Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 15~ Kelingan awakmu (Bahureksa)
Hari apa sekarang? Pantas saja. Kompleks bagian depan keraton cukup ramai, ia lihat ...ada beberapa bus pariwisata yang terparkir di pelataran. Itu artinya, beberapa sekolah atau instansi sedang melakukan tour sejarah dan kebudayaan di bagian kompleks depan.
Namun jelas ia bisa bersantai, sebab....hari ini bukan bagiannya menyapa pengunjung. Ada Wardana dan amih Mahiswar yang akan selalu sigap menyapa pengunjung dan menemani staff keraton menjadi guide para turis lokal plus mancanegara disana.
Sudah sejak lama, pemerintahan kota beralih dari kesultanan pada sistem negara. Dan tugas mereka kini beralih sebagai jembatan antara budaya, adat, masyarakat dan pemerintahan. Serta menjaga dan memelihara adat dan kebudayaan setempat.
Seperti sekarang, beberapa posisi di kementrian, dinas pariwisata dan kebudayaan diduduki oleh sebagian besar keturunan disini. Ayahanda bahkan mengisi salah satu posisi penting di pemerintahan daerah setempat selain daripada bisnis yang menjamur dan membentuk kerajaan bisnis.
Amar menghela nafasnya, keluar dari mobil yang telah ia parkiran dan masuk ke kaputren dimana kamarnya berada.
Kedatangannya bersamaan dengan datangnya Bahureksa dari sentra batik. Memang tak dipungkiri kharisma lelaki yang baru menyandang gelar sarjana itu persis bapak-bapak baru balik dari kondangan, begitu kata Amar saat melihatnya dalam balutan busana batik lengan panjang.
Datang bersama seorang asisten, ia meluruhkan rasa lelahnya di kursi.
"Saya tinggal den bagus." ujar kang Ridwan meninggalkan atasannya itu, demi rasa lelah yang mendera.
Ibunda tersenyum melihat Reksa, "bagaimana, sudah menentukan tanggal untuk launching motif terbaru?" ia duduk, meminta ambu mengambilkan air minum untuk sang putra.
"Masih ada sedikit kendala bunda. Saya kira...belum memenuhi ekspektasi. Tapi secepatnya...saya usahakan secepatnya, kita adakan pagelaran batik bersamaan dengan hari jadi provinsi nanti."
Ibunda mengangguk, sementara Bahureksa memejamkan matanya lalu memberikan beberapa corak desain pada ibunda.
"Hemmm, jadi yang akan launching 10 corak baru termasuk gabungan mega mendung?"
Reksa mengangguk menerima segelas air mineral dan kopi.
"Untuk sentra oleh-oleh dan produk lain, biar Amar saja yang handle...kamu terlalu lelah untuk bertemu dengan den ajeng Anjarwati...kemarin bunda bertemu dengannya, mengeluhkan kesibukanmu. Sudah jarang bertemu?"
Reksa menghela nafasnya, "dia cerewet untuk ukuran seorang dokter."
Bunda tertawa kecil, "bukankah dokter memang cerewet? Terlebih dia wanita..." senyum bunda itu, lembut namun penuh arti terutama mematikan, ia mengusap bahu sang putra pertama, "perempuan memang harus cerewet, a...biar nantinya bisa mengarahkan, bisa memberitahu jika lelakinya salah. Jadi penyemangat saat lelakinya sudah mulai lelah."
"Bunda sudah atur pertemuan kalian. Besok...kebetulan Anjarwati bisa ambil ijin di jam makan siang. Ingat, dia dokter...sibuk juga. Jangan mempermainkannya." Wanti-wanti ibunda sambil melengos. Reksa menghela nafasnya. Bunda tak paham....ia merasa jika Anjarwati tak cocok untuknya, wanita itu memang masuk kriteria menantu idaman, tidak ada yang kurang darinya.
Ia vokal, ia mandiri, ia terlahir dari keluarga yang terjamin bibit, bebet, bobotnya, ia juga cantik dan berpendidikan. Tapi karena semua alasan itulah....sikap mendominasinya membuat Reksa tak bisa menjadi---lelaki seutuhnya. Terlebih ia tipe lelaki yang tak mau dibantah dan tak mau diatur.
Sejenak ia teringat dengan Sekar. Gadis cantik nan lugu yang penurut itu, ada senyuman dan kekehan kecil mengingat wajahnya.
"Dimana alamat sanggarmu, nyai?"
Reksa mengetuk-ngetuk keningnya, sial sekali...kenapa ia harus lupa!
Amar melintas disana, dan Reksa sadar itu, "Mar!"
Amar menoleh sejenak, "kamu masih ingat alamat sanggar nyai....siapa namanya, pengisi acara ronggeng di pabrik waktu lalu?"
Firasatnya mengatakan jika kakangnya itu akan mencari Sekar, oh tidak! Amar menggeleng, "aku sudah lupa."
"Ah sial! Ku kira kau mengingat-ingat sebab gadis ronggeng cantik itu..."
Amar mendengus sumbang, "jadi benar kan, tindakanmu mempermainkannya adalah untuk membuatku marah? Mengaku juga ..." Geleng Amar. Dan ia berhasil. Reksa tertawa dengan nada yang mencibir, "kau selalu marah saat melihat sesuatu yang menentang hati nurani, benar kan? Atau kau benar-benar menyukai gadis ronggeng itu?" Kini ia sudah beranjak dari duduknya, badan kekar Reksa di balik kemeja batik itu layaknya Hanoman yang mempertunjukan daerah kekuasaan.
Alih-alih gentar, Amar menegakan badannya bersama gaya ciri khas yang tak tertinggal darinya, memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, "lalu sekarang apa, kau bertanya dimana alamat sanggarnya, apa kau sedang berusaha mencarinya, karena tidak mungkin kau mau repot-repot mengurusi urusan pengisi acara seren taun nanti?"
Sial! Reksa mencebik.
"Kalau aku bilang..." Amar menatap Reksa dengan senyum tersungging miring, penuh kemisteriusan...
"Kau mau bilang apa?" tanya Reksa tak sabar.
"Aku memang menyukainya." Lanjut Amar tengil, membuat rahang kakangnya itu mengeras.
Amar terkekeh puas melihat reaksi Reksa, ia meninggalkan kakangnya itu ke arah dimana Wardani tengah bermain Nintendo, "Mario bros, Dan!"
"Bunda menyuruhmu mengurus pabrik, Amarrr! Dan aku perintahkan itu!"
Tapi Amar tak mendengarnya, atau pura pura tak mendengar.
"Assalamualaikum...mak, Sekar ada?" ia melongokan kepalanya dari pintu belakang dimana langsung tersuguh tungku berbahan kayu bakar dan mak sedang memasak.
"Imas, masuk...Sekar di dalam."
*Jrejeess*...mak memasukan sayuran ke dalam wajan yang telah menumis bawang.
Imas mengangguk dan segera naik ke atas dipan area dapur menanggalkan sandal jepitnya melewati ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu, tidak---tidak, tepatnya tak ada ruangan lain.
Imas sangat hafal jika kamar Sekar di paling depan dari dua kamar itu. Bukan hanya Sekar sendiri, namun ia bersama Widuri dan Laksmi sementara Jayadi. Dia yang paling melas, di tengah rumah sendirian, atau terkadang jika dingin menggigit, maka ketiga saudara perempuannya ini akan berbaik hati membiarkannya tidur di kamar.
"Kar..." tanpa harus mengetuk, gawang pintu kamar Sekar hanya terhalang oleh gorden saja saat ini.
"Imas?" betul tebakan Imas, di sela libur latihan yang diberikan amih Mayang, Sekar memilih mengisi waktunya untuk membaca buku yang dibelinya kemarin.
"Kar..." ia masuk dan duduk di tepian ranjang, *ddrttt*....bunyi deritnya saat Imas duduk disana.
Lantas Imas menunjukan isian tas selempang yang ia bawa sambil mesam mesem.
"Kenapa? itu uang..."
"Antar aku pasang susuk."
Bahkan hari masih cerah begini, tapi ucapan Imas sudah membuatnya merasa merinding, "seriusan kamu, Mas...pikirkan kembali." Bisik Sekar mewanti-wanti.
Imas mengangguk, "serius. Tekadku sudah bulat."
"Mas..."
"Ayolah, Kar...kali ini hanya mengantar saja, kalau kamu memang tak mau ikut pasang." Matanya itu, raut wajahnya itu...Sekar benci jika Imas sudah begini. *Lucu juga engga*!
"Ya udah, aku antar."
Imas sudah bereuforia, dengan yes...yes...yes!
"Kapan?"
"Nanti malam, mumpung hari ini libur latihan di sanggar. Besok kan sudah kembali latihan."
Alisnya naik, mata Sekar membeliak, "malam ini?!"
Imas mengangguk cepat, niat sekali...."sebentar, aku alasan apa sama mak. Kalau aku pulang malam. Tidak bisa siang ya, kenapa harus malam-malam?" cecar Sekar membuat Imas berdecak, "yang benar saja, Kar. Lelembutnya masih takut matahari."
Sekar mencebik, "nah itu tau. Lelembutnya takut matahari, berarti susuknya ngga akan ngefek kalo kamu ngibing siang-siang nantinya." Alasan Sekar masih mencoba menggagalkan niatan Imas.
"Ck. Tempatnya dekat....bilang saja sama mak, aku ajak kau nonton bioskop."
Sekar berdecak, mencoba berpikir, apakah mak akan mengijinkan?
"Atau, malam ini kan ada acara ngibing sanggar amih, bilang saja kita ikut nonton sebentar, atas ajakan amih Mayang? Pasti mak mu akan mengijinkan jika bersama amih Mayang." Serunya selalu memiliki ide cemerlang.
Sekar menelan salivanya sulit, "oke. Aku coba, dan kau bantu."
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏