru saja menangis di depannya, kini telah berubah total.
“Lea pamit pergi, Bang.”
Hanya itu. Kalea memberi hormat singkat dengan tangan kanannya. Hormat yang diberikan bukan lagi kepada abangnya ataupun orang yang di cintainya, melainkan kepada seorang komandan yang sangat di hormatinya, dan yang harus ditinggalkan di belakang garis.
Kalea berbalik dan melangkah cepat ke kamarnya. Di luar pintu, pak Aswangga dan bu Aswangga sudah sigap. Pak Aswangga, tanpa perlu bertanya, langsung mengambil baret dan juga seragam dinas loreng Kalea dari lemari. Mereka tahu, tugas memanggil, dan mereka harus membantu.
“Cepat, Nak. Ganti bajumu. Mama sudah siapkan bekal darurat di tasmu,” ujar bu Aswangga, matanya berkaca-kaca tetapi suaranya tenang.
Kalea segera mengganti pakaiannya dengan seragam dinas loreng, dan memasang Baret Merah di kepala. Semua gerakannya efisien, tanpa keraguan.
Di depan rumah, mobil dinas Yonif 113 berhenti. Seorang prajurit berpangkat Serda, anggota Yonif 113, turun dan memberi hormat pada Kalea.
“Izin, komandan! Saya diperintahkan menjemput anda menuju Markas Yonif 113!” lapor Serda itu.
“Siap, laksanakan,” jawab Kalea.
Kalea berbalik. Ia memeluk Ibu Aswangga singkat. “Ma, jaga Papa dan Bang Byan. Lea pamit kembali ya ma.”
Ia menghampiri pak Aswangga, memberi hormat. “Izin pa. Lea pamit pergi.”
Pak Aswangga membalas salam hormat putrinya dengan kebanggaan dan kepedihan yang mendalam. “Pergilah, Nak. Laksanakan tugasmu sebaik mungkin. Dan kembalilah dengan selamat.”
Kalea melangkah ke mobil tanpa memandang lagi ke belakang. Keberangkatannya adalah perintah mutlak.
Perjalanan ke Markas Yonif 113 terasa singkat. Setibanya di sana, sebuah helikopter militer sudah menunggunya di helipad, baling-balingnya berputar kencang.
Ramdan, dalam seragam dinasnya, berdiri menunggu. Wajahnya terlihat kuyu dan juga khawatir. Ia benar benar tidak menyangka bahwa Kalea tidak sempat menyelesaikan masa cutinya. Dan kini, tugas kembali memanggilnya.
Ramdan menghampiri Kalea. “Lea! Kamu tidak perlu pergi! Kamu masih cuti! Kamu bisa menolak!”
Kalea menatap Ramdan dengan dingin. “Bukankah kamu juga seorang prajurit bang? Perintah tugas adalah harga mati, bang. Kamu tahu itu.”
“Para sandera itu tidak bisa menunggu empat hari lagi. Setiap detik berarti nyawa,” jawab Kalea, memotong semua perdebatan.
Kalea memberi hormat singkat namun tegas kepada Ramdan. Setelah itu, ia segera naik ke dalam helikopter.
Di dalam helikopter yang bergetar hebat itu, Kalea duduk sendirian. Belum ada rekannya yang lain, helikopter ini hanya bertugas menjemputnya dan membawanya ke pangkalan udara utama. Ia merasakan getaran mesin di bawahnya, getaran yang menenangkan, jauh lebih mudah dihadapi daripada getaran emosi yang baru saja ia rasakan. Kalea menggunakan waktu penerbangan ini untuk mengosongkan pikiran, bersiap mengaktifkan ‘mode Komando’ secara total.
Setelah tiba di pangkalan udara dan berpindah pesawat, ia akhirnya tiba di Taktakan, Grup 1 Kopassus. Suasana markas sudah berubah menjadi posko operasi darurat yang mencekam.
Kalea, bersama beberapa perwira muda lain yang baru dipanggil, langsung diantar menuju ruang briefing. Di sana, sudah berkumpul Komandan Grup, Perwira Staf, dan anggota Tim Elite yang akan diterjunkan.
Komandan Grup berdiri di depan layar peta besar yang menunjukkan kawasan hutan Kalimantan. Tidak ada basa-basi atau candaan.
“Perhatian!” Suara Komandan Grup menggelegar. “Kalian semua adalah tim utama yang paling siap. Kita tidak punya banyak waktu. Penyanderaan sudah berlangsung lebih dari enam jam. Tujuan kita mutlak, Pembebasan Sandera Hidup.”
Kalea, berdiri di barisan depan bersama rekan-rekan setimnya, menerima tatapan dari Komandan Grup.
“Letda Kalea,” panggil Komandan Grup.
“Kamu adalah perwira yang baru kembali, tetapi kamu tahu betul prosedur kontra-teror. Kamu akan menjadi Spesialis Intelijen dan Komunikasi di lapangan. Tugasmu bukan hanya menembak, tetapi memastikan setiap langkah tim ini berdasarkan data akurat. Pahami peta ini. Pelajari formasi penyandera. Jangan ada kegagalan komunikasi.”
“Siap, laksanakan!” jawab Kalea, suaranya lantang, memancarkan kesiapan penuh.
Perwira Staf segera mengambil alih. “Baik, Letda Kalea dan Tim. Kita akan bergerak ke pangkalan udara terdekat di Kalimantan. Kalian akan terjun malam ini juga. Baca laporan intelijen ini, pahami medan, dan pastikan perlengkapan Anda lengkap.”
Kalea mengambil berkas intelijen yang disodorkan. Matanya meneliti setiap detail, setiap koordinat. Tidak ada lagi ruang di kepalanya untuk memikirkan Byantara, Ramdan, atau kehormatan yang terlukai. Di sini, hanya ada misi, hutan, dan nyawa sandera yang harus diselamatkan. Ia telah mengunci semua air mata dan cinta di balik baret merah yang ia kenakan. Kali ini, ia adalah Komando, bukan lagi seorang adik yang patah hati.