Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meraih Kepercayaan Si Kembar
Julian sempat tertegun, pandangannya tak lepas dari kotak putih dengan lambang merah yang berada di genggaman Nateya. Matanya menyipit, penuh rasa ingin tahu bercampur curiga.
Kotak itu bukan benda yang biasa ia lihat di rumah. Tidak di ruang obat, tidak pula di gudang penyimpanan.
Ketika pikirannya diliputi tanya, tangan mungil Anelis tiba-tiba menarik lengan kakaknya. Bocah laki-laki itu menoleh cepat, sedikit terkejut.
“Ada apa, Anelis?” tanyanya, suaranya masih ketus, tapi sarat kasih sayang.
Anelis tidak menjawab dengan kata-kata. Bibirnya yang bisu hanya bergerak tanpa suara, lalu jemarinya menunjuk ke arah lutut dan betis yang tergores.
Air mukanya meringis, mata bulatnya berkaca-kaca menahan perih. Dengan bahasa isyarat yang ia kuasai, Anelis memberi tahu kakaknya bahwa luka itu benar-benar perih dan harus segera diobati.
Lalu, dengan gerakan ragu, Anelis mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Nateya yang menatapnya penuh harap. Jemari mungilnya membuat tanda sederhana: percaya.
Julian membeku. Hatinya bergejolak. Ia terbiasa melindungi adiknya dari Seruni. Dari amarah, bentakan, dan perlakuan kasar yang mereka terima sejak kecil. Namun kali ini, Anelis, adik yang paling ia cintai, justru menyatakan keyakinan pada ibu yang selalu mereka hindari.
Julian menelan ludah, wajahnya diliputi kebimbangan. Akhirnya ia mendesah, suaranya dingin, penuh keterpaksaan.
“Baiklah. Aku akan memberi waktu bagi Nyonya untuk mengobati adikku. Tapi ingat, aku akan tetap di sini. Aku tidak akan pergi.”
Wajah Nateya sontak bercahaya. Seulas senyum tulus menghiasi bibirnya, menghapus sekilas kelelahan yang ia rasakan.
“Kalau begitu duduklah di sana,” ujarnya lembut sambil menunjuk kursi kayu di sisi kamar. “Biarkan aku mengobati Anelis tanpa gangguan.”
Julian masih menatap curiga, tetapi ia menuruti. Bocah itu melangkah perlahan ke kursi kayu, lalu duduk dengan postur kaku, bak prajurit kecil yang tengah berjaga.
Sementara itu, Nateya menggandeng tangan Anelis. Dengan penuh kelembutan, ia membimbing gadis kecil itu kembali duduk di tepi ranjang.
Setelah memastikan posisi nyaman, Nateya pun ikut duduk di sampingnya. Ia membuka kotak P3K modern dengan hati-hati. Di dalamnya tertata rapi perban steril, kasa, cairan antiseptik, plester berbagai ukuran, dan salep penyembuh luka.
Dengan gerakan tenang dan terlatih, Nateya meraih kapas steril lalu menuangkan antiseptik. Tangannya bekerja cekatan, seolah tak peduli tubuh Seruni yang besar dan canggung. Sentuhan itu bukan milik seorang wanita kejam, melainkan seorang dokter yang terbiasa menyelamatkan banyak nyawa.
“Sedikit perih ya, Sayang. Tapi hanya sebentar,” ucapnya, menatap Anelis penuh kelembutan.
Anelis meringis saat kapas menyentuh lukanya. Jemarinya mencengkeram sprei erat, matanya terpejam menahan rasa pedih.
Refleks, Julian berdiri dari kursinya, hendak menghampiri.
“Nyonya! Kau menyakitinya!” serunya panik.
Namun Nateya segera menoleh. “Tenang saja, Julian. Ini hanya sebentar. Luka akan bersih, dan adikmu tidak akan kesakitan lagi setelah ini.”
Nada penuh keyakinan itu membuat Julian terdiam di tempat, meski wajahnya masih gelisah. Ia menggenggam ujung kursi kayu dengan keras, seakan berusaha menyalurkan kekhawatirannya.
Sementara itu, Nateya melanjutkan pekerjaannya. Setelah luka bersih, ia mengoleskan salep tipis, lalu menutupinya dengan perban steril yang ia lilitkan dengan hati-hati. Tidak terlalu kencang agar tidak mengganggu peredaran darah. Semua dilakukan dengan keahlian seorang tenaga medis berpengalaman. Tak sampai beberapa menit luka kecil itu sudah terbalut sempurna.
“Sudah selesai. Apakah masih sakit, Sayang?” tanya Nateya sembari menutup kotak obat.
Anelis menatap ibunya, lalu menggeleng perlahan. Wajahnya yang pucat kini dihiasi senyum kecil.
Merasa gemas, Nateya meraih pipi mungil itu dan menepuknya pelan.
“Anak baik… pasti kamu akan cepat sembuh.”
Air mata haru menyesaki pelupuk mata Nateya ketika tiba-tiba Anelis meraih tangannya. Jemari mungil itu menggenggam erat, lalu tersenyum tulus, seolah ingin berkata terima kasih.
Dada Nateya terasa hangat. Perasaan bahagia yang lama hilang kini menyelinap kembali. Untuk pertama kalinya, ia merasakan ikatan sejati dengan anak perempuannya, meski jiwa yang bersemayam dalam tubuh Seruni bukanlah jiwa asli sang ibu.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sesaat. Julian segera melangkah maju. Dengan cepat, ia meraih tangan Anelis.
“Sudah cukup, Ane. Kita pergi dari sini,” katanya ketus sambil menarik adiknya.
Anelis sempat menoleh ke arah Nateya, ragu-ragu, tapi Julian menariknya lebih erat.
Di saat bersamaan, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari koridor. Bi Warti muncul dengan wajah pucat dan keringat menetes di pelipisnya.
“Gawat, Nyonya… gawat sekali…” ucapnya terengah, matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
“Apa maksudmu, Bi? Gawat apa?” tanya Nateya heran.
Bi Warti menelan ludah, lalu mendekat. “Di depan ada Nyonya Eleanor, istri Jenderal Bastian. Dia sedang marah-marah, Nyonya. Katanya mau bertemu langsung dengan Nyonya.”
Jantung Nateya langsung berdegup lebih cepat.
"Eleanor? Istri Jenderal Bastian?!” Ia mengulang dengan mata terbelalak, seperti tak percaya.
Bi Warti menghela napas gemetar. “Nyonya Eleanor sedang ditahan Victor di depan. Dia ingin meminta pertanggungjawaban dari Nyonya, sebagai orang tua Sinyo Julian.”
Hening sejenak. Kata-kata itu seakan menghantam Nateya begitu keras, membuat tubuhnya sedikit goyah.
Anelis yang berada di sisi Julian ikut menahan napas, merasa hawa tegang menyelimuti ruangan.
“Apa?!” Nateya akhirnya bersuara, suaranya bergetar. “Meminta pertanggungjawaban… dariku? Atas dasar apa?”
Bi Warti menunduk, wajahnya penuh kebingungan.
"Saya juga tidak tahu pasti, Nyonya. Tapi dari caranya bicara, Nyonya Eleanor sepertinya sangat murka."
Ruangan itu seketika dipenuhi aura mencekam. Nateya menarik napas panjang, lalu menatap Julian dan Anelis bergantian.
“Kalian berdua masuk kamar. Biar Mama yang menyelesaikan masalah ini.”