Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putus-2
Andi Enre terdiam dengan tubuh lemas. Matanya menatap kosong dan tidak tahu harus berbuat apa.
Ia datang membawa rindu, dan ingin bertemu dengan keluarganya, tetapi ia ditolak mentah-mentah tentunya hatinya sangat hancur.
Ia tidak dapat dipisahkan, ia tidak dapat memilih, antara istri dsn keluarganya, karena ia menyayangi keduanya.
"Ammak, bagaimanapun hubungan darah tidak akan pernah terpisah, aku tidak pernah bisa memilih antara ammak, ambo, ani dan juga Daeng Cening. Kalian semua adalah hidupku, maka aku akan tetap berada diantara kalian." pria itu masih berdiri didepan sana, dan hatinya cukup sakit akan hal ini.
Dengan nafasnya yang terasa sesak, ia berjalan dengan langkah gontai, dan kembali ke mobilnya, bahkan hampers yang akan diberikan kepada keluarganya, terpaksa ia bawa kembali dan terpaksa meninggalkan rumah yang mana tempat ia pernah tumbuh dan dibesarkan.
Sedangkan Abdi Lalo berdiri dengan merapatkan tubuhnya didaun pintu. Ia juga merasakan hati yang hancur, sebab bagaimanapun Andi Enre adalah puteranya darah dagingnya, sosok yang sudah ia kandung selama sembilan bukan, dan tentunya ada rasa kasih itu tidak akan pernah hilang dari dalam hatinya.
Akan tetapi, ia tak ingin malapetaka itu hadir ke dalam rumahnya, maka ia memilih untuk tidak menerima puteranya, agar mereka selamat dari sang Menantu.
"Amaak, mengapa membanting pintu dengan sangat keras?" tanya Andi Anni yang keluar dari kamar sembari menggendong puteranya.
"Tidak ada apapun, kamu jangan lupa gantungkan gunting lipat kecil dipakaian anakmu, agar makhluk parakang dan lainnya tidak mendekati," pesan Andi Lalo pada puterinya.
"Itu sudah saya buat, Ammak, bahkan juga pakai bawang putih tunggal dan sapu lidi," sahutnya dengan cepat. Ia tidak lupa untuk membuat ajimat yang sudah turun dan temurun dari generasi ke generasi yang diyakini dapat menolak si Parakang.
"Baguslah, jangan sampai lengah dan lakkai-mu Bombang mengapa belum pulang sampai sekarang?" tanya wanita itu dengan nada gekisah, sebab malam ini mereka hanya berdua saja menjaga bayi tersebut.
"Lakkai sedang mengantar tepung sagu ke pabrik, dan mungkin pulang tengah malam," sahut Andi Anni menjelaskan.
Karena suaminya sering pulang larut malam, maka itu sebabnya ia masih memilih untuk tinggal bersama keluarganya.
"Ya, sudah. Ayo kita tidur," ajak Andi Lalo pada puterinya, dan ia menuju ke kamar Andi Anni untuk menjaga sang cucu, sembari menunggu menantunya kembali dari bekerja.
Sementara itu, Daeng Cening sudah membereskan semua bercak darah yang menempel dilantai, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
Ia terlihat sangat kenyang dan dahaga akan hausns untuk minum darah akhirnya terobati. Kini ia dapat tidur dengan nyenyak tanpa rasa gelisah.
****
Hari masih pagi, Andi Enre sudah tiba didepan rumahnya. Seharusnya ia menginap dirumah orangtuanya, tetapi ia sudah kembali secepat ini.
Wajahnya terlihat sangat lesu, hingga sang istri menyapanya.
"Ada apa, Sayang? Mengapa begitu cepat sekali pulangnya, bukankah kamu masih rindu akan ammak?" tanya wanita itu dengan senyum yang sangat manis. Terlihat ia sangat ceria pagi ini.
Andi Enre menatap sang istri, dan ia mengulas senyum yang sangat dipaksakan.
Tidak ada apa-apa, Sayang. Ammak dan Ambo tidak adak dirumah, mereka pergi," jawsbnya berbohong.
Daeng Cening hanya tersenyum tipis, tentu saja ia tahu srmuanya, meski sang suami mencoba menyembunyikan hal itu darinya.
"Apakah kamu kecewa?" tanyanya dengan tatapan misterius.
"Tidak, Sayang, biarlah, biasa hal terjadi dalam keluarga, tetapi dalam hati ada cinta yang tak dapat disembunyikan," jawab Andi Enre dengan tenang, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
"Baiklah, yang terpenting kamu bahagia bersamaku," jawab Daeng Cening dengan sangat lembut. "Ayo, Daeng sudah masak sarapan." ajaknya pada sang suami, lalu menarik tangan prianitu agar masuk ke dalam rumah.
Tanpa bantahan, Andi Enre mengikuti segala apa yang dikatakan oleh sang istri.
"Tunggu," tiba-tiba sebuah suara menghentikan keduanya.
Andi Enre beserta sang istri menoleh ke arah belakang. Terlihat dua orang polisi yang datang menghampiri mereka sepagi ini. Sepertinya kasus kematian Ella tidak juga terungkap siapa pelakunya, sehingga mereia berdua terlihat bekerja sangat keras.
Daeng Cening menatap Jhony yang merupakan pemimpin dalam kasus tersebut. Tatapan sangat dalam, dan membuat hati siapa akan bergetar dalam ketidaktenangan.
"Ya, ada apa, Pak?" tanya Andi Enre dengan rasa penasaran.
Ia melihat jika keduanya memiliki maksud tertentu, dan ia tak suka jika Jhony terlalu lama menatap sang istri.
"Maaf, Pak. Saya mau tanya. Bapak malam tadi ada dimana?" tanya Jhony dengan penuh selidik.
"Saya baru pulang dari rumah ibu saya, memangnya ada apa, Pak?" tanya Andi Enre balik. Ia dapat melihat jika keduanya sangat begitu mencurigainya, terlihat dari raut wajahnya.
"Istri bapak ada dimana saat malam tadi?" Jhony kembali bertanya.
"Ada dirumah? Memangnya ada apa, Pak?" kali ini Andi Enre yang terlihat tak sabar.
"Apakah, bemar, Bu?" tanya Jhony menatap Daeng Cening. Ia mencoba melawan perasaan aneh yang bergejolak didalam hatinya.
"Ya, Saya ada dirumah, apakah ada yang dapat saya bantu?" tanya Daeng Cening balik.
"Maaf, Bu. Saya harus memeriksa rumah ibu, sebab kami menemukan signal terakhir dari ponsel milik saudar Takko yang titik aktif terakhir berada di rumah ibu pada pukul dua puluh waktu Indonesia timur," ucap Jhony dengan sangat hati-hati.
Sontak saja hal itu membuat Andi Enre menoleh ke arah sang istri. "Sayang? Kamu memasukkan pria asing ke dalam rumah saat aku sedang pergi?" tanyanya dengan rasa curiga. Sontak saja rasa cemburu membuatnya merasakan panas dihatinya.
Akan tetapi, bukan Daeng Cening namanya, jika ia tidak dapat membuat sang suami tunduk dan patuh padanya.
"Apakah lakkai tidak percaya pada istri sendiri?" tanya wanita itu dengan tatapan yang sangat dalam, dan dalam hitungan detik, meluluh lantakkan hati Enre yang tadinya ingin marah.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Rasa takut kehilangan sang istri membuat ia sangat lemah.
"Bapak boleh periksa rumah saya," Daeng Cening mempersilahkan dua orang Polisi itu masuk ke rumahnya.
"Terimakasih." keduanya masuk dengan diikuti oleh Daeng Cening dan juga Andi Enre.
Jhony dan Beny berjalan terlebih dahulu, dan keduanya memasuki rumah mewah milik pasangan suami istri yang dikenal oleh warga memiliki jiwa yang tertutup.
Wuuuuuusssh
Beny mengusap tengkuknya. Ia merada tak nyaman saat memasuki rumah tersebut, ada hawa negatif yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Maaf, Bu. Kami menemukan signal terakhir berada didalam kamar," ucap Beny dengan perasaan bergidik ngeri.
"Silahkan saja diperiksa, Pak. Saya tidak keberatan jika bapak memeriksanya. Daeng Cening berjalan menuju kamarnya.
Lagi-lagi Andi Enre tidak dapat menolak hal apapun yang mencurigakan.