Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16_Keegoisan Ramon
Pria berpakaian serba hitam itu menelan salivanya kasar. Aura mencekam dan mengintimidasi terasa jelas sampai membuat bulu kuduknya meremang. Tatapan matanya terlihat datar namun terasa dingin, sosok tubuhnya yang tinggi dengan bahu yang kokoh membuat dirinya terlihat sempurna.
" Apa kau yakin?" Pria itu mengangguk. Dia tidak berani untuk menatap sang Tuan sehingga hanya bisa menundukkan kepala melihat ke bawah.
Pria itu melangkah, mendekat kearah jendela. Kedua tangannya dia masukkan kedalam saku celana-nya, matanya menatap lurus kedepan melihat gedung-gedung pencakar langit yang dapat dia lihat melalui jendela.
" Tetap awasi dia dan jangan sampai kau melewatkan sedikitpun tentangnya!" Pria itu kembali mengangguk setelahnya dia berpamitan untuk melanjutkan tugasnya.
Setelah ruangan itu kosong dan hanya ada dirinya, pria berhazel cokelat terang itu mengesah panjang. Tangannya menarik simpul dasi yang melingkar pada lehernya lalu mendaratkan bokong pada Sofa. Dia meraih ponsel yang tergeletak di meja, tangannya bergerak lincah sampai pada akhirnya benda pipih itu menempel pada daun telinganya.
" Bagaimana?"
" Kau tidak perlu khawatir semuanya aman," dia bisa bernafas lega setelah mendengar kalimat itu. Meskipun saat ini dia dilanda emosi tapi dia harus bisa menahannya. Ini belum saatnya dia muncul dan dia harus menunggu moment yang pas untuk menunjukkan dirinya.
" Cepatlah kemari. Ada hal lain yang harus kau urus!" Sambungan telpon itu terputus setelah mendengarkan balasan dari seberang sana. Dia kembali menyimpan ponselnya, matanya terarah pada sebingkai foto yang menghias indah meja kerjanya. Cantik dan imut, bahkan senyumnya sangat mempesona dengan ciri khasnya.
" Bersabarlah, ini akan segera berakhir." Senyum itu terbit dengan suasana hati yang terluka. Tangannya meraba foto itu dengan lembut menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam akan sosok yang terdapat di foto itu.
Dia hanya bisa mengesah panjang. Semua yang dia lakukan seakan sia-sia karena tidak mendapatkan sedikitpun petunjuk. Caramondy pria berhidung lancip dan rahang kokoh itu kembali menggusar wajahnya. Dia benar-benar dilema dengan masalah yang dihadapinya saat ini.
" Dimana Mian?" Zain mengangkat bahunya saat pertanyaan itu tertuju padanya. Dia duduk dengan santai dengan kaki yang menyilang.
" Sepertinya dia sedikit kesal padamu. Kau sudah melukai Aya!" Ramon menoleh, tatapannya sangat sulit untuk ditebak. Meskipun begitu, Zain tidak merasakan takut karena tatapannya.
" Aku tidak tahu kalau Ay....
" Jangan pernah kau sebut lagi nama Aya dengan mulut brengsek mu itu Ramon," perkataan Ramon terpotong begitu saja oleh Mian yang entah muncul dari mana. Matanya memerah dengan rahang yang mengetat " Gara-gara mulut tajam mu itu, aku kehilangan dia."
Ramon terkekeh pelan, dia bangkit dari duduknya lalu menghampiri Lian yang tengah menatap bengis padanya " Kehilangannya huh? Kau pikir kau siapanya Kanaya?" Ramon mencengkram kerah kemeja yang digunakan Mian membuat suasana yang awalnya terlihat tenang tiba-tiba memanas. Zain ikut berdiri ketika kedua pria itu saling mencengkram satu sama lain. Tatapan keduanya saling bertemu dengan sorot mata yang tak kalah menyeramkan.
" Bastrad. Kau benar-benar bastrad Ramon!"
" Diamlah brengsek. Kau mencoba memancing amarahku dengan cara mengklaim Aya milikmu huh?"
Mian tertawa lalu salah satu sudutnya tertarik keatas mengukir smirk devil miliknya " Sepertinya kau melupakan sesuatu," Mian berusaha mengingatkan " Dia hanya orang asing bagimu!" Ucapnya penuh kemenangan " Tapi tidak denganku. Ya Aya memang milikku, jadi tidak salah bukan jika Aku mengklaimnya?"
BUGHHH
Mian meludahkan cairan amis yang terasa di mulutnya. Sudut bibirnya robek karena Ramon memukulnya dengan tenaga penuh " Hei hentikan. Kenapa kalian malah ribut?" Zain kelabakan karena Ramon ingin kembali menerjang Mian. Dia sekuat mungkin mencoba menahan Ramon yang telah dikuasai amarah.
" Kenapa kau marah?" Mian menyeka sudut bibirnya " Kau sendiri yang bilang kalau Aya hanyalah orang asing bagimu, dimana letak kesalahan ku?"
" Dia masih milikku!" Tegasnya dengan tangan mengepal.
Mian kembali menarik salah satu sudutnya " Tidak, kau salah. Aya adalah milik ku!"
" BERHENTI MIAN. ADA APA DENGANMU? KENAPA KAU TERUS MEMANCING EMOSINYA?!" Zain benar benar kewalahan untuk memisahkan dua mahluk itu. Dia tidak bisa memihak pada salah satunya.
" JUSTRU DIA YANG MEMANCING EMOSIKU. SETELAH MEMBUANGNYA DIA KEMBALI MENGKLAIM AYA MENJADI MILIKNYA. APA PERLU KU INGATKAN? BAGINYA AYA HANYA ORANG ASING ZAIN HANYA ORANG ASING!" Teriakan Mian membuat Zain tersadar akan satu hal. Mian tidak pernah marah seperti ini dan Zain baru melihatnya untuk pertama kali.
Dan itu karena Aya adik dari sahabat mereka Azka.
" Dia yang mengatakan sendiri jika Aya itu hanya orang asing untuknya. Dan ya, dia benar setelah mereka berpisah mereka akan menjadi orang asing. Meskipun nanti masih ada kata 'istri' yang terhubung dengannya tapi itu tidak lagi sama. Karena nanti akan menjadi sebuah kata 'mantan istri' yang membuat mereka benar-benar menjadi asing!"
" Berbeda denganku. Aku sudah menganggap Aya seperti adikku sendiri. Meskipun kami tidak memiliki hubungan darah Aya tetap akan menjadi adikku. Tidak ada kata asing bagi kami. Karena hubungan kami murni dan tidak akan pernah putus sampai kapanpun!"
" Satu lagi," Mian menahan tumitnya yang ingin berputar " jika kau bisa memenuhi tanggung jawabmu pada Putri karena kesalahanmu waktu itu, lalu kenapa pada calon anakmu yang Aya kandung tidak bisa? Dia calon anakmu bukan? Calon anak dari istri sah mu secara hukum dan agama! Tapi kenapa kau tid.....
" Sudah cukup Mian. Lebih baik kau pergi, kita bicarakan lagi setelah kalian tenang!"
Mian mengangkat bahunya acuh " Sepertinya kau masih dikendalikan oleh perasaanmu Ramon. Jika terus begini kenapa kau tidak nikahi saja Zahra? menurutku itu lebih baik karena kau akhirnya bisa memiliki dia seutuhnya."
" Kau sudah melewati batasanmu Damian." Ucap Ramon mengeram.
" Yang sudah melewati batasan itu kau bukan aku. Kau sudah merusak rumah tangga Kavin dan membuat dunia sepupumu hancur. Dan sekarang kau membuat Aya mejadi wanita paling mengenaskan. Hidup sebatang kara, tidak memiliki tempat untuk membagi cerita dan disingkirkan suaminya sendiri dalam keadaan hamil muda pula? Sungguh bukan kah itu sangat dramatis? Malang sekali nasib Aya!"
" KAU.....
"Apa?" Sela Mian " kenapa kau harus marah? Bukankah itu memang kenyataannya? Berbahagialah, berbahagialah dengan wanita yang masih berstatus istri orang lain. Sepertinya bukan aku saja yang merasa bersalah tapi Azka pun ikut merasa bersalah karena mempercayakan Aya padamu bastrad!" Pegangan pada kedua lengannya mengendur setelah Mian pergi meninggalkan mereka. Zain pria yang sedari tadi menahan Ramon untuk tidak menyerang Mian kini mulai memikirkan satu hal yang sempat dia lupakan.
" Yang diucapkan Mian memang benar. Tidak seharusnya kau berkata seperti itu pada Aya jika perasaanmu pada Zahra sudah hilang. Kau memihaknya karena masih ada rasa bukan?!"
" Kenapa kau diam?" Tanya Zain saat mendapati keterdiaman Ramon " Cih. Sekarang aku tahu seperti apa yang dirasakan Mian saat ini. Kau memang benar benar bastad Ramon." Zain ikut pergi meninggalkan ruangan bernuansa Abu dan gold itu. Dia pergi ikut menyusul Mian yang sudah pergi dari kantor ramon.
Langkah kakinya terhenti saat bahu itu merasakan hantaman yang kuat. Dia nyaris terjungkal jika saja tangan itu tidak segera menarik lengannya.
" Terimakasih," Dia menarik diri dari pelukan itu. Tangannya bergerak cepat mengambil barangnya yang berserakan.
" Kau tidak apa-apa?" Dia mengangguk memamerkan senyumnya yang tak terhalang oleh apapun " Aku baik-baik saja. Maaf karena aku berjalan terburu buru sehingga aku tidak sengaja menabrak mu,"
" Tunggu?" Pergerakan tangannya tertahan. Kepalanya yang sempat menunduk kini mendongak menatap sang empu tangan itu " Kanaya!"
" Rai?"