Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA16
Shela menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran mewah, tempat favoritnya.
"Kita mau ngapain, Shel?" tanya Maya polos, menatap bangunan berlampu temaram itu.
"Ya mau makan, dong! Kamu enggak lapar?" Shela tertawa kecil.
"Em..." Maya tampak ragu. Ia tahu betul isi dompetnya nyaris kosong.
"Gimana kalau kita makan di warteg aja?" usul Maya sambil tersenyum canggung.
Shela mengernyit jijik. "No-no, gak steril tahu!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Udahlah, santai aja. Gue yang traktir. Kemarin-kemarin juga Loe yang sering traktir gue, kan?" lanjutnya manis.
Maya tersenyum haru. Ia percaya, Shela memang sahabat sejati yang tahu cara membalas budi. Tak sedikit pun ia curiga bahwa kebaikan Shela menyimpan niat tersembunyi, keji dan licik. Diam-diam, Shela sudah mengantongi uang seratus juta dari dua pria hidung belang sebagai modal besar untuk Maya.
"Terima kasih, Shel," ucap Maya pelan. Matanya berkaca-kaca.
Malam itu, sebuah kenangan manis melintas sejenak di benak Maya. Alan juga pernah mengajak dirinya makan di tempat itu. Mereka tertawa hangat, saling menyuapi, seperti sepasang kekasih sejati. Tapi semua itu kini hanya serpihan masa lalu.
Perut Maya sudah kosong selama delapan jam lebih ia belum makan nasi.
Maya makan dengan lahap.
"Maaf ya, Shel. Aku laper banget," ujarnya malu-malu.
"Aman, May. Aku pesenin dessert juga, ya?"
Maya mengangguk, tersipu.
Saat makanan penutup datang, Shela mencondongkan badan.
"May, coba tunjukkan perusahaan mana yang kamu lamar besok?"
Maya mengambil ponselnya, lalu memperlihatkan CV onlinenya.
"PT Victory. Perusahaan aksesoris mobil."
Shela mendengus kaget. "Hah? Victory? Itu anak perusahaan Alan, May."
"Apa?" Maya menatap Shela dengan mata membesar.
"Ta..tapi direkturnya bukan Alan, kok. Namanya Bayu Krisna..."
Shela tertawa miring. "Lu enggak ngerti sih. Alan punya banyak anak perusahaan di Jawa dan Sumatera. Semuanya di bawah naungan RVC."
"Beneran, Shel? Aku... aku enggak tahu," ucap Maya, bingung.
"Ya iyalah, kamu enggak mungkin tahu. Kamu kan cuma anak guru SD kampung," gumam Shela tajam.
"Oke! Sekarang gue telepon Papa gue, biar loe 100% percaya. Papa gue sekarang sudah kerja sama bareng RVC," ucap bangga Shela.
Tak lama, suara sang ayah terdengar dari ponsel, mengonfirmasi bahwa PT Victory memang bagian dari grup RVC milik Alan Andrew.
Wajah Maya seketika pucat. Tangannya gemetar menggenggam sendok.
"Alan itu crazy rich, May. Keluarganya udah kaya dari generasi ke generasi. Dia juga punya kakak perempuan di Inggris, sama tajirnya. Mana mungkin dia serius sama kamu. Dia banyak selingkuhan, pacar pun gonta-ganti. Gue juga dulu sempat tertarik, tapi ya... ngelihat kamu kayak gini, gue sadar. Lebih baik jangan. Dia buang perempuan seenaknya."
Ucapan Shela seperti racun yang perlahan-lahan menyusup ke dalam hati Maya. Shela tidak tahu bahwa kedatangan Maya ke Jakarta adalah bagian dari rencana besar Alan.
"Jadi aku harus gimana, Shel?" Maya mulai panik.
"Pilihan di tangan kamu, May."
"Aku enggak mau lagi ketemu Alan!" ucap Maya putus asa, wajahnya meringis.
"Sudah cukup. Aku hancur. Kehilangan arah."
Tangis Maya pecah. Ia mengusap air matanya. "Tapi aku juga enggak mau pulang dengan tangan kosong. Aku harus sukses. Aku ke Jakarta ini bukan buat cari cinta... Aku cuma pengen kerja yang bener, biar adik aku bisa kuliah. Ekonomi keluarga kami bisa naik sedikit. Pekerjaan apa pun akan aku lakukan... asal halal."
Shela tersenyum simpul. "Udah, udah. Jangan nangis. Aku pasti bantu kamu."
"Beneran, Shel?"
"Iya, siapa lagi sih yang kamu punya di Jakarta selain aku?" ucap mulut manis Shela.
Maya mengangguk. Wajahnya kembali bersinar.
"Di perusahaan apa, Shel?"
"Aku punya koneksi di perusahaan fashion. Mereka lagi cari sekretaris muda berpengalaman, kayak kamu. Besok kamu interview sama dua manajer cowok. Tenang, gampang kok."
"Serius?" Mata Maya berbinar.
"Tapi ada syaratnya..." ucap Shela pelan.
"Apa?"
"Kamu harus tampil menarik. Enggak bisa dong kucel kayak gini. Namanya juga perusahaan fashion. Harus bisa jual tampang."
"Terima kasih, Shel. Kamu sahabatku yang paling baik!" Maya langsung memeluk Shela erat.
Shela membalas pelukan itu dengan senyum licik.
"Iya dong... 200 juta enggak mungkin gue sia-siain."
--
Malam itu Alan dan Keyla tampak asyik berbincang di ruang tamu. Obrolan mereka didominasi soal urusan perusahaan, namun perlahan suasana menjadi lebih personal. Alan mulai membuka hatinya. Dengan nada pelan, ia bercerita tentang perasaannya kepada Key tentang Maya, perempuan yang belakangan ini tak henti menghantui pikirannya.
"kenapa kau begitu terhipnotis kepadanya? Tanya Key.
"Karena dia baik, hatinya tulus!" puji Alan untuk pertama kali kepada wanita.
"Dan dia sangat pandai memanjakan ku," Alan bergumam, senyumnya samar namun pikirannya tenggelam dalam bayangan intim masa lalu bersama Maya. Hasratnya bergelora.
Hingga pukul satu dini hari, Alan masih belum bisa memejamkan mata. Ada rasa gugup menyelinap dalam hatinya. Besok, ia akan bertemu langsung dengan Maya setelah dua bulan lebih lamanya tak melihat wajah wanita itu lagi, bahkan sekedar melalui layar ponsel sekalipun. Hatinya sudah sangat rindu.
Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk mengabarkan bahwa paket honeymoon atas nama Mr. Alan dan Mss. Maya ke Jepang resmi hangus. Alan terdiam. Matanya menatap layar dengan kehampaan.
Belakangan demi mengusir rasa kesepian nya, menjelang tidur, Alan punya kebiasaan menonton dokumentasi masa remajanya bersama sang Ayah. Setelahnya, ia melanjutkan dengan memutar video-video kebersamaannya dengan Maya, kejahilan kelucuan mereka, hingga keduanya tertawa lepas, kemesraan yang cukup vulgar layaknya suami istri yang sah. Dulu, ia menganggap semua itu biasa saja bagai makanan tanpa penyedap rasa. Tapi sejak Maya pergi, momen-momen itu terasa begitu berarti. Berubah menjadi micin yang membuat ketagihan. Ia merindukan setiap detiknya.
Keesokan paginya.
Maya sudah bangun sejak subuh. Setelah shalat dan memanjatkan doa, ia kembali menaruh harapan besar pada hari ini, harapan akan pekerjaan, harapan akan perubahan. Tak lupa, ia juga mengirim kabar singkat kepada Roy, meyakinkannya bahwa dirinya baik-baik saja di Jakarta.
Tak lama, Shela muncul di depan kamar Maya, membawa setelan pakaian berwarna merah ketat dengan gaya cukup mencolok.
“Pagi, May!” sapanya ceria.
Maya sudah berpakaian rapi dengan kemeja sederhana dan rok panjangnya. Penampilannya sangat sopan, bahkan cenderung konservatif.
“Haduh... gaya kamu itu, May, terlalu formil dan kuno! Ini Jakarta, bukan kampung halaman,” komentar Shela sambil menggeleng.
Shela langsung mengangkat setelan yang dibawanya. “Nih, aku bawain outfit yang pasti bikin kamu diterima kerja. Enggak ada yang nolak penampilan sekece ini.”
Maya menatap pakaian itu ragu. Dengan semangat, Shela memaksa Maya agar segera mencobanya.
“Lihat tuh! Cantik banget, May! Fresh dan meyakinkan!” puji Shela saat Maya keluar dari kamar, meski wajah Maya tampak canggung.
“Tapi roknya terlalu pendek, Shel... aku enggak nyaman,” ucap Maya, menarik-narik roknya berusaha menutupi paha mulusnya.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga