NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 11

Arlen tidak mengambil jaket itu.

Bukan karena tidak mau.

Tapi karena kalau dia sentuh, dia takut pertahanannya runtuh.

Najla menunggunya.

Tidak memaksa. Tidak memohon. Hanya hadir.

Kadang, itu yang paling menakutkan bagi orang yang terbiasa ditinggal.

Akhirnya, ujung jari Arlen menyentuh jaket itu.

Sekilas. Hanya cukup untuk membuat jantungnya melakukan hal yang jarang ia akui: tersentak.

“Masuk. Angin pagi jahat,” katanya.

Najla mengangguk kecil, lalu berjalan duluan.

Untuk pertama kalinya… Arlen biarkan seseorang berjalan di depannya, bukan di belakangnya.

 

## **Tapi dunia tidak memberi mereka waktu sembuh.**

Saat Najla menutup pintu, Arlen melihat sesuatu—

jejak yang tidak ada semalam.

Di lantai teras.

Bukan lumpur, bukan air hujan.

**Abu. Tipis, gelap, seperti sisa kertas yang dibakar.**

Arlen menunduk. Mengusapkan dua jarinya.

Teksturnya lembut… terlalu lembut untuk abu kayu.

Ia sudah hafal bau itu.

**Abu dokumen kontrak.**

Biasanya dibakar setelah seseorang *ditandai*.

“Selion,” panggilnya pelan.

kaelan muncul dari sisi rumah, mata langsung turun ke abu itu.

Ekspresinya tak perlu diterjemahkan.

“Lo juga mikir yang sama,” kata Arlen.

“Ya,” jawab kaelan , suaranya rendah. “Mereka bukan bakal datang lagi. Mereka sudah datang.”

 

## **Di dapur, Najla sedang menuang air.**

Tanpa ia sadari, di balik kaca buram jendela, ada pantulan kecil yang asing.

Titik… sangat kecil.

Nyaris seperti pantulan cahaya pagi.

Tapi Arlen melihatnya.

Karena jenis cahaya itu hanya muncul dari satu benda:

**Lensa teleskopik.**

Jantung Arlen tidak berdetak lebih cepat.

Justru… melambat.

Karena saat manusia berhenti panik, itulah saat pemburu mulai bekerja.

 

## **“Naj.”**

Suaranya tetap datar.

Najla menoleh.

“Hmm?”

Arlen berjalan mendekat, mengambil gelas air dari tangannya, lalu meletakkannya kembali tanpa minum.

“Geser ke kiri dua langkah,” katanya.

Najla mengedik bingung, tapi menurut.

Begitu dia bergeser—

**TINK!**

Sesuatu menembus dinding di belakangnya.

Bukan dengan ledakan.

Tapi suara tipis, tajam.

Peluru supersonik.

Tanpa panik, kaelan langsung mematikan semua tirai otomatis.

Ruangan gelap dalam satu detik.

Najla menelan ludah, tapi suaranya stabil:

“Dia nembak aku?”

“Dia nembak *celah* buat gue lengah,” jawab Arlen.

“Dia gagal.”

 

## **Di gedung seberang**

Penembak itu mengutuk kecil.

Sebelum ia bisa mengatur ulang posisi—

**Arlen sudah ada di atap bangunan itu.**

Tidak ada suara pintu.

Tidak ada jejak langkah.

Seolah dia bukan bergerak… tapi *muncul*.

Penembak hanya sempat menoleh.

“—Gah?!”

Arlen menangkap wajahnya dengan satu tangan, lalu membantingnya ke lantai beton.

Tidak perlu tanya-jawab.

Bukan interogasi.

Ini *pengumuman*.

“Lo dibayar berapa buat incar anak itu?” tanya Arlen.

Laki-laki itu menyeringai berdarah.

“Cukup buat pastiin… lo bakal kehilangan lagi.”

DUAK.

Tidak perlu pukulan kedua.

Kalimatnya sudah cukup membuat dunia Arlen memerah.

Ia bangkit, menatap kota yang mulai ramai pagi itu.

Orang-orang berangkat kerja.

Anak sekolah menenteng tas.

Dunia terlihat biasa.

Mereka tidak tahu, di atap gedung, ada seseorang yang baru saja memutuskan sesuatu yang besar:

**Kalau dunia mau menjadikan Najla target…

Arlen akan menjadikan dunia medan perang.**

 

## **Kembali ke rumah**

Najla duduk diam di sofa.

kaelan berdiri di dekat jendela, tangan di saku.

Begitu Arlen masuk, Najla langsung bangkit.

Tatapan mereka bertemu lagi.

Tapi kali ini berbeda.

Tidak ada canggung.

Tidak ada dinding.

Hanya dua orang yang sama-sama mulai menerima:

bahwa badai ini tidak bisa dihindari…

hanya bisa dihadapi.

Najla berbicara duluan.

“Aku gak mau lari lagi.”

Arlen menjawab tanpa marah, tanpa dingin.

“Gue juga udah capek lari.”

Keheningan pendek.

Lalu kaelan menyeringai miring,

“Syukurlah. Karena lari pun udah bukan pilihan.”

Malam kembali turun tanpa suara.

Setelah percobaan tembak itu, rumah tidak jadi lebih ribut—justru lebih hening.

Hening yang bersenjata.

Najla duduk di meja makan, menatap layar ponsel yang bahkan tidak ia baca.

kaelan bersandar di dinding, membersihkan kuku dengan pisau kecil.

Arlen berdiri di depan jendela, seperti bayangan yang belajar jadi manusia.

Tidak ada pembicaraan besar.

Orang yang siap perang… jarang bicara lebih dulu.

Sampai Najla memecah sunyi.

“Orang yang kakak gagal lindungi dulu… siapa dia?”

Tiga detik tidak ada jawaban.

Empat.

Lima.

Lalu—

*klik.*

Pisau lipat kaelan terkunci.

Arlen menunduk sedikit, bukan untuk menghindar, tapi karena **pertanyaan itu menembus terlalu dalam, terlalu cepat.**

“Lo gak perlu tahu,” katanya.

Najla menggeleng.

“Nggak. Aku *perlu* tahu. Karena orang itu… alasan kenapa kakak hampir dorong aku pergi, kan?”

kaelan memberinya tatapan yang mengatakan, *Jangan gali lubang itu, Naj.*

Tapi Najla sudah berdiri di tepinya.

Arlen tidak marah.

Yang keluar justru pengakuan yang dingin dan pahit.

“…Namanya Alaric.”

Nama itu jatuh ke ruangan seperti benda berat dari gedung tinggi.

Najla mengulang pelan, “Alaric.”

Arlen melanjutkan, suara rendah, datar, seperti membaca laporan kematian sendiri:

“temen gue. Lebih muda setahun dari gue. Pinter, gak bisa diem, mulutnya gede, jantungnya lebih gede. Persis lo, Naj.”

Najla terdiam.

kaelan memejam sebentar.

Bahkan dia—yang sedingin baja—tidak nyaman tiap nama itu diucapkan.

“Operasi pertama kami bareng,” lanjut Arlen.

“Misi kecil. Eksekusi bersih. Seharusnya gak ada yang mati.”

Sunyi mengambil alih sampai jeda terasa seperti kalimat.

“Tapi dia ragu sedetik. Gue geser dia biar gak kebelah peluru… dan gue lengah sama sudut gue sendiri.”

Najla menahan napas.

“Yang kena bukan dia,” kata Arlen, “tapi orang yang gue kira aman di belakang gue.”

Najla menatap, dan perlahan mulai mengerti.

“Siapa?” tanyanya nyaris berbisik.

Untuk pertama kali malam itu, suara Arlen berubah.

Hampir retak. Hampir.

“…ibu...”

kaelan memalingkan muka.

Najla membeku.

“Ibu meninggal bukan karena musuh,” ucap Arlen, “tapi karena gue *percaya* gue bisa jagain semua orang sekaligus.”

Setiap hurufnya seperti silet.

“Sejak itu,” lanjutnya, “gue gak pernah biarin siapa pun berdiri di radius 10 meter belakang gue. Termasuk lo.”

Najla menelan sesuatu yang berat di tenggorokan.

“Tapi aku bukan ibu,” katanya pelan.

“Iya,” jawab Arlen. “Lo adalah orang berikutnya yang bisa mati karena gue peduli.”

 

### Sunyi jatuh lebih tebal dari gelap.

Tapi Najla… tidak mundur.

Ia melangkah ke depan, mendekati Arlen sampai jarak di antara mereka bukan lagi ruang, tapi kejujuran.

“Kak,” katanya tanpa getar, “kamu gagal bukan karena sayang ke mereka. Kamu gagal karena kamu sendirian waktu itu.”

Arlen mengangkat mata.

Najla lanjut.

“Kalau sekarang kamu tetap coba sendirian lagi… kamu bukan melindungi. Kamu **ngulang hukuman yang sama**.”

Itu bukan bantahan.

Itu vonis.

Arlen tidak marah.

Ia… tersadar.

Kalimat itu menusuk karena *benar*.

 

### Dan di saat retakan itu terbuka…

Terdengar ketukan di pintu depan.

Bukan gedoran.

Bukan tergesa.

Tiga ketukan. Tenang. Terlatih.

*Tok. Tok. Tok.*

Kaelan langsung dalam mode waspada.

Arlen meletakkan tangan di dekat pinggang—bukan panik, hanya siap.

Najla menoleh, jantung tidak lari, tapi sadar.

Ketukan itu bukan ancaman keras…

tapi ancaman yang **percaya diri**.

Arlen berjalan ke pintu.

Tidak mengintip. Tidak bertanya.

Ia buka.

Di luar, berdiri seseorang dengan mantel panjang hitam, kerah tinggi, wajah separuh tertutup scarf abu-abu, dan mata yang seperti sudah melihat kematian berkali-kali tapi belum pernah terkejut olehnya.

Tangannya tidak memegang senjata.

Tapi auranya… cukup tajam untuk terasa seperti bilah.

Ia berkata, dengan suara rendah seperti asap rokok:

“Gue bukan datang buat bunuh kalian.”

Lalu jeda setengah detik yang membuat ruangan lebih tegang dari perang terbuka.

“Gue datang karena orang yang mau bunuh kalian… juga orang yang bunuh keluarga gue.”

 

Kalimat itu menggantung.

Bukti bahwa perang ini lebih besar dari rumah ini.

Lebih besar dari nama Arlen.

Lebih lama dari luka yang sudah mengeras.

Karena masa lalu belum selesai memburu mereka.

Ia baru saja… mengetuk pintu.

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!