Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sudah dua jam berlalu, namun tak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari depan ruang ICU tempat Anna dirawat. Kursi tunggu yang keras terasa tak nyaman, tapi rasa khawatir jauh lebih besar dibanding kelelahan. Hening hanya dipecah oleh suara langkah kaki perawat yang sesekali lewat, dan detik jam dinding yang seakan berdetak lebih lambat dari biasanya.
Seorang dokter sempat menghampiri mereka, menyarankan agar keluarga pulang untuk beristirahat. “Kondisi pasien akan kami awasi sepanjang waktu. Percayakan pada kami,” begitu kata dokter itu. Namun Papi Aditama, Mami Tania, juga Jason dan Nicholas hanya menggeleng. Tak seorang pun rela meninggalkan Anna walau hanya sejenak.
Mereka menunggu, dengan doa masing-masing yang bergema dalam hati.
Tiba-tiba—
Deerrtt... Derrtt... Derrtt...
Suara ponsel memecah keheningan. Semua menoleh pada Papi Aditama yang buru-buru merogoh saku celananya. Dengan wajah tegang, ia menggeser layar dan mengangkat panggilan itu.
“Halo?” suaranya terdengar berat, seperti menahan cemas.
“Selamat sore, Pak,” terdengar suara pria di seberang sana, tegas dan formal. “Kami dari pihak kepolisian. Jika Bapak berkenan, bisakah datang ke kantor polisi sekarang? Ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan.”
Jason, yang duduk tak jauh, cukup jelas mendengar suara di telepon. Ia segera menoleh. “Papi, biar aku aja yang ke kantor polisi. Papi sama Mami istirahat, ya. Atau mau aku pesanin hotel dekat sini?”
Papi Aditama menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nggak usah. Biar Papi sendiri yang pesan. Kita memang nggak mungkin pulang ke rumah sekarang, jadi lebih baik menginap di hotel dekat rumah sakit.” Tatapannya tegas meski lelah terlihat di wajahnya. “Kamu aja yang ke kantor polisi ya, Nak. Kalau ada perkembangan, langsung hubungi Papi.”
Jason mengangguk mantap. “Iya, Pi.”
Belum sempat suasana kembali tenang, Nicholas ikut bersuara. “Gue ikut bareng lo.” Nada suaranya tegas, seolah tak menerima penolakan. Jason hanya menoleh dan mengangguk singkat.
Sebelum pergi, Jason sempat meraih tangan Maminya. Jemarinya menggenggam lembut, berusaha menyalurkan kekuatan meski dalam hatinya sendiri terselimuti cemas. Ia menatap mata Maminya dengan penuh kasih.
“Mami... Mami harus kuat, ya. Anna pasti bisa lewati masa kritis ini.” bisiknya lirih.
Air mata Mami Tania kembali menitik, tapi kali ini ia hanya mengangguk pelan tanpa kata-kata. Rasa takut masih begitu kuat, namun genggaman putranya sedikit memberi kekuatan.
Setelah berpamitan, Jason dan Nicholas pun bergegas meninggalkan rumah sakit menuju kantor polisi. Langkah keduanya terdengar tergesa di lorong, sementara di belakang mereka, keluarga Anna tetap setia menunggu dengan doa yang tak putus.
*********
Sesampainya di kantor polisi, Jason dan Nicholas langsung diarahkan ke sebuah ruangan khusus tempat para detektif mengumpulkan bukti. Suasana ruang itu terasa dingin, penuh dengan berkas-berkas menumpuk di meja, layar monitor yang menampilkan beberapa rekaman CCTV, serta aroma kopi yang sudah dingin.
Mereka berdua dipersilakan duduk. Tak butuh waktu lama, seorang detektif dengan wajah serius mulai membuka pembicaraan.
“Dari hasil penyelidikan lanjutan, kami mendapatkan rekaman CCTV tepat di depan toko kue tempat Nona Anna membeli dessert,” ucap detektif itu sambil menunjuk layar monitor. “Dan mengejutkan, ada seseorang yang terlihat mengotak-atik mobil yang ditumpangi Nona Anna. Pak sopir saat itu ikut masuk ke dalam toko, dan karena kondisi gang sepi, tidak ada saksi mata. Untung saja CCTV toko tersebut merekamnya.”
Jason yang sedari tadi duduk dengan gelisah langsung mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rahangnya menegang, napasnya memburu. Nicholas pun sama, pandangannya menusuk tajam ke arah layar seolah ingin menembus identitas si pelaku.
“Siapa orang itu, Pak? Apa identitasnya udah diketahui?” suara Jason terdengar geram.
Detektif itu menghela napas pelan sebelum menjawab. “Kami masih menelusuri. Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan... orang ini kemungkinan memang sudah mengincar Nona Anna. Dari beberapa rekaman CCTV jalan, terlihat ada mobil yang mengikuti mobil Nona Anna. Namun pelaku yang merusak mobilnya memarkirkan kendaraannya di luar gang. Plat nomor mobil yang ia gunakan sudah kami telusuri, tapi tidak ditemukan dalam database. Bisa dipastikan itu plat palsu.”
Sejenak ruangan itu hening. Jason menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia tahu keluarganya tidak pernah punya musuh. Anna juga tipe yang kalem, jarang bergaul, apalagi sampai berseteru dengan orang lain. Semua terasa janggal.
Jason menoleh pelan ke arah Nicholas. “Nich... apa Anna pernah cekcok sama karyawan di kantor lo?”
Nicholas langsung menggeleng cepat. “Enggak. Anna nggak pernah ribut sama siapa pun di kantor. Selama ini, kalau pun keluar, dia selalu sama gue. Gue juga nggak pernah lihat dia punya masalah sama orang.”
Nicholas kemudian menatap lurus ke arah detektif. “Pak, dari mana tepatnya pelaku itu mulai mengikuti Anna?”
“Dari rekaman CCTV, mobil pelaku sudah mengikuti sejak Nona Anna keluar dari komplek perumahan Garden,” jawab detektif itu sambil menunjuk titik lokasi di layar. “Setelah itu, kami kehilangan jejak karena pelaku mengambil jalur yang memang tidak terpasang CCTV.”
Jason menutup wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi. Nicholas tampak menahan amarah yang bergolak dalam dirinya.
Jason akhirnya mendongak, suaranya lirih namun penuh penekanan. “Tolong, lakukan yang terbaik, Pak. Kami butuh jawaban. Kami butuh pelakunya ketemu secepatnya.”
Detektif itu hanya mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak bisa menutupi keseriusan di balik matanya. “Percayakan pada kami. Kami akan usahakan yang terbaik.”
********
Pukul 7 malam – Hotel dekat rumah sakit tempat keluarga Anna menginap
Suasana di kamar hotel itu begitu muram. Lampu yang temaram seakan ikut larut dalam kesedihan. Nyonya Amanda duduk di samping Mami Tania, tangannya sesekali mengusap lembut punggung sahabatnya itu yang sejak tadi terus menahan tangis. Mami Tania masih sulit menerima kenyataan bahwa putrinya terbaring kritis di ICU. Sesekali, air matanya jatuh juga meski ia berusaha menahannya.
"Aku tahu ini berat buat kamu Tania tapi kamu harus kuat. Anna pasti juga berjuang di dalam sana," bisik Nyonya Amanda dengan suara pelan, sembari mengelus lengan mami Tania mencoba menenangkan.
Mami Tania mengangguk lirih, matanya sembab, suaranya nyaris tak keluar. "Kenapa harus Anna, Ndah... kenapa bukan aku aja yang ada di posisinya sekarang?"
Nyonya Amanda meraih erat tangannya. "Jangan pernah bilang begitu. Kamu harus percaya kalau Anna bisa melewati semua ini."
Di sudut ruangan, Nicholas berdiri bersandar pada dinding dengan wajah pucat. Ia ikut menenangkan keluarga Anna sebisa mungkin, meski hatinya sendiri hancur. Ia ingin terlihat kuat, namun sesungguhnya ia sedang rapuh. Matanya terus memandang ke luar jendela, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tak tertahan.
Jason duduk di kursi sofa dengan kepala tertunduk, menahan letupan emosi. Sudah berjam-jam lamanya mereka menunggu kabar, tapi pihak rumah sakit masih belum memberi perkembangan. Dokter hanya mengatakan bahwa 48 jam ke depan adalah waktu paling krusial bagi Anna. Dan sampai detik ini, belum ada kabar juga dari pihak rumah sakit.
Keheningan yang mencekam itu tiba-tiba pecah oleh dering ponsel Jason.
Derrt... Derrt... Derrt...
Jason yang semula lemas langsung sigap meraih ponselnya. "Halo..." ucapnya dengan nada berat.
Di seberang sana terdengar suara tegas seorang petugas. Jason terdiam mendengarkan, tubuhnya perlahan menegang. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah, rahangnya mengeras menahan amarah.
"Baik... saya akan langsung ke sana." suaranya terdengar singkat namun sarat emosi.
Mami Tania segera menoleh dengan mata penuh tanya. "Kenapa, Nak?" tanyanya dengan suara gemetar.
Jason menatap ibunya, matanya tajam namun juga bergetar menahan rasa sakit. "Pelakunya udah ketemu, Mi..."
Ucapan itu membuat semua orang di ruangan sontak terbelalak.
Nicholas yang sejak tadi diam langsung berdiri. "Ayo kita ke kantor polisi sekarang juga," ucapnya cepat, tanpa ragu.
"Mama juga ikut," sahut Nyonya Amanda tegas. "Mama pengen lihat sendiri siapa orang yang tega ngelakuin ini ke Anna."
Jason dan Nicholas hanya saling bertukar pandang singkat lalu mengangguk. Mereka tahu, Nyonya Amanda berhak tahu sama seperti keluarga Anna lainnya.
Setelah berpamitan sebentar pada Papi Aditama dan Mami Tania yang memilih tetap tinggal di hotel untuk berjaga, ketiganya pun bergegas keluar. Langkah mereka cepat, mata mereka penuh tekad. Malam itu, mereka menuju kantor polisi dengan hati yang dipenuhi amarah, penasaran, sekaligus ketakutan akan kenyataan yang mungkin jauh lebih menyakitkan daripada yang mereka bayangkan.
**********
Sesampainya di kantor polisi, langkah mereka terasa berat. Nyonya Amanda, Jason, dan Nicholas langsung diarahkan oleh seorang petugas menuju ruang interogasi. Jantung mereka berdetak cepat ketika pintu ruangan terbuka, memperlihatkan dua polisi yang sudah menunggu—dan seorang pria asing yang duduk dengan tangan terborgol di kursi besi.
Jason yang sejak tadi berusaha menahan amarah, akhirnya meledak begitu melihat wajah orang itu. Tanpa pikir panjang, ia melayangkan tinjunya ke arah pria tersebut.
“BUGGG!”
Pukulan keras mendarat di wajah si pelaku, membuat darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Jason tidak berhenti sampai di situ, ia kembali menghujani pukulan bertubi-tubi. Seandainya polisi dan Nicholas tidak segera menahan tubuhnya, mungkin pria itu sudah tak sadarkan diri di tempat.
“Jason! Cukup!!” teriak Nicholas sambil menarik bahu sahabatnya.
Jason terengah-engah, dadanya naik turun cepat, sementara matanya menatap tajam ke arah pria itu seakan ingin menelannya hidup-hidup.
“Mohon tenang, Pak!” ucap salah satu polisi tegas. “Kami mengerti perasaan Anda, tapi jika dia sampai mati di sini, justru kita tidak akan pernah tahu siapa otak di balik semua ini.”
Nicholas menoleh, wajahnya bingung. “Otak di balik semua ini? Maksud Anda… dia bukan pelaku sebenarnya?”
Polisi itu mengangguk mantap. “Betul. Dia hanya orang suruhan. Anda bertiga pun sepertinya tidak mengenali pria ini, bukan?”
Mereka bertiga menatap lekat-lekat pria itu—seorang lelaki sekitar tiga puluh tahun, dengan wajah penuh lebam. Memang benar, mereka sama sekali tidak ada yang mengenalinya.
Pelaku itu menunduk gemetar, suaranya terbata-bata. “S-saya hanya dibayar, Pak... Maaf saya khilaf. Tawaran uangnya terlalu besar j-jadi s-saya...”
Polisi menambahkan, “Mobil yang dia gunakan pun mobil sewaan. Jadi jelas, dia hanya alat.”
Nicholas maju selangkah, sorot matanya tajam menusuk. “Siapa yang nyuruh kamu?”
Pria itu menelan ludah, lalu mengangkat wajahnya perlahan. “Saya nggak tahu namanya, Pak. Tapi... dia perempuan. Masih muda... tinggi, putih, cantik... penampilannya seperti orang kaya raya. Dari cara dia bicara, saya yakin dia orang berada.”
Jason mengepalkan tangannya keras-keras. “Dan apa perintahnya?”
“Hanya... hanya untuk nyelakain seorang perempuan yang tinggal di komplek Garden. Setelah itu saya langsung dikasih uang,” jawab pria itu gemetar.
Nicholas tampak termenung, pikirannya berpacu keras.
Jason kembali mendesak, suaranya penuh tekanan. “Pertama kali kamu ketemu dia di mana?”
“Di depan pasar, Pak. Saya biasanya kerja serabutan di sana. Dia manggil saya, nawarin pekerjaan. Uangnya besar sekali, jadi saya... saya nggak mikir panjang. Saya salah...”
Nicholas mendecak pelan. “Orang itu bodoh. Biasanya yang seperti ini, mereka pakai orang profesional—pembunuh bayaran. Bukan orang awam kayak kamu.”
Jason menimpali dingin, “Kalau pembunuh bayaran, uang yang keluar pasti jauh lebih banyak. Jadi dia pilih jalan pintas.”
Nyonya Amanda yang sejak tadi terdiam, akhirnya bersuara. “Kapan kamu terakhir bertemu perempuan itu?”
“Sekitar dua hari lalu, Bu.”
Nyonya Amanda langsung menoleh ke arah polisi. “Tolong periksa rekaman CCTV di depan pasar dua hari lalu. Pasti ada jejaknya.”
Petugas segera bergerak. Waktu berjalan menegangkan. Setiap detik terasa begitu lambat. Hingga akhirnya, setelah menunggu hampir setengah jam, rekaman CCTV berhasil didapatkan.
Mereka semua menatap layar dengan mata lebar, sementara pelaku diminta menunjukkan titik ia bertemu perempuan tersebut. Hingga akhirnya, satu rekaman menghentikan napas mereka—si pelaku tampak jelas berbicara dengan seseorang di dalam mobil.
Wajah Nyonya Amanda mengernyit, lalu tiba-tiba matanya membesar, tubuhnya bergetar kala mengenali mobil itu. “Astaga...” serunya spontan.
Nicholas langsung menoleh. “Kenapa, Ma?”
Dengan tangan gemetar, Nyonya Amanda merogoh ponselnya, membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto keluarga pada pelaku. Ia menunjuk sosok seorang perempuan di foto itu. “Apa yang nyuruh kamu... perempuan ini?”
Pelaku menatap lama foto itu, lalu mengangguk. “Benar, Bu. Beliau yang nyuruh saya.”
Suasana di ruangan seketika membeku. Nyonya Amanda menutup mulutnya, wajahnya pucat pasi. Air matanya hampir jatuh ketika satu nama keluar dari bibirnya dengan suara bergetar—
“Angelina....” gumamnya, tak percaya.