NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Inisial A

Sore itu, langit sudah mulai berwarna jingga. Gedung Jourell Group perlahan sepi, satu per satu karyawan keluar dari pintu kaca utama. Audy menatap layar komputernya yang kini sudah mati, meraih tas, dan menghela napas lega.

“Akhirnya… selesai juga hari gila ini,” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri.

Ia berjalan ke parkiran dengan langkah ringan, masih sempat bersenandung pelan. Namun begitu sampai di depan mobil hatchback yang sederhana, wajah cerianya seketika menegang.

“Apa-apaan ini…”

Ia membungkuk, matanya membulat sempurna—ban depan sebelah kanan kempes total. Benar-benar kempes, bukan karena paku atau bocor halus. Seolah ada yang sengaja membuatnya seperti itu.

“Ya Tuhan… ini sial atau ujian?” keluhnya sambil menepuk dahinya sendiri.

Ia mengeluarkan ponsel dari tas, mencoba menghubungi Zoey—satu-satunya orang yang biasanya jadi penyelamat dalam situasi aneh seperti ini. Tapi suara yang terdengar justru membuatnya hampir menangis.

“Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.”

Audy menjambak rambutnya pelan.

“Zoey ke luar kota… oh, bagus! Sempurna! Timing yang sangat mendukung,” ucapnya dengan sarkasme penuh.

Audy lalu menatap ponselnya, mencoba ide lain.

“Baiklah, tenang, Audy. Kau bisa pesan ojek online, atau taksi online, atau—”

Langkahnya terhenti. Ia menatap layar ponsel yang kini menampilkan deretan aplikasi: Instagram, Spotify, Shopee, tapi... tidak ada Gojek, Grab, ataupun sejenisnya.

“Aku… tidak pernah pakai itu?” katanya datar, lalu menatap kosong ke arah mobil. “Aku bahkan tidak punya aplikasinya?! Ya ampun!”

Audy terduduk di kap mobilnya, mengacak rambutnya sendiri dengan ekspresi frustrasi tapi lucu.

“Kenapa tidak sekalian saja aku bawa kuda ke kantor?!”

Sementara ia sibuk mengomel sendiri, suara langkah sepatu kulit terdengar dari arah belakang. Dalam kesunyian parkiran, suara itu begitu jelas, teratur, dan khas—membuat Audy menoleh spontan.

Dan tentu saja, siapa lagi jika bukan Aldrich, ia menatap Audy dengan ekspresi datar tapi senyum menukik di ujung bibir. “Sepertinya mobilmu mengalami masalah.”

Audy mengernyit bingung, “Masalah? tentu saja.”

Aldrich menyipitkan mata, senyumnya semakin nakal, “maksudku kenapa, kau tak bisa pulang?”

Audy berdiri cepat, menegakkan tubuhnya, “Bukan urusan Bapak. Saya bisa urus sendiri.”

Aldrich menatap ban mobil yang kempes total, “dengan apa? Tatapan tajammu?”

“Bapak pikir saya tidak bisa mengganti ban?”

Aldrich menaikkan kedua alisnya, “bisa?”

Audy menjawab dengan rasa sok percaya diri, “Tentu saja bisa—” ia melihat dongkrak di bagasi, lalu mendesah “—asal saya tahu cara pakainya. Lagipula banyak tutorialnya di youtube.”

Aldrich menahan tawa. Ia melangkah lebih dekat, menatap Audy yang kini tampak benar-benar putus asa namun masih berusaha terlihat tegar, “aku bisa mengantarmu pulang.”

“Tidak usah,” tolak Audy.

“Aku tidak sedang menawarkan, Audy. Aku memutuskan.”

Audy melotot, “Bapak pikir saya ini anak magang yang bisa seenaknya di perintah?”

Aldrich menyeringai, “kau pikir aku ini bos yang bisa ditolak?”

Tatapan mereka bertemu—tajam tapi anehnya terasa menegangkan dengan kadar lucu yang sulit dijelaskan.

Audy mendengus keras, “baik. Tapi jangan pikir saya berterima kasih.”

“Aku bahkan tidak mengharapkannya.”

Dengan langkah cepat, Aldrich membuka pintu mobilnya, sementara Audy menggumam kesal, “Bos gila, benar-benar gila.” Tapi tetap saja ia masuk ke mobil itu. Dalam hati, ia tidak tahu, apakah ini pertolongan... atau justru awal jebakan lain dari Aldrich Jourell.

.....

Mobil sedan hitam milik Aldrich meluncur perlahan keluar dari area parkir kantor. Di luar, hujan rintik-rintik turun tipis, menambah suasana yang anehnya… terlalu intim untuk dua orang yang tadi makan siang bersama di restoran fancy.

Audy duduk di kursi penumpang depan, tubuhnya tegak seperti papan. Kedua tangannya menggenggam tas kecil di pangkuan, jari-jarinya menekan ujung resleting tanpa sadar. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan antrian mobil yang merayap di jalan protokol Jakarta.

Sementara itu, Aldrich di kursi pengemudi tampak begitu santai. Satu tangan memegang kemudi, satu lagi bersandar di jendela dengan gaya seenaknya. Wajahnya tanpa ekspresi—tapi sesekali sudut bibirnya naik sedikit, seperti menahan tawa yang tak jadi keluar.

Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara hujan menepuk kaca dan deru mesin yang monoton.

Hingga akhirnya—

“Tampaknya hari ini bukan hari keberuntunganmu, Audy.” Nada suara Aldrich tenang, tapi setiap katanya seperti disengaja untuk mengusik.

Audy menoleh cepat. “Maksud Bapak?”

Aldrich meliriknya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Ban mobilmu kempes. Cuaca hujan. Jalanan macet. Dan sekarang, kau terjebak di dalam mobil bersamaku.”

Ia menatap lurus ke depan, tapi senyum kecil itu akhirnya muncul juga di wajahnya.

Audy menarik napas panjang, mencoba bersikap biasa. “Saya tidak merasa terjebak. Ini hanya kebetulan.”

“Ah, kebetulan,” ulang Aldrich pelan, suaranya seperti menirukan tapi dengan nada penuh makna. “Kau benar-benar percaya hal seperti itu?”

“Ya,” jawab Audy cepat. “Dan saya juga percaya, seseorang yang sibuk tidak akan punya waktu merencanakan hal-hal remeh seperti… mengantar karyawan pulang.”

Aldrich tertawa pelan—suara rendahnya menggema di kabin mobil.

“Remeh? Mungkin bagimu. Tapi bagiku, mengantar seseorang yang menarik itu… cukup menyenangkan.”

Audy langsung menoleh, menatapnya tajam. “Pak Aldrich—”

“Ya?” potong Aldrich tanpa menoleh, masih fokus ke jalan, tapi senyum tengilnya tak juga hilang.

“Bisa tidak Bapak ini tolong jangan bicara dengan nada seperti itu? Ini membuat suasana jadi tidak nyaman.”

“Tidak nyaman?” Ia mengangkat alis sedikit. “Atau terlalu nyaman?”

Audy mendengus pelan. “Bapak benar-benar tidak bisa berhenti menggoda, ya?”

“Tidak bisa, kalau korbannya kau.”

Nada itu meluncur ringan, tapi sukses membuat Audy kehilangan kata.

Mobil berhenti sebentar di lampu merah. Hujan menebal, menciptakan suara gemerisik di atap mobil. Dalam pantulan kaca, Audy melihat bayangan wajah Aldrich yang tenang, fokus, tapi matanya—mata itu selalu seperti menyimpan sesuatu yang lebih.

Ia buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura mencari sesuatu di tasnya. Tapi pikirannya berputar cepat.

Bagaimana jika nanti dia menawari untuk mengantar sampai rumah? Tidak mungkin. Aku tidak bisa. Rumah itu... bisa menimbulkan terlalu banyak pertanyaan.

“Kau tinggal di mana?” Suara Aldrich memotong pikirannya tepat di tengah kekhawatiran.

Audy langsung panik. “Ehm, tidak jauh dari sini.”

“Tidak jauh itu seberapa jauh, Audy?”

“Ya… cukup dekat untuk tidak perlu diantar,” katanya cepat, mencoba tersenyum datar.

Aldrich mengernyit kecil, lalu memutar kemudi pelan mengikuti arus kendaraan. “Jadi kau mau turun di tengah hujan seperti ini?”

“Tidak apa-apa, saya bisa—”

“Tidak ada ‘tidak apa-apa’. Aku tidak akan membiarkan karyawanku kehujanan di jalan.”

Nada suaranya tiba-tiba berubah sedikit lebih rendah, tegas, dan entah bagaimana—Audy malah merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

“Kalau begitu, saya akan turun di depan halte besar saja. Dari sana saya bisa—”

“Halte?” Aldrich menatapnya sejenak, seolah menilai apakah gadis di sebelahnya itu serius, “kau bahkan tidak tampak tahu cara naik bus.”

Audy menatap lurus ke depan. “Saya bisa belajar.”

Aldrich terkekeh pelan. “Lucu.”

Lalu hening lagi.

Mobil melaju perlahan di bawah rintik hujan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu.

Dalam diam itu, Audy menatap tangan Aldrich di kemudi. Jemarinya panjang, kuat, dengan jam tangan hitam yang kontras dengan kulitnya. Ia meneguk ludah—bukan karena kagum, tapi karena otaknya justru sibuk mencari celah kabur yang realistis.

Namun, di sisi lain, ada bagian kecil dalam dirinya yang justru merasa… aman.

Entah karena nada tenang pria itu, atau karena ia tahu, di balik semua tengil dan godaan, Aldrich tak pernah benar-benar melewati batas.

“Pak Aldrich.”

“Ya?”

“Hmm, tidak jadi.”

Aldrich menoleh sedikit, tersenyum samar. “Santailah, kau harus terbiasa berada di dekatku, terlebih aku ini tampan.”

Audy mengerlingkan mata, malas menimpali kenarsisan bosnya itu.

Mobil terus melaju dalam kemacetan, dua hati sama-sama diam tapi saling memikirkan hal yang sama:

Bagaimana caranya agar perjalanan ini… tidak cepat berakhir.

.....

Mobil hitam Aldrich berhenti perlahan di tepi jalan kecil, sekitar lima puluh meter sebelum tikungan menuju perumahan padat yang mulai tampak di kejauhan. Lampu-lampu rumah warga berkelip di antara pepohonan, dan suara azan magrib baru saja usai.

Audy menoleh, tersenyum canggung. “Di sini saja, Pak. Terima kasih sudah mengantar.”

Aldrich meliriknya singkat, alisnya sedikit terangkat. “Kau yakin? Ini jalan kecil dan gelap.”

“Tidak apa-apa. Rumah saya di belakang situ, perkampungan kecil, tidak jauh. Saya biasa jalan kaki.”

Nada suaranya dibuat senormal mungkin, seolah benar-benar terbiasa dengan hal itu.

Aldrich mengangguk perlahan, pura-pura percaya. “Baiklah. Tapi pastikan kau tidak tersesat di ‘perkampungan kecil’ itu.”

Audy nyaris menahan tawa karena nada suaranya terdengar setengah menggoda, setengah menyindir. “Saya tidak akan tersesat di rumah sendiri, Pak.”

Aldrich mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya dengan senyum penuh arti. “Bagus kalau begitu. Sampai jumpa besok, asistenku.”

“Selamat malam, Pak Aldrich.”

Audy segera turun, menunduk sedikit, lalu berjalan cepat ke arah gang yang tampak ramai dengan warung dan anak-anak kecil berlari. Begitu mobilnya melaju pergi, ia langsung menarik napas lega.

Syukurlah. Untung dia tidak memaksa mengantarkan sampai depan rumah.

Sementara itu, di dalam mobil, Aldrich hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. “Perkampungan belakang, ya?” gumamnya sambil menyalakan lampu kabin sebentar. “Bagus juga aktingnya.”

Ia kemudian mengambil ponsel, menekan nomor cepat.

“Urus mobil Audy yang bannya kempes di parkiran. Pastikan besok pagi sudah siap di tempatnya.”

“Siap, Tuan.”

“Dan jangan bilang siapa yang menyuruh. Cukup katakan, ada pihak servis dari kantor.”

“Baik, Tuan.”

Aldrich memutus sambungan, bibirnya melengkung tipis.

“Setidaknya, besok dia tidak perlu repot. Tapi ya… semoga dia tetap repot memikirkan aku.”

Ia terkekeh kecil pada pikirannya sendiri sambil menambah volume musik ringan, lalu melaju pulang.

_____

Di sisi lain, penjaga gerbang rumah besar keluarga Sinclair terperanjat begitu melihat sosok Audy berjalan kaki dari arah gang kecil.

Pak Darma, penjaga setia yang sudah bekerja belasan tahun, buru-buru membuka gerbang sambil mengerutkan dahi.

“Lho, Nona Audy? Mobilnya Nona kemana? Kok pulang jalan kaki? Jangan bilang, mogok di tengah jalan?”

Audy tersenyum kikuk, menepuk bahu Pak Darma. “Hehe… tidak, Pak. Hanya ban-nya kempes.”

“Mau saya panggilkan montir langganan, Nona?”

“Tidak usah, Pak. Sudah beres, nanti saya minta bantuan Daddy saja. Sekarang saya masuk dulu, sudah mau hujan lagi.”

“Baik, Nona. Tapi jangan sering-sering jalan kaki. Nanti dikira kabur dari rumah besar begini.”

Audy tertawa pendek. “Haha, kalau kabur pasti bawa koper, Pak!”

Ia masuk ke dalam rumah besar bergaya klasik modern itu. Lampu ruang tamu sudah menyala, dan suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

Daddy-nya, David Sinclair, baru saja pulang dari kantor. Ia masih mengenakan jas abu muda, rambutnya sedikit berantakan tapi tetap memancarkan aura CEO berpengalaman.

“Sayang, kau pulang jalan kaki?” tanya David langsung, matanya menyipit dengan nada heran yang lembut tapi tajam khas seorang ayah.

Audy meletakkan tas di sofa, menghela napas panjang. “Hehe… iya, Daddy. Ban mobil kempes di kantor. Tadi sudah coba telepon Zoey, tapi dia sedang di luar kota.”

David menatap putrinya sebentar, lalu tertawa kecil. “Dan jangan bilang kau pulang naik ojek.”

Audy mendengus. “Tidak, Dad. Tadi… eh, ada teman kantor yang kebetulan satu arah.”

“Teman kantor?”

Nada suaranya naik sedikit—antara ingin tahu dan mulai curiga.

Audy buru-buru menatap ke arah dapur. “Daddy lapar, kan? Aku minta siapkan makanan, ya?”

David mengangkat alis, tapi tidak menekan lebih jauh. “Baiklah. Tapi besok, biar Daddy saja yang antar kau ke kantor. Mobilmu biar diurus orang-orang Daddy. Tidak usah repot.”

“Serius, Daddy?”

“Tentu. Tidak ada putri Sinclair yang berangkat kerja dengan ban kempes. Jika sampai wartawan tahu, bisa jadi berita nasional.”

Audy menahan tawa. “Daddy lebay sekali.”

David tersenyum. “Daddy hanya melindungi putri Daddy yang suka menyembunyikan hal-hal kecil dari ayahnya.”

Audy meringis. “Aduh, ketahuan, ya?”

David menepuk kepala putrinya lembut. “Daddy ini sudah terlalu sering menghadapi pengusaha licik, Sayang. Jadi tahu kapan putrinya sedang menutupi sesuatu.”

Audy terkekeh gugup. “Tapi kali ini serius, Daddy. Tidak ada apa-apa.”

“Baiklah, Daddy percaya…”

David berjalan menuju kamarnya, tapi sebelum naik tangga ia sempat menoleh.

“…meskipun Daddy curiga ‘teman kantor satu arah’ itu berinisial A.”

Audy langsung tersedak udara. “D-Daddy!”

“Selamat malam, Nona Sinclair kecil,” ucap David dengan nada menggoda sambil menaiki tangga.

Audy hanya bisa menatap punggung ayahnya yang tertawa pelan.

Lalu menepuk dahinya sendiri. “Duh… besok pagi aku harus siapkan mental.”

Ia menjatuhkan diri di sofa, memeluk bantal, dan bergumam pelan, “Aku hanya mau kerja tenang, tapi kenapa drama di kantor lebih seru dari drama televisi?”

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!