Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lauv - Paris in the Rain
Mata Caroline berbinar dan Pratama merasakannya meskipun ia fokus ke jalanan yang dilalui. Dia tidak dapat menahan kekehannya lagi. Anggap sebagai pendekatannya juga, tetapi ia harus memikirkan tempat mana yang aman untuk ditabrak dan mobil mana yang dikorbankan. Seketika kekehannya terhenti.
“Kak, apartemenku terlewat,” sela Natasya.
“Oh, ya.” Pratama menghentikan mobilnya dan angkat bicara, “Jalan pagi baik untuk kesehatan.”
Jalan pagi matamu. Natasya menghela nafas. Meratapi dirinya yang menjadi kucing kecil malang, ditelantarkan begitu saja.
Gadis itu membuka pintu seraya berbicara, “Jaga Kakak Ipar lebih baik, Kak. Kalau sampai sakit lagi, aku carikan pengganti Kakak nantinya…” Ia terhenti saat empat lembar uang kertas merah ditepuk ke atas telapak tangannya. “…misalnya aku.”
“Kak, kurang seratus lagi.”
Tampaknya gadis manis itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun.
Pratama meliriknya dengan tatapan “Bicara lagi, aku tarik balik uang itu”. Di sisi lain Natasya mengerucutkan bibirnya sehingga membuat Caroline mengeluarkan dompetnya dan memberikan seratus yang kurang. “Genap lima ratus sekarang,” ucapnya.
Bibir yang maju tiga senti itu sekarang melengkung ke atas. Matanya yang penuh ketidakpuasan berubah menjadi penuh kasih sayang.
“Wahhhh, terima kasih dewinya Kakak. Sering-sering begini ya, Kak!”
“Rakus!” semprot Pratama, dibalas dengan delikan dari Natasya.
Caroline sedikit terhibur karena mata kanan Natasya mengedip genit sedangkan Pram seperti ingin menenggelamkan adiknya sendiri ke selat merah. Saat mobil berjalan, ia melihat Natasya melambai bersemangat sebelum berbalik dan berjalan menuju apartemennya.
Caroline menyadari sekelebat ekspresi suaminya namun tidak membicarakannya, memusatkan pandangan ke jendela transparan. Ekspresinya datar di luar, hanya saja jika seseorang bisa mendengar pemikirannya pastinya akan menepi dan mundur. Karena ribuan pertanyaan konyol muncul dari bentuk jalanan, pekarangan rumah, toko yang ada, papan jalanan, hingga manusia beraneka ragam yang berlalu lalang.
Misalnya, saat anak kecil di tepi jalan menangis karena es krimnya terkena kotoran burung.
Melewati satu gedung tinggi, layar cerah di mobil berbicara lagi. “Sepuluh menit lagi anda akan tiba di tujuan.”
Caroline sudah sedikit terbiasa dan tidak lagi berjengit. Gedung tinggi memang sempat memukau di matanya dan membuatnya tidak dapat menahan rasa penasaran. Setelah tiga puluh menit melalui bentuk bangunan yang mirip, dia sudah berhenti terperangah dan melihat pohon yang seolah tertinggal jauh di belakang.
“Kita sudah sampai.”
Mereka berdua keluar dari mobil dan berjalan bersisian. Sebuah truk besar melintas di samping mereka, membuat Caroline sedikit terkesiap dalam hati, namun ekspresinya planar. Ia berusaha keras memproses setiap detail, menyusun potongan-potongan informasi yang tak beraturan.
Pikiran pertamanya saat masuk ke area pabrik. Berisik dan serba putih.
Suara mesin modern yang beroperasi masuk dari segala arah. Caroline tampak sedikit kaget, alisnya menyatu erat karena telinganya hampir berdenging. Matanya menyapu sekeliling, menganalisis struktur bangunan, mesin-mesin, dan pekerja yang hilir mudik. Pratama menyadarinya dan mengetuk bahu istrinya, “Memang agak bising. Kita membuat bahan obat alam dan menjadikannya berbagai sediaan disini.”
Caroline mengamati sebuah robot lengan yang sedang merakit sesuatu dengan kecepatan luar biasa. Dia berhenti sejenak, mengamati gerakannya dengan intens. “Benda apa itu yang bergerak sendiri? Bagaimana ia melakukan itu?”
Pratama memberikan sejumlah pakaian khusus pada istrinya. “Akan kujelaskan perlahan, sekarang aku akan memeriksa batch sediaan di arah jam satu, ikut denganku dahulu.” Mereka berdua yang dari pakaian biasa berubah menjadi pelindung steril, masker, dan penutup kepala. Langkah demi langkah membawa keduanya pada sekumpulan orang yang tengah berdiskusi.
“Ini adalah area produksi tablet. Udara di sini diatur agar sangat bersih, hampir bebas partikel,” ucap suaminya dari balik masker dan matanya berkomunikasi kecil dengan pegawai disana sebelum ia berbisik ke Caroline. “Aku pergi sebentar, tunggu sejenak.”
Mesin-mesin besar mengkilap, lengan robotik bergerak presisi, dan beberapa pekerja dalam pakaian serupa bergerak cekatan. Dia melihat cairan bening mengalir di tabung, kemudian menjadi bubuk, lalu dicetak menjadi pil. Sepengalamannya, ia baru kali ini menyaksikan bahwa cairan dapat ditekan sedemikian rupa dan berganti wujud sebelum menjadi padat.
Melihat sapuan akhir ke tablet, ia menebak bahwa ini yang melapisi obatnya sehingga terasa manis. Sama dengan obat yang ia telan kemarin. Tiba-tiba, sebuah robot pengangkut wadah besi maju mendadak. Bukannya kaget, dia justru semakin penasaran untuk menyentuh benda keras tersebut. Matanya beralih ketika satu wanita berpakaian serba putih berjalan mendekatinya.
“Nyonya, sudah lama semenjak anda kemari. Bagaimana kabarmu?”
Caroline menoleh, sedikit terkejut dengan kehadirannya tetapi cepat pulih. “Baik sekali. Bagaimana denganmu, Ibu Rosaria?” ia membaca nama yang tertulis di jas putih tersebut dan berpandangan dengan Ibu Rosaria.
“Tampaknya Nyonya berubah banyak. Seperti yang terlihat, saya semakin berisi. Pabriknya juga semakin berisi,” guraunya dengan nada ramah. Caroline hampir tertipu oleh keramahannya karena ekspresi Bu Rosa tiba-tiba mengeras dan ia melontarkan sejumlah pengingat ke karyawannya yang hampir melakukan kesalahan dalam compounding obat.
Bu Rosa sedikit merasa tidak enak dan meminta maaf sebelum pamit ke karyawan magangnya. Memberikan Caroline jeda untuk memandangi area sekitarnya. Dunia ini.. lebih menarik dibanding yang pernah ia bayangkan. Saat melihat proses bagaimana berbagai sediaan padat, semi padat, dan cair dihasilkan ia tiba-tiba ikut tertarik.
Kilatan cahaya dari sensor mesin, suara bising yang konsisten, bau steril yang menusuk hidung mendorong otaknya berjuang keras. Awalnya ia terganggu, namun tidak sekarang. Caroline menoleh ke suaminya yang memberi kode agar ia menyusul kesana. Memahaminya, ia pun berjalan mendekat.
Dari kejauhan, ia mendengar sejumlah percakapan asing dan tidak dipahami. Beberapa kata asing mengalun ke indra pendengarannya. Ada yang ia pahami dan ada yang tidak ia pahami. Namun yang pasti, tempat ini terasa agak familiar. Mungkin karena tubuh ini pernah menginjakkan kakinya kemari.
“Uji lagi solubilitasnya, batch pertama kita hampir tidak lolos di seleksi keduanya.”
“Apakah ini sudah kalian produksi secara presisi dan akurat? Jangan sampai ada yang cacat!”
“Ikuti sesuai dengan SPO yang ditetapkan!”
Tiga apoteker yang masih berdebat kecil terhenti saat melihat sosok wanita di depannya. Mengangguk kecil lalu kembali sibuk berdiskusi dengan suara yang lebih kecil. Mengawasi beberapa tim QC yang menilai kemurnian dan stabilitas obat terpilih. Di sisi lain, kepala tim disana maju dan berjabat tangan dengan Caroline.
Sensasi hangat masih menempel di telapaknya saat ia mendengarkan perkenalan kecil dari lelaki di depannya. Sekali dengar, ia mengetahui bahwa Bapak Andreas merupakan orang yang berkomunikasi dari telepon bersama suaminya. Ia terlihat seperti orang penting disini, yang menentukan apakah pabrik ini akan rugi besar atau berjalan semestinya.
Caroline mengangguk pelan, mata hitamnya tertuju pada serangkaian mesin yang menampilkan garis yang tidak dipahaminya. Ia mengagumi kerapihan dan keakuratan alat sekelilingnya: kromatografi dengan sampel berwarna-warni, spektrofotometer dan kuvetnya yang rapuh, hingga mesin penguji disolusi yang berderet rapi.
Layar besar menampilkan grafik kompleks dan angka-angka yang terus bergerak. Bapak Andreas yang baru saja berdiskusi dengan Pratama mencoba melibatkan Caroline dan menunjuk layar. “Tim dua puluh sedang mengerjakan proyek pengembangan obat rematik dalam sediaan cair. Ada hasil uji stabilitasnya disini, seharusnya obat ini akan diuji klinis jika pra-klinisnya berhasil.”
Caroline mendekat, mengamati grafik tersebut. Garis-garis yang naik turun, titik-titik data yang tersebar. Hanya saja satu kurva sedikit berbeda dari yang lain, sebuah anomali kecil yang nyaris tak terlihat oleh mata awam. Jari telunjuknya terangkat, menunjuk ke titik tertentu pada grafik. “Apakah baik baik saja jika garis ini melandai di sini tiba-tiba?”
Andreas mengerutkan kening dan memperhatikan garisnya. Kurva degradasi bahan aktif umumnya seringkali mengalami fluktuasi kecil, namun titik yang ditunjuk memang menunjukkan penurunan yang lebih tajam.
“Ini sebenarnya hal yang biasa, karena bahan aktif akan terdegradasi seiring waktu, Caroline. Tetapi anda benar, ada pelandaian yang lebih curam dibandingkan rata-rata,” balas Andreas sedikit terheran.
Pratama yang sibuk mendengarkan laporan salah satu apoteker, menoleh. Rasanya terdapat perubahan atmosfer antara Caroline dan Andreas. Ia memberikan sedikit saran sebelum mendekati mereka berdua, tepatnya sang istri.
“Ada apa, Andreas?”
Mata Andreas tertuju lama pada grafik, lalu beralih ke Pratama. “Saya harus berterima-kasih kepada Nyonya. Kali ini ia menunjukkan kami bahwa peruraian bahan aktif obat turun sedikit cepat, saya mengamatinya lagi dan memang benar adanya. Jujur, kami melewatkannya.”
Caroline sendiri merasa bingung mengapa ia menunjuk titik itu. Pikirannya tidak bisa menerjemahkan angka di mesin atau istilah teknis yang Andreas sebutkan, tetapi ia merasakan intuisi yang nyaris seperti memori dari pemilik aslinya yang memberi tahu bahwa ada "sesuatu yang tidak pada tempatnya" pada pola tersebut.
Kepanikannya sempat melonjak, takut apa yang baru saja ia tunjukkan adalah hal yang bodoh, tapi Andreas justru terlihat terkesima.
“Kami perlu melihat data mentahnya lagi, dan mungkin memperpanjang uji sampel dari batch ini. Tuan Pratama, tampaknya kita harus menunda rilis batch ini untuk investigasi lebih lanjut.”
Pratama terkejut. Menunda rilis batch yang sudah di ambang pengiriman berarti kerugiannya besar. Hanya saja lebih baik menunda di awal ketimbang menarik ketika semua telah diproduksi dalam skala yang lebih besar. Maka ia menyetujuinya, lagipula ia percaya ketika Andreas menyatakan adanya ketidak-beresan, maka memang ada yang salah dari perlakuan produksi maupun bahan aktifnya.