NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aluna Resmi Jadi Ibu

Langit sore merona jingga saat Aluna melangkah pelan di lorong rumah sakit.

Rambutnya digulung rapi, masih mengenakan blouse formal dan celana kerja.

Tumit sepatunya nyaris tak bersuara saat ia tiba di depan pintu kaca NICU.

Di balik kaca bening, seorang bayi mungil tampak tenang dalam inkubator. Selimut biru kecil membalut tubuhnya, kabel-kabel monitoring masih menempel di dada dan kakinya.

Aluna tersenyum. Tangan kanannya menyentuh permukaan kaca lembut, mata memerah, bukan karena lelah, tapi rasa syukur yang terus tumbuh.

“Halo, Nak... Mama datang lagi…” Suaranya lirih. Hampir seperti bisikan yang hanya sang buah hati bisa mengerti.

Beberapa perawat lewat di belakang, menunduk hormat. Sudah biasa mereka melihat Aluna datang sepulang kerja—selalu dengan wajah lelah tapi senyum yang tak pernah absen.

Flashback singkat mengalir lembut di benaknya.

Saat ia hamil, ia vakum total dari dunia entertainment.

Fokus menyelesaikan skripsi dan akhirnya wisuda dengan perut besar.

Kini ia kembali tampil di depan kamera, tapi hanya menerima pekerjaan ringan.

Aluna duduk di kursi panjang di depan kaca, mengeluarkan termos kecil dari tas, menuang teh hangat dan membacakan isi buku dongeng yang selalu ia bawa.

“...dan sang naga pun tertidur, tak bisa lagi menakuti desa kecil itu. Karena si pangeran—anak kecil yang pemberani—telah menyelamatkan semua orang...”

Tangannya menggenggam erat buku kecil itu. Tatapannya lembut, penuh doa.

Setelah 20 menit, seorang perawat keluar mendekatinya. “Kondisi putra Ibu stabil. Kalau beratnya naik sedikit lagi, mungkin minggu depan sudah bisa keluar dari inkubator.”

Aluna menunduk penuh syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih. Terima kasih banyak…”

...***...

Aroma telur dadar keju dan roti panggang memenuhi udara apartemen mewah itu.

Aluna berdiri di dapur, mengenakan daster longgar warna lembut, rambutnya masih diikat sembarangan. Sedikit peluh membasahi pelipisnya, ia sibuk menyusun sarapan di atas meja.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Alaric melangkah keluar, hanya mengenakan celana bahan gelap dan kemeja putih. Kancing bagian atas masih terbuka. Jas kerja ia taruh di sandaran kursi.

Tatapan matanya langsung menuju ke dapur.

“Pantas baunya kaya kedai sarapan murah...” Suaranya terdengar datar, sarkastik seperti biasa. “Istriku belum mandi rupanya.”

Aluna menoleh dengan pelototan setengah geli. Tangannya tetap sibuk menuang teh ke cangkir. “Aku bangun duluan buat nyiapin makanan. Lagian belum sempat mandi juga.”

Alaric mendekat, duduk dengan santai di kursi makan, lalu mencicipi telur dadar buatan Aluna. Rautnya tetap datar, tapi ia menghabiskan setengahnya hanya dalam dua suapan.

“Lumayan.” Satu alis terangkat. “Kursus gratis dari Mama nggak sia-sia.”

Aluna menyengir bangga. “Mama Callindra ngajarnya kayak chef internasional.”

Alaric menyeka mulutnya dengan tisu, lalu meneguk susu. “Tapi tetap aja, bau bawang di rambutmu bisa bikin aku kehilangan selera.”

Aluna meletakkan spatula dengan dramatis. “Baik, Tuan Alverio. Istri Anda akan mandi. Tapi jangan harap dapat kiriman makan siang.”

“Siang aku rapat.” Alaric bangkit, menepuk lembut bahu Aluna saat melewatinya. “Jadi, ya, cepat mandi sana.”

Aluna hanya mendecak, tapi senyumnya tak hilang. Ia melangkah ke kamar mandi, sementara Alaric melirik meja makan—menyendok satu porsi lagi telur, tanpa mengaku itu enak.

Aluna keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di tangan, rambutnya masih basah. Ia keluar dari kamar dan memandang pintu utama dengan cepat—langsung berlari kecil ke arahnya saat melihat Alaric berdiri di sana, tengah mengenakan sepatu kulit hitam.

Alaric mengenakan kemeja formal dan jas kerja, dasinya sudah rapi. Jam tangannya menunjukkan pukul 7.21 a.m

“Alaric!” Suara Aluna agak tinggi. Napasnya sedikit naik turun karena setengah berlari. “Sore nanti... kalau kamu sudah pulang, kita ke rumah sakit, ya?”

Alaric menarik napas dalam. Kepalanya tetap menunduk, memeriksa ujung sepatu, lalu berdiri tegak menatap pintu apartemen. Jawabannya datar.

“Kalau aku belum pulang sampai jam lima, kamu tinggal aja. Pergi sendiri.”

Aluna terdiam. Tangannya mencengkeram ujung handuk, mata mulai memerah.

“Tapi... hari ini jadwal check perkembangan paru-parunya.”

Alaric akhirnya menoleh, sorot matanya jelas jenuh. “Al, aku lagi bad mood. Perusahaan lagi kacau. Investor mau cabut, pegawai saling lempar tanggung jawab—sekarang kamu nambah jadwal dadakan kunjungan bayi?”

Aluna menunduk. “Itu bukan jadwal dadakan... itu janji kita...”

Alaric tak menjawab. Ia hanya menatap Aluna satu kali lagi—bukan dengan benci, hanya lelah dan jauh. “Aku pulang kalau sempat.”

Lalu membuka pintu dan keluar. Pintu tertutup rapat, meninggalkan keheningan.

Aluna masih berdiri di depan pintu. Menatap pegangan yang tadi disentuh Alaric. Lalu perlahan, tubuhnya meluruh ke lantai. Tersedu dalam diam.

...***...

NICU

Aluna berdiri sendiri di balik kaca inkubator. Tangannya menyentuh dinding kaca yang memisahkannya dari bayi mungil dengan tubuh kecil, kabel medis dan napas yang naik-turun perlahan.

Mata Aluna sembab. Tapi senyumnya lembut.

“Hai... Mama datang lagi," bisiknya, walau bayi itu tentu belum mengerti.

Ia duduk perlahan di kursi pengunjung. Menyandarkan dagu ke lutut, memeluk dirinya sendiri, menatap sang bayi.

“Kamu tahu nggak… setiap hari Mama takut. Tapi juga setiap hari Mama belajar kuat. Karena kamu.”

Satu tangan mungil bayi itu sedikit bergerak. Aluna nyaris tersedak isak. Ia mengusap air matanya buru-buru dan berdiri lagi, menghela napas panjang.

...***...

Aluna duduk sendirian di seberang meja. Dokter menjelaskan hasil pemantauan paru-paru dan perkembangan bobot bayi secara rinci.

Suara dokter masih berlangsung lalu…

Pintu ruang dokter diketuk.

‘Tok tok'

Dan saat dibuka, Surya dan Kenzie masuk dengan tergesa, membawa tas dan map.

Aluna berdiri terkejut. “Kalian…”

Surya tersenyum lebar. “Maaf telat. Macet. Dan ada yang lupa jalan ke ruang dokter.”

Kenzie hanya mendesah pelan dan tersenyum kecil. “Dengar lo ke rumah sakit sendirian, kami nggak bisa diam di rumah.”

Aluna langsung menghampiri dan memeluk keduanya sekaligus. Tangisnya pecah. Bahu Kenzie dan Surya menjadi sandaran.

“Kalian... benar-benar keluarga aku sekarang. Kalian... satu-satunya yang selalu ada.”

Surya menepuk pelan kepala Aluna. “Kami udah ikut lo dari nol. Dan akan terus ikut... sampai lo jadi legenda.”

Kenzie menepuk pundaknya. “Sampai lo bisa ajari anak lo cara berdiri sendiri.”

Meski suaminya tidak datang, Aluna merasa tenang ada dua sosok yang menemaninya mendengar hasil perkembangan si bayi.

...***...

Suasana hangat meski meja hanya dari kayu panjang dan bangku tanpa sandaran. Lampu kuning menggantung, aroma kaldu dan sambal tumis memenuhi udara.

Aluna duduk di tengah, diapit oleh Surya dan Kenzie. Piring mereka sudah setengah kosong. Mereka sedang makan di warung makan pinggir jalan. Nostalgia jaman agensi mereka masih jauh dari kata sukses.

Surya menyendok nasi ke mangkuk Aluna, “makannya nambah, Bu. Biar ASI-nya lancar.”

Aluna tertawa pelan, wajahnya berseri. “Lo tuh asisten atau dukun laktasi?”

Kenzie ikut tergelak. Tangannya meraih gelas es teh, lalu berkata dengan bangga, “anak lo nanti pasti ganteng. Soalnya mamanya artis dan papanya CEO tergila seantero negeri.”

Aluna memutar bola matanya dramatis. “Iya, papanya kayak CEO di drama Korea. Dingin, sarkas dan sibuk kerja.”

Surya menimpali, sambil menepuk dada, “tenang, kalau papanya sibuk, ada Surya sang baby sitter ganteng nan sabar. Bayi cowok itu cocoknya digendong cowok juga biar bonding!”

Tawa pecah di meja mereka. 

Aluna meletakkan sendok, menatap ke arah jalan. Matanya sendu tapi hangat. “Gue tuh udah nggak sabar pengen gendong dia. Lihat matanya. Dengarin napasnya. Pegang tangan kecilnya tanpa lapisan kaca.”

Surya dan Kenzie langsung diam.

Kenzie meletakkan sendoknya perlahan. “Sebentar lagi, Al. Lo sudah kuat sejauh ini. Dia juga pasti berjuang buat ketemu lo secepatnya.”

Aluna mengangguk. Tangannya menggenggam mug panas yang tersisa separuh.

“Semoga... dia cepat sehat. Gue janji nggak akan nyia-nyiain dia. Dan gue bakal jadi Mama terbaik. Walau... ya, gue masih belajar juga. Karena dia yang udah nyelamatin karir gue.”

Surya menyikut lembut pundaknya.

“Kita belajar bareng. Ganti popok bareng. Kalau perlu, Kenzie jadi pelatih renangnya nanti.”

Kenzie angkat tangan, “tapi bukan pelatih tidur malam, ya. Gue insom.”

Tawa kembali terdengar. Lampu warung berpendar hangat di wajah mereka bertiga. Tak ada keluarga sedarah, tapi Aluna tahu, inilah keluarganya.

...***...

Suasana senyap menyambut Aluna begitu pintu apartemen terbuka. Lampu utama sudah dipadamkan, hanya cahaya dari lampu dinding di lorong yang menyala lembut.

Langkah kaki Aluna pelan. Ia melepas sepatu high heels-nya satu per satu, menaruhnya dengan rapi di rak. Tubuhnya lelah, tapi wajahnya tetap membawa senyum setelah momen bersama Kenzie dan Surya.

Tangannya menyentuh saklar, tapi tak jadi menyalakan lampu. Ia memilih masuk dengan cahaya seadanya, berjalan ke arah kamar.

Lampu temaram menyambut dari lampu tidur di sudut ruangan.

Alaric tampak setengah berbaring di ranjang, bersandar pada tumpukan bantal. Tubuhnya hanya mengenakan piyama satin navy tipis. Tablet berada di pangkuannya. Ia sedang berbicara melalui wireless earphone, nada suaranya datar tapi sedikit lega.

“Baik, Virgo. Jadi investor pertama mundur… tapi pengganti baru lebih stabil, ya? Oke. Kirimkan detailnya malam ini juga. Saya akan review sebelum tidur.”

Sebuah helaan napas panjang keluar dari mulut Alaric. Ia menyandarkan kepala ke bantal, menutup mata sejenak.

“Setidaknya satu beban hilang malam ini...”

Tiba-tiba matanya terbuka sedikit, saat mendengar pintu kamar mandi terbuka pelan.

Aluna keluar. Dengan pakaian tidur longgar warna soft blue, rambut masih kering, dan langkah kaki lambat khas orang kelelahan. Wajahnya polos tanpa makeup.

Alaric sedikit terkejut, padahal ia tidak lihat istrinya itu masuk—tahu-tahu sudah mandi, tapi tidak bicara. Matanya mengikuti pergerakan Aluna yang berjalan tanpa suara ke arah lemari kecil.

Aluna menyadari tatapan itu, menoleh singkat. “Kamu belum tidur?”

Alaric hanya mengangguk pelan. “Baru selesai meeting sama Virgo. Investor baru katanya lebih kooperatif.”

Aluna duduk di sisi ranjang sambil membuka lock screen smartphonenya.

Setelah beberapa detik, tangannya menyentuh punggung tangan Alaric. “Kamu capek banget, ya?”

Alaric menoleh perlahan. Matanya menatap wajah Aluna yang tampak lelah tapi tenang. Lalu, ia menaruh tablet di nakas.

Tangan kanan Alaric bergerak menyentuh ujung rambut Aluna yang lembut.

Alaric menyandarkan kepalanya ke kepala Aluna. “Sudah lama kamu nggak pulang dengan senyum kayak tadi. Kenapa?”

Aluna menjawab sambil menguap kecil. “Karena hari ini... aku nggak merasa sendiri.”

Alaric tidak berkata apa-apa. Tapi ia menarik selimut, dan menepuk sisi ranjang. “Tidur di sini,” ucapnya dalam.

Aluna hanya mengangguk. Ia naik ke atas ranjang, menyandarkan kepala ke lengan Alaric, membiarkan hening mengisi sisa malam.

Alaric mengatur posisi tubuhnya menghadap Aluna, satu tangan menyentuh perut istrinya yang masih besar. Lampu tidur memancarkan cahaya lembut, membingkai siluet wajah mereka.

Aluna mendesah pelan, lelah namun penuh damai. Kepalanya menyandar di dada Alaric, lalu menarik tangan suaminya dan menaruhnya di atas perutnya.

“Tadi waktu aku di NICU… dokter bilang, berat badannya naik beberapa gram. Tapi masih butuh inkubasi seminggu lebih. Lucu ya, makhluk sekecil itu udah bisa bikin aku sekuat ini.”

Alaric tidak menjawab. Tapi ia tidak melepaskan sentuhannya. Hanya menggenggam lembut bagian perut Aluna. Kadang jari-jarinya mengelus perlahan. Hening, tapi tidak dingin.

Aluna melanjutkan pelan, seperti menyimpan semua ini dan baru bisa meluapkannya sekarang.

“Aku sempat berpikir soal nama… Kalau laki-laki, gimana kalau namanya ‘Alvaro’? Ada awalan nama kita, ‘Al’. Kalau perempuan, mungkin ‘Lunara’?”

Alaric mengerjap perlahan. “Kamu udah sejauh itu mikirnya?”

Aluna tertawa kecil, tangannya mencubit lengan Alaric lembut. “Ya masa kamu nggak? Aku mamanya, aku yang tiap hari mikirin. Kamu papanya, cukup tanda tangan aja, ya?”

Alaric mengangguk kecil, senyumnya samar. Ia menghela napas pendek, lalu menarik Aluna dalam pelukan pelan, menyesuaikan posisi tubuh agar tetap nyaman dengan perut besar di antara mereka. Pelukannya rapat, tenang.

Namun tiba-tiba… Ia merasakan sesuatu yang hangat dan lembap di bagian sisi dadanya. Ia refleks mengangkat kepala, menurunkan pandangan ke arah dada kaosnya.

Basah. Bukan keringat.

Aluna terdiam sejenak. Matanya melebar pelan.

“Eh… aku…”

Tangannya menyentuh bagian dada bajunya sendiri. Ada noda bulat yang menggelap.

Alaric langsung paham. Bukan air biasa. Itu ASI. Ia menatap Aluna yang memucat—campuran kaget dan malu.

“Maaf ya…” bisik Aluna, berusaha tenang.

Alaric terdiam sesaat, lalu menghela napas sambil menggeleng pelan. Ia mencopot kaosnya, meletakkan di lantai, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.

“Mulai sekarang aku harus siap jadi bantal yang siap basah setiap malam, ya?”

Aluna menahan tawa malu. “Maaf...”

Alaric menatapnya, kali ini dengan senyum jujur, lembut. “Jangan minta maaf. Itu bukti kamu… benar-benar jadi ibu.”

Aluna menyentuh pipinya, lalu membenamkan wajah ke dada Alaric lagi. Dan mereka pun tidur dalam pelukan. Kehangatan yang baru. Rasa yang belum pernah mereka rasakan bersama sebelumnya.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!