Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pecahnya semua kendali..
Suasana apartemen sore itu begitu tegang. Tirai jendela berkibar tertiup angin yang masuk dari balkon, namun tak mampu meredakan panasnya suasana di dalam. Tania berdiri dengan tangan menyilang di dada, bibirnya mengatup keras, sementara Raka berdiri di seberangnya dengan napas memburu, matanya menyala penuh amarah.
"Jadi ini semua puncaknya, Tan?" suara Raka terdengar rendah, namun mengandung bara yang membakar. "Kau pikir aku akan diam saja setelah tahu semua yang kau lakukan ke Nayla?"
Tania melipat tangannya lebih erat. “Aku hanya ingin dia pergi dari hidupmu! Aku hanya ingin kita menjadi keluarga tanpa bayangan masa lalu!”
“Keluarga?” Raka tertawa getir, menyandarkan kedua tangannya di meja makan. “Kau pikir dengan cara mempermalukannya di depan publik, memfitnahnya, mengganggu hidupnya selama berbulan-bulan, itu akan membentuk keluarga? Kau hancurkan semuanya, Tania!”
"Aku melakukannya karena aku mencintaimu!" Tania membentak, air mata mulai berkumpul di sudut matanya. “Lalu sekarang? Setelah aku hamil, kenapa kau berubah? Ke mana kata-kata cintamu dulu, Raka? Bukankah dulu kau bilang akan bertanggung jawab? Kau bilang akan bersamaku!”
"Ya, aku akan bertanggung jawab!" balas Raka lantang. “Tapi tanggung jawab bukan berarti menginjak-injak orang lain yang tidak bersalah! Kau tahu Nayla sedang mengandung anakku juga, Tan! Tapi kau malah terus menyakitinya. Kau pikir aku bisa diam?”
Tania tercekat. Kalimat itu menghantamnya lebih keras daripada semua argumen yang pernah mereka punya. "Jadi kau lebih memilih dia sekarang? Perempuan yang sudah meninggalkanmu?"
"Dia tidak meninggalkanku. Dia berusaha pergi karena lelah disakiti—olehmu, oleh keadaan, dan… olehku," suara Raka melembut sejenak, namun amarah masih berkecamuk di matanya. “Dan jangan salahkan dia. Ini semua dimulai saat aku mengkhianatinya… bersamamu.”
Tania menggeleng dengan napas tersengal. “Kau tak adil. Aku wanita yang mengandung anakmu, Raka. Aku yang kau nikahi sekarang.”
“Dan Nayla adalah istri sahku sebelum semuanya jadi kacau. Sekarang dia sedang mengandung juga. Dan kau tahu apa yang paling membuatku marah?” Raka melangkah mendekat, menatap tajam Tania. “Kau tahu Nayla hamil, tapi kau tetap melabraknya. Kau permalukan dia. Apa kau bahkan manusia?”
Tamparan emosional itu terlalu keras untuk Tania. Air matanya akhirnya jatuh, namun Raka tak goyah. Emosinya sudah terlalu menumpuk.
“Aku ingin semuanya berjalan damai,” Raka melanjutkan. “Tapi dengan semua yang kau lakukan, aku tak bisa menahan diri. Aku menyesal telah menyakitinya. Aku menyesal menikahimu. Bahkan anak ini….” Raka terhenti, menahan kata-kata agar tak melukai lebih dalam.
Tania menangis keras sekarang. “Jangan katakan itu… jangan katakan kau menyesal padaku, Raka…”
“Terlambat, Tan,” ucapnya lirih namun tajam. “Kalau aku tidak menemukan jalan untuk memperbaiki semuanya, setidaknya aku ingin Nayla tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Bahwa aku peduli pada anak kami.”
Tania terduduk di sofa, tubuhnya bergetar. “Jadi apa kau akan meninggalkanku juga?”
Raka tak menjawab segera. Ia menatap langit-langit, seakan mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata terakhir. “Aku akan tetap bertanggung jawab pada anak ini. Tapi untukmu… aku tak tahu, Tan. Aku benar-benar tak tahu. Kau hancurkan semua kepercayaanku.”
Ia mengambil kunci mobil dari meja, memalingkan wajahnya.
"Raka… jangan pergi…" Tania memohon.
Namun langkah Raka sudah pasti menuju pintu. Tanpa menoleh lagi, ia berkata lirih namun tajam,
“Aku tak bisa mencintaimu setelah semua yang kau lakukan.”
Dan dengan suara pintu yang tertutup keras, apartemen itu tenggelam dalam keheningan dan isak tangis Tania yang patah.