Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Aku, Kau, dan Semua Kepura-puraan
Villa pribadi Sergio di kawasan perbukitan itu sunyi, terlalu sunyi untuk seseorang yang baru saja menyelesaikan urusan besar di kapal pesiar dan seharusnya kembali ke rumah pengantin. Namun, bagi Sergio, keheningan di sini di tempat yang hanya ia miliki jauh lebih jujur dari pada kemewahan palsu yang ia bagi dengan istrinya.
Dua hari. Sudah dua hari ia menghindari rumah yang ditinggalinya bersama istrinya, Karin. Ia duduk di ruang tamu yang luas tapi sepi mata terpaku pada layar laptop yang menampilkan skema keuangan yang rumit, mencoba menenggelamkan diri dalam angka-angka agar melupakan sandiwara yang menantinya.
Hening.
Sampai suara itu datang. Deru ban mobil di kerikil, disusul benturan keras pintu mobil. Sergio tidak perlu menoleh. Ia tahu betul irama langkah yang sedang menuju ke dalam rumah itu. Karin.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka keras.
Karin muncul, dengan mantel berwarna krem yang masih basah di ujungnya. Wajahnya cantik, tapi terlihat lelah dan marah sekaligus. Matanya merah, entah karena kurang tidur atau karena menahan emosi.
"Hebat, Suamiku." katanya datar tapi tajam. "Dua hari, Sergio. Dua hari setelah pulang, kamu malah ngumpet di sini. Kamu pikir aku punya waktu buat terus menutupi kelakuanmu?"
Sergio tidak menoleh. Jari-jarinya tetap menari di atas keyboard, seolah tak terganggu. "Aku sibuk, Karin."
Karin tertawa pendek, getir. "Sibuk? Sibuk bersembunyi, maksudmu! Sementara aku harus berhadapan dengan ibumu yang terus menanyai ke mana suamiku yang sempurna itu. Kamu tahu, aku sampai membuat alasan gila tentang ‘rapat mendadak di Singapura’. Padahal urusanmu sudah selesai tiga hari lalu!"
Sergio menghela napas, menutup laptop. Ia menopang dagu dengan tangan dan menjawab dengan santai "Aku tidak memintamu melakukan itu, tuh."
"Tentu saja kamu tidak meminta! Karena kamu tidak pernah meminta apa-apa dariku, selain peran yang harus ku mainkan!" Karin menghempaskan tas tangan bermerknya ke meja kaca. Bunyinya memekakkan telinga. "Kamu pikir gampang berpura-pura jadi pasangan bahagia di depan keluarga besar kita? Kamu bahkan tidak bisa berpura-pura mencintaiku lebih dari lima menit, kan?"
Ia lalu berjalan ke jendela besar, memandang keluar "Kamu tahu apa yang paling ironis, Sergio?" katanya lirih. "Aku aktris sinetron. Setiap hari di lokasi syuting, aku sudah berakting jadi orang lain. Tapi bahkan setelah syuting selesai, aku masih harus berakting jadi istri yang bahagia di dunia nyata. Aku lelah. Benar-benar lelah." Suaranya bergetar sedikit. "Kadang aku pikir, aku nggak tahu lagi mana yang lebih palsu ... sinetron yang tayang di TV, atau pernikahan kita."
Sergio bersandar di sofa "Kalau kamu lelah, pulang sana. Kamu selalu dramatis seperti biasa." nada suaranya tetap datar
Karin memejamkan mata sesaat, menahan frustrasi yang meluap. "Aku memang akan pulang. Tapi sebelum itu, masih ada yang ingin aku katakan." Ia berbalik dan kembali mendekat ke sofa "Ibumu, Sergio. Dia sudah keterlaluan."
Sergio mendongak sedikit. "Apa lagi yang dia lakukan?"
"Dia mendesakku untuk hamil, setiap hari!" Suara Karin meninggi. "Dia kirim vitamin, makanan aneh, bahkan daftar ‘menu kesuburan’. Katanya itu semua demi cucu. Setiap kali aku makan, dia tanya: ‘Itu mengandung protein tinggi, kan?’ Aku bahkan nggak bisa menikmati teh tanpa dikirimi teh sarang walet sialan itu!"
Ia menatap Sergio tajam. "Tahu nggak? Aku sampai muak lihat burung. Sarang walet di mana-mana. Sup walet, susu walet, pudding walet! Katanya, biar rahimku cepat ‘subur’. Padahal kan..." Karin berhenti, menarik napas panjang, suaranya bergetar. "Padahal ... kita bahkan nggak pernah tidur bareng, Sergio. Lucu ya, gimana aku bisa hamil kalau suamiku aja nggak pernah nyentuh aku?"
Sergio terdiam.
"Dua tahun lebih menikah," lanjutnya lirih, "dan aku bahkan nggak tahu suamiku sehebat apa di ranjang. Kita tidur di ranjang yang sama mungkin cuma tiga kali. Dan dari tiga kali itu, nggak ada satu pun malam di mana kamu benar-benar melihat aku."
Karin menatapnya lama, matanya basah tapi tak menetes. "Aku nggak butuh kasih sayang palsu, Sergio. Tapi setidaknya, berikan aku sedikit kejujuran. Jangan buat aku merasa seperti prop dalam hidupmu." Ia menyandarkan diri di meja, memandangi wajah dingin itu "Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Saat aku mencoba mencium suamiku yang mabuk, berharap sedikit kasih sayang, dan kamu malah menyebut nama perempuan lain."
Sergio menatap balik, matanya dingin. "Kamu bisa berhenti kapan pun, Karin."
"Tentu saja tidak," sahutnya cepat. "Kamu pikir aku bisa keluar begitu saja? Aku hidup dari citra, Sergio. Dari nama. Dari kepalsuan yang kita jual. Kamu suamiku di atas kertas, tapi di mata publik, kau adalah trophy husband yang bikin brand-ku makin mahal. Kita saling butuh, bukan saling cinta."
Sergio terdiam, wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah mendengar semua ini berkali-kali. Namun, kemarahan Karin kali ini terasa lebih mendalam.
Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya, menekan beberapa kali, lalu menodongkan layarnya ke wajah Sergio. "Oke, sekarang ganti topik. Lihat ini, siapa dia?"
Di layar, ada foto buram dirinya di dermaga. Di sampingnya, seorang wanita muda, mereka jalan beriringan.
Melihat wanita itu, Shannara, darah Sergio seakan berhenti mengalir. Dia langsung merebut ponsel Karin, mengabaikan Karin yang merengut. Ia fokus pada foto itu, membesarkannya. Wajahnya langsung tegang.
"Siapa yang kirim?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
Wajah Sergio menegang. Ia berdiri. "Dari mana kau dapat itu, hm?"
"Bukan urusanmu. Lagi pula itu tidak penting." balas Karin cepat. "Yang jelas, aku sudah memperingatkanmu. Aku tidak peduli dengan siapa kamu bersenang-senang. Tapi jangan biarkan satu pun kamera menangkapnya. Foto ini bisa menghancurkan segalanya, Sergio. Citraku, karirmu, seluruh sandiwara kita."
Ia menatapnya lurus, tanpa berkedip. "Jadi aku akan tanya sekali saja. Perempuan itu ... kamu tidur dengannya?"
"Dia bukan..."
Karin langsung memotong, tajam. "Aku nggak tanya siapa dia, aku tanya apa kamu tidur dengannya?!"
Keheningan menggantung. Sergio tidak menjawab. Karin tersenyum miring, puas sekaligus muak.
Karin melipat tangan di dada. "Jadi kamu nggak menyangkal? Hebat juga, cepat banget kamu panik."
"Aku nggak panik."
"Oh iya?" Karin mendengus. "Karena wajahmu kelihatan kayak orang ketahuan."
"Kamu salah paham.”
"Beneran?" Karin menatapnya lama. "Jadi aku harus percaya kalau foto kamu jalan bareng
perempuan di dermaga itu cuma kebetulan? Kamu pikir aku bodoh?"
Sergio menarik napas berat. "Karin, cukup! Aku nggak mau bahas ini."
"Tentu kamu nggak mau," katanya cepat. "Karena setiap kali aku nyentuh bagian hidupmu yang sebenarnya, kamu tutup mulut rapat-rapat."
Sergio menunduk. Tak ada pembelaan.
Karin menarik napas panjang, mengangkat dagunya tinggi-tinggi, seperti aktris yang baru menyelesaikan adegan klimaksnya. "Bereskan, Sergio. Jauhkan wanita itu dari kamera, dari wartawan, dari dunia ini. Karena kalau satu foto lagi muncul, aku nggak akan cuma marah. Aku akan pastikan semua yang kamu bangun ikut tenggelam bersamaku."
Karin memungut tasnya, berdiri tegak, matanya dingin tapi basah. "Tenang aja, aku nggak akan ganggu urusanmu sama wanita itu. Aku cuma mau satu hal itu saja ... pastikan jangan sampai nama kita ada di headline gosip murahan."
Lalu ia memutar tumitnya ingin melangkah pergi, namun ia berhenti sejenak, menoleh tanpa senyum. "Lucu, ya? Akhirnya, satu-satunya hal nyata di hidup kita… cuma rasa lelah." setelah itu ia langsung bergegas keluar, dan pintu dibanting lebih keras.
Sergio hanya duduk di sana, terpaku. Pandangannya kosong, menatap ke arah pintu yang kini tertutup, seolah melihat bayangan Shannara terperangkap di antara kebohongan pernikahan yang baru saja dihadapinya. Bukan hanya media yang ia takutkan. Ia takut, sandiwara ini akan segera menemukan korban yang sesungguhnya.