Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Putri Dari Dunia Lain
Perang ternyata tidak seheroik di film.
Tidak ada musik dramatis, tidak ada pahlawan dengan rambut tertiup angin, dan tidak ada waktu buat berdiri keren sambil menatap langit.
Yang ada cuma darah, lumpur, dan teriakan orang yang terluka.
Aku masih bisa mencium bau logam dan tanah basah saat menarik perban dari salah satu prajurit yang terluka di tenda medis. Tanganku gemetar, tapi pikiranku fokus.
“Tekan di sini,” kataku ke Riku, yang kini jadi asisten dadakan.
“Dengan apa?”
“Tanganmu! Ya Tuhan…” aku mendesah. “Kalau gak ditekan, dia bisa kehabisan darah!”
Riku menurut. Dia kuat, tapi jelas gak terbiasa dengan darah sebanyak ini.
“Dokter, kau benar-benar aneh. Perempuan biasanya pingsan melihat luka seperti ini.”
“Perempuan dari duniaku tidak mudah pingsan.”
“Dunia lagi, dunia lagi…” gumamnya. “Kau ini sebenarnya siapa, Mika?”
Aku menatapnya, lalu tersenyum samar. “Mungkin nanti aku cerita.”
Dari luar, suara perang masih terdengar — denting pedang, teriakan komando, dan sesekali ledakan kecil dari bom asap primitif mereka.
Hujan turun pelan, mencampur darah dan lumpur menjadi warna yang sulit dijelaskan.
Aku menatap ke luar tenda sesaat, mencari sosok Akira. Tapi yang kulihat hanya kabut dan bayangan pasukan.
“Dia pasti baik-baik saja,” kataku sendiri.
Beberapa jam kemudian, pasukan utara berhasil mundur. Para prajurit bersorak lemah, tapi Akira tidak muncul di antara mereka.
Aku langsung berdiri, menatap Riku. “Pangeran di mana?”
Riku terlihat ragu. “Dia belum kembali.”
“Apa?”
“Terakhir kulihat, dia mengejar pasukan musuh ke sisi timur.”
“Dan kalian membiarkan dia sendirian?”
Riku menunduk. “Dia memerintahkan kami mundur. Tidak ada yang bisa melawan perintah itu.”
Aku menatap jalan berlumpur di luar. Petir menyambar jauh di atas hutan.
Sial. Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur, tapi hatiku tidak tenang.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil kotak perban dan berlari.
“Mika! Kau mau ke mana!?” teriak Riku.
“Nyari pasien yang paling keras kepala di dunia!” balasku sambil terus berlari.
Hutan di sisi timur basah dan sunyi. Kabut turun rendah, dan setiap langkah membuat sepatu jerami yang kupakai berat oleh lumpur.
Aku mendengar sesuatu — suara kuda, lalu suara orang mengerang.
Aku menuruni lereng kecil dan… di sanalah dia.
Pangeran Akira, bersandar di pohon, baju perangnya robek di bahu, darah merembes di antara jari-jarinya.
Seekor kuda hitam berdiri tak jauh, tampak gelisah.
“Akira!” seruku.
Dia membuka mata perlahan, wajahnya pucat. “Kenapa kau di sini?”
“Nyari pasien yang bandel.”
“Kau bodoh,” katanya lemah.
“Dan kau keras kepala. Jadi kita imbang.”
Aku berlutut di sampingnya. Luka di bahunya dalam, tapi tidak menembus. Aku mengeluarkan alat seadanya dari tas kecil yang kubawa — perban, jarum, dan… alkohol.
Ya, alkohol dari dunia modern yang selalu kubawa di tas daruratku.
“Apa itu?” tanyanya curiga.
“Obat. Ini akan sedikit perih.”
“Tidak perlu—”
Sebelum dia selesai, aku sudah menuangkan alkohol itu ke lukanya.
Akira mengerang keras. “Sialan! Itu membakar!”
“Artinya bekerja,” kataku tenang sambil tersenyum.
Dia menatapku, seolah tidak tahu harus marah atau kagum.
“Aku tidak tahu apakah kau penyihir atau tabib gila.”
“Mungkin dua-duanya.”
Aku menjahit lukanya perlahan, sementara hujan mulai berhenti. Daun-daun meneteskan sisa airnya seperti tirai halus.
“Kenapa kau selalu menantang maut?” tanyaku tanpa menatap.
“Karena aku pangeran. Kalau aku lari, siapa yang akan mereka ikuti?”
“Kau juga manusia. Pangeran atau bukan, darahmu tetap merah.”
Dia terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Kau bicara seperti ayahku dulu.”
Aku menatapnya. “Apa yang terjadi pada beliau?”
“Dia meninggal… saat hujan juga.”
Aku berhenti menjahit. “Aku—maaf.”
“Tidak perlu. Aku sudah terbiasa.”
Tapi aku tahu dari nada suaranya — dia tidak benar-benar terbiasa.
Saat jahitannya selesai, aku menatap hasilnya dan tersenyum puas.
“Lihat? Rapi. Kau bisa jadi model iklan klinik.”
“Iklan apa?”
“Lupakan.”
Dia menghela napas, lalu berkata pelan, “Terima kasih, Mika.”
Itu pertama kalinya dia memanggil namaku tanpa nada dingin.
Dan entah kenapa, dada ini terasa hangat.
Kami duduk diam beberapa saat. Hujan berhenti sepenuhnya, digantikan oleh suara serangga malam.
Aku menatap langit yang mulai cerah. “Kau sadar gak, awan itu bergerak cepat banget di dunia ini?”
Akira menoleh. “Mungkin karena kau baru menyadari dunia ini benar-benar ada.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin.”
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, beberapa prajurit muncul.
“Yang Mulia! Syukurlah kami menemukan Anda!”
Riku ada di antara mereka, menatapku lega dan sedikit kesal.
“Aku bilang jangan kabur!”
Aku mengangkat bahu. “Tapi kan aku bawa dia pulang hidup-hidup.”
Akira berdiri perlahan dengan bantuan Riku. “Dia menyelamatkanku. Jangan ganggu dia.”
Riku menatap pangerannya, lalu aku. “Baik, Yang Mulia.”
Aku menahan senyum. Nah, akhirnya dia mengaku juga.
Kembali ke istana, suasana berubah. Para prajurit menyambut kepulangan Akira dengan sorakan. Bahkan Permaisuri Mei keluar dari aula utama, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang dalam.
“Anakku,” katanya lembut sambil menyentuh pipi Akira.
“Ibu,” jawabnya singkat.
Aku berdiri agak jauh, merasa canggung. Tapi tiba-tiba, sang permaisuri menatapku.
“Jadi kau yang menyelamatkan putraku?”
Aku menelan ludah. “E-eh… iya, sedikit.”
“Sedikit?” Riku bersuara. “Dia menjahit luka Yang Mulia seperti tabib profesional.”
Permaisuri Mei tersenyum tipis. “Menarik. Dari mana kau belajar itu, Nona Mika?”
“Dari sekolah.”
“Sekolah?”
“Tempat kami belajar menyembuhkan orang.”
Permaisuri menatap Akira. “Sepertinya kau membawa pulang orang istimewa.”
Wajah Akira datar. “Dia hanya beruntung bisa menjahit dengan benar.”
Aku menyipitkan mata. Cowok ini benar-benar gak bisa manis sedikit pun.
Permaisuri tertawa pelan. “Baiklah. Aku ingin dia tetap di istana. Mungkin takdir membawanya kemari bukan tanpa alasan.”
Dan begitu saja, aku resmi tinggal di istana.
Mereka memberiku kamar baru yang lebih dekat ke ruang tabib, dan Yuna kini jadi asistennya. Hari-hariku diisi dengan merawat luka prajurit, memberi ramuan, dan mengajar Aiko cara mencuci tangan sebelum merawat pasien (yang sempat membuatnya tersinggung berat).
“Cuci tangan? Kau pikir tanganku kotor?” katanya sewaktu itu.
“Kalau kau pegang luka tanpa cuci tangan, pasien bisa infeksi.”
“Infeksi?”
“Luka yang membusuk.”
Wajah Aiko berubah panik. Sejak itu, dia jadi orang pertama yang antre di sumur sebelum mulai kerja.
Suatu sore, saat matahari mulai condong, Akira datang ke ruang medis.
Dia tampak lebih tenang, bahunya sudah sembuh sebagian.
“Kau masih bekerja?” tanyanya.
“Ya. Banyak pasien, banyak drama.”
“Drama?”
“Cerita sedih dan lucu yang bercampur jadi satu.”
Dia memperhatikanku membungkus ramuan dengan kain kecil.
“Bagaimana kau tahu semua itu? Obat, jarum, cara menjahit…”
Aku tersenyum samar. “Dari dunia lain. Aku sudah bilang kan?”
Dia menatapku lama, seolah mencoba mencari kebenaran di mataku.
“Kalau kau benar dari dunia lain, kenapa kau tidak kembali?”
Aku terdiam. “Mungkin karena aku belum menemukan caranya.”
“Atau mungkin karena kau tidak mau.”
Aku mendongak, kaget.
Dia tersenyum tipis, lalu berbalik. “Hati-hati, Mika dari dunia lain. Kadang, dunia baru bisa membuatmu lupa dunia asalmu.”
Suara langkahnya menghilang di lorong.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasa sesuatu aneh di dada — bukan sekadar rasa kagum, tapi juga takut.
Takut kalau benar kata dia… bahwa perlahan-lahan, aku mulai lupa.
Malam itu, aku duduk di balkon kamarku. Hujan rintik turun lagi, menimpa genting kayu.
Aku menatap ke arah taman di mana pertama kali kulihat Akira memainkan serulingnya.
Sekarang aku tahu, hujan bukan musuh. Ia hanya membawa kenangan — dan kadang, kenangan itu yang menuntun kita ke masa depan.
Aku menutup mata, membiarkan suara hujan memeluk malam.
“Kalau benar aku terdampar di sini untuk sebuah alasan,” bisikku pelan, “maka aku akan menemukan alasannya. Dan mungkin… alasan itu adalah dia.”
Keesokan paginya, seluruh istana gempar.
Seekor burung hitam besar — gagak bertanda merah — mendarat di menara tertinggi istana. Di kakinya terikat gulungan kain dengan simbol asing.
Pesan dari kerajaan utara.
Aiko yang membawanya ke Akira.
“Yang Mulia, mereka menuntut pertemuan.”
Akira membaca surat itu perlahan, lalu menatapku yang berdiri di dekat pintu.
“Mereka ingin berdamai?” tanyaku.
“Tidak,” jawabnya dingin. “Mereka ingin darah.”
Dia menggenggam surat itu hingga remuk, lalu berkata lirih,
“Persiapkan semuanya. Hujan akan datang lagi.”
Dan saat itu juga, aku tahu — perang belum berakhir.
Dan mungkin, takdirku di dunia ini baru saja dimulai.