NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Nikahmuda / Sistem / Nikah Kontrak
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Citra dan Cinta

Sudah empat hari berlalu sejak 'Gala Dinner'. Media masih ramai membahas kemunculan perdana Dinda sebagai istri Rendra. Beberapa portal gosip memuji penampilan elegannya, beberapa yang lain mempertanyakan motif di balik pernikahan mereka. Tapi satu hal yang pasti, engagement naik drastis.

Grafik analitik digital Mandhala melonjak, nama Rendra trending lagi, kali ini bukan karena rumor skandal seks, tapi karena "romansa manis yang menyentuh publik". Branding mereka berhasil.

Pagi itu, ruang rapat lantai 22 sudah dijejali tiga orang tim PR Mandhala dan dua orang tim PR khusus dari istana. Rendra bahkan tidak tahu sekretarisnya sudah mengosongkan jadwalnya untuk rapat sialan itu. Begitu mendengarnya, ia nyaris melempar map ke meja dan memaki Mila.

Kepalanya masih berat oleh tetek bengek proyek Dubai, dan kini ia dipaksa duduk menghadapi drama pencitraan. Yang ia butuhkan hanya kopi, rokok dan setengah jam istirahat, bukan segerombolan orang cerewet yang ingin mengatur wajah Mandhala.

"Engagement publik naik tajam setelah Gala Dinner. Bu Dinda jadi pembicaraan," kata Nadine antusias. Ia menyodorkan tablet berisi grafik dan data media monitoring.

Rendra bersandar di kursinya, satu tangan memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Ia membaca angka-angka itu.

"Netizen suka kontrasnya. Pak Rendra yang dingin, Bu Dinda yang hangat. Itu menarik buat pasar Gen Z dan swing voters." timpal Ferry, tim dari istana.

"Jadi mau ngapain sekarang?" tanya Rendra enggan.

"Bikin konten organik. Sekali seminggu aja. Bisa dinner bareng, kegiatan rumah tangga, atau momen-momen kecil. Nanti kami yang bungkus biar kesannya natural." ia menjawab yakin.

Rendra mengernyit, "Itu berlebihan. Malam gala kemarin udah cukup untuk memperkenalkan Dinda ke publik. Kalian mau saya manfaatin dia?" Kalimat itu keluar begitu saja. Sungguh ironis. Bukankah sejak awal memang itu yang ia lakukan? Memanfaatkan Dinda.

"Bukan manfaatin. Bapak optimalkan peran Bu Dinda." jawab Nadine cepat, nyaris tanpa jeda, seperti sudah hafal penolakan Rendra.

"Betul. Sayang kalau momennya nggak dimanfaatkan. Ide konten itu bagus. Kalau perlu, kita bantu atur narasi dan media exposure-nya." Timpal Ferry.

Rendra bersandar di kursinya. Diam, tapi geram. Sorot matanya menusuk, sementara rahangnya mengeras seolah menahan sumpah serapah. Ia sudah bisa menebak ke mana semua ini akan berakhir. Eksploitasi citra istrinya demi kepentingan politik ayahnya dan stabilitas dirinya sendiri di Mandhala.

"Saya ngerti strateginya. Tapi Dinda bukan komoditas." ucap Rendra akhirnya. Suaranya datar, tanpa intonasi defensif, tapi cukup membuat ruangan hening.

Marisa, orang PR istana lainnya menanggapi dengan tenang, "Publik melihat Bu Dinda sebagai figur baru yang bersih dan hangat. Sosok yang potensial untuk meredam semua noise. Kita semua tahu menjelang kampanye ini, Pak Brata butuh stabilitas citra keluarga, begitu pula Pak Rendra butuh memperbaiki reputasi."

Rendra tidak menjawab. Ia hanya mendengus pelan, kemudian memalingkan wajah. Ia tau, posisinya di Mandhala masih belum aman. Skandal panas dengan Namira telah mencoreng reputasinya, dan hingga kini ia masih menanggung tekanan dari publik serta pemegang kepentingan yang menuntut pemulihan citra perusahaan.

Saham mayoritas memang akan jatuh ke tangannya, tapi belum sekarang. Ia harus bertahan cukup lama untuk mengamankan semuanya. Namun di tengah ambisinya mempertahankan kekuasaan, ada satu hal yang mengganjal. Ia tidak ingin terus memanfaatkan Dinda. Perempuan itu, entah sejak kapan, membuatnya ingin berhenti bermain peran.

...***...

Rendra membanting pintu mobil agak keras ketika sampai di Velmore. Bukan karena marah, tapi karena otaknya penuh suara gaduh. Suara para komisaris, suara tim PR, suara ayahnya di telepon. Semuanya berisik, menuntut, mendesak.

Langkahnya berat menuju kamar, tapi berhenti di ambang dapur. Dinda sedang membelakanginya, entah sedang menyusun apa di dalam kulkas. Memakai piyama tidur dan rambut diikat seadanya. Tanpa sadar, gadis itu terlihat seperti rumah. Tenang, nyaman, dan membuat Rendra semakin merasa seperti bajingan.

"Kamu lembur lagi ya?" tanya Dinda tanpa menoleh.

Napasnya berat, "Mm.." ia mengangguk.

Pria itu mendekat, memeluk Dinda dari belakang. Tangannya mengunci di perut istrinya, wajahnya tenggelam di lekuk lehernya. Hangat. Lembut. Dan Rendra benci karena itu membuatnya ingin lari sekaligus tinggal.

"Aku capek." bisiknya. Suaranya nyaris patah.

Dinda menutup pintu kulkas dan berbalik, menatap suaminya dengan alis terangkat. Ini bukan kebiasaan Rendra menunjukkan kelemahan. Mata pria itu yang biasa tajam kini tampak sayu. Napasnya dangkal seolah sedang menahan sesuatu yang tak sanggup diucapkan.

Tapi sebelum ia sempat bertanya, Rendra mencium bibirnya. Dalam. Tergesa. Terlalu lama ditahan. Ia langsung menggendong Dinda ke kamar tanpa banyak bicara.

Malam itu bukan tentang hasrat, tapi pelarian. Tentang rasa bersalah yang coba ia ubah menjadi bukti cinta. Tangannya gemetar, tapi genggamannya erat. Dan di sela setiap ciuman, Rendra hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Dinda tidak sadar, kalau malam ini, ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia masih layak dicintai.

Rendra menjatuhkan dirinya ke atas ranjang bersama tubuh Dinda. Ia menciumi wajah, leher, dan bahu perempuan itu dengan terburu-buru, seolah waktu sedang menghajarnya. Tangannya cekatan, tapi bukan dengan agresi seperti biasa. Kali ini ada rasa mendesak yang lebih sunyi. Lebih menyakitkan.

Dinda menarik napas pelan, membaca kekacauan dalam setiap gerakan pria itu. Tapi ia diam. Menerima. Membalas dengan belaian lembut di punggung Rendra, membiarkannya memeluk sekuat tenaga seperti orang tenggelam yang butuh pelampung.

Pakaian mereka lenyap di tengah keheningan. Di atas tubuh Dinda, Rendra bergerak dengan intensitas ganjil. Bukan hanya menginginkan, tapi juga seperti sedang meminta maaf tanpa kata. Setiap ciumannya dalam dan panjang. Seperti sedang menyimpan kenangan, bukan sekedar mencari kenikmatan.

Tubuh mereka menyatu, panas dan kacau. Rendra mengatupkan mata saat mencapai puncak, menggigit bibir bawahnya sendiri untuk tidak mengeluarkan suara.

Tapi yang tak terbendung justru kalimat yang meluncur tanpa rencana karena sudah tidak bisa ditahannya lagi, "Aku sayang kamu.." ucapnya lirih.

Sunyi. Nafas mereka adalah satu-satunya suara. Dinda membelai kepala Rendra yang terbenam di lekuk lehernya. Ia tidak menjawab. Hanya

membelai dengan lembut. Seperti sedang menenangkan binatang buas yang terluka parah, tapi terlalu angkuh untuk minta tolong.

Tubuh mereka masih saling menempel saat Dinda mendorong mundur wajah Rendra agar mau menatapnya. Ia tahu pria itu sedang tidak baik-baik saja. Tapi Rendra terlalu keras kepala untuk mengakui. Satu-satunya caranya bicara adalah lewat tubuhnya. Hubungan seksual.

Mata mereka bertemu. Rendra kelihatan cemas. Seperti menyesal sudah mengatakan sesuatu yang terlalu jujur. Tapi sebelum ia bisa menarik diri, Dinda memeluknya erat, seerat yang ia bisa.

"Aku juga sayang kamu." bisiknya lembut di telinga pria itu.

Rendra menghembuskan napas keras. Seolah kalimat itu baru saja menyeret dia kembali ke permukaan dari pusaran rasa bersalah dan kekacauan yang nyaris menenggelamkannya.

Ia mengecup kening Dinda. Lama. Dan untuk pertama kalinya pada malam itu, ia membiarkan dirinya tenang. Tidak lagi mencoba menebus. Tidak lagi mencoba melarikan diri. Hanya diam, tenggelam dalam pelukan orang yang, entah sejak kapan, sudah menjadi rumahnya.

...***...

Rendra terbangun lebih awal dari biasanya. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 03:56. Terlalu pagi bahkan untuk rutinitas olahraganya. Tapi ia tidak bisa tidur lagi. Pikirannya melayang pada kejadian tadi malam.

'Did I really confess my feelings last night?'

Ia menoleh pada Dinda yang masih tertidur di sampingnya, posisi menggulung seperti udang, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah. Tubuhnya hanya tertutup selimut. Bahunya telanjang memperlihatkan kulit putih yang tertinggal memar samar, bekas ciumannya semalam.

Seharusnya sekarang ia bangun lalu pergi. Mandi, olahraga, telepon konferensi dengan tim Singapura, kemudian golf dengan client. Itu yang seharusnya ia lakukan hari ini.

Tapi tangannya malah menggapai helai rambut dari wajah Dinda dengan gerakan yang aneh... terlalu lembut. Dinda mengerang pelan dalam tidur, lalu bergeser lebih dekat. Tangannya yang kecil meraih ibu jari Rendra, menggenggamnya erat seperti anak kecil yang takut ditinggal.

Sesuatu di dada pria itu terasa aneh. Sesak tapi tidak sakit. Hangat tapi mencekam. Ia menarik napas pelan, mencoba mengidentifikasi sensasi asing ini. Dalam tiga puluh lima tahun hidupnya, ia sudah terbiasa dengan berbagai emosi. Marah, frustrasi, ambisi, bahkan kepuasan seksual. Tapi ini berbeda.

"Get a grip, dude." Bisiknya pelan pada diri sendiri.

Rendra akhirnya bangkit dari tempat tidur dengan gerakan sangat hati-hati supaya tidak membangunkan Dinda. Ia berjalan ke kamar mandi, menutup pintu, lalu berdiri di hadapan cermin lebar.

Wajahnya terlihat normal. Sama seperti biasa. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuatnya tidak nyaman. Ia putar keran wastafel, air mengalir deras. Tangannya gemetar saat mengambil air dan membasuh wajahnya berulang kali. Dingin. Ia butuh dingin untuk menetralisir kepanasan aneh di dadanya. Tapi semakin ia coba menekan perasaan itu, semakin jelas ia menyadari kebenarannya.

Ia seharusnya tidak peduli apakah Dinda tidur nyenyak atau tidak. Ia seharusnya tidak mengingat bahwa Dinda pernah bilang dia suka makan pancake dengan madu, bukan maple syrup. Ia seharusnya tidak merasakan dorongan kuat untuk membatalkan meeting pagi dan golf hari ini hanya untuk bisa sarapan dan menghabiskan waktu lebih lama dengannya.

Dan yang paling mengerikan, ia seharusnya tidak merasa hampa setiap kali membayangkan dua tahun ke depan saat kontrak berakhir dan Dinda pergi.

"Fuck. Fuck. FUCK!" Ia pukul wastafel marmer dengan kepalan tangan. Sekali. Dua kali. Rasa sakit fisik menyebar, tapi tidak cukup untuk mengalihkan kekacauan di kepalanya.

Napasnya mulai pendek. Dada sesak. Tangan gemetar. Ini bukan serangan jantung, ia tahu itu. Tapi rasanya seperti seluruh sistemnya sedang bertabrakan.

Ia tidak mungkin jatuh cinta. Pada perempuan yang seharusnya hanya transaksi bisnis. Pada Dinda yang polos dan percaya padanya, yang tidak tahu bahwa sejak awal ia hanya... alat.

Rendra duduk di lantai kamar mandi, punggung bersandar di dinding keramik dingin. Kepalanya ia sandarkan ke belakang, mata terpejam, mencoba mengatur napas yang masih berantakan.

Ia adalah Narendra Mahesa Kusumadiningrat. Direktur Utama yang bisa menutup deal milliaran dollar dengan tatapan dingin dan kalimat singkat. Pria yang terbiasa menjalankan negosiasi politik yang bikin orang lain stres sampai stroke. Ia bukan tipe orang yang akan jatuh cinta.

Cinta adalah perjudian konyol. Cinta adalah investasi sia-sia, resiko besar akan kerugian emosional, ketidakpastian hasil, dan kehilangan kontrol. Cinta adalah... apa yang menghancurkan ibunya.

Rendra pernah bersumpah tidak akan pernah membiarkan dirinya bergantung pada orang lain. Tidak akan pernah memberikan kekuatan kepada siapa pun untuk menghancurkannya. Ia bukan penjudi yang handal. Kemungkinan besar ia akan kalah dalam permainan.

Tapi sekarang...

Sekarang sepertinya Dinda punya kekuatan itu. Kekuatan untuk mengajaknya bermain dan mengalahkannya. Tanpa ia sadari, tanpa ia izinkan, perempuan itu sudah menyusup masuk ke dalam dinding-dinding yang ia bangun selama puluhan tahun. Dan yang paling menakutkan? Sebagian dari dirinya... tidak ingin mengusir Dinda keluar.

Suara ketukan pelan di pintu kamar mandi membuatnya tersentak.

"Mas?" Suara Dinda terdengar khawatir. "Kamu di dalem? Kamu okay?"

Rendra langsung berdiri, merapikan diri dengan cepat. Ia lihat pantulannya di cermin. Mata sedikit merah, rahang tegang, tapi cukup terkontrol.

"Iya, aku nggak apa-apa." jawabnya, berusaha membuat suaranya terdengar normal.

"Kok lama? Kamu sakit?"

Ia buka pintu, Dinda berdiri di sana dengan jubah tidur yang diikat asal dan mata mengantuk, tapi penuh kekhawatiran. Rambutnya masih acak-acakan, dan ia terlihat sangat rapuh. Sangat bisa disakiti. Dan Rendra tahu, dengan kejernihan yang menakutkan, bahwa ia akan melakukan apa saja untuk melindungi perempuan ini. Bahkan dari dirinya sendiri.

"Aku nggak sakit." katanya pelan, lalu tanpa berpikir, ia raih Dinda dan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya di lekuk leher istrinya, menghirup aroma sabun dan kehangatan tidurnya.

Dinda terkejut sebentar, tapi kemudian tangannya melingkar di punggung Rendra, membalas pelukannya dengan lembut.

"Kamu aneh pagi ini." gumam Dinda. "Kenapa?"

'I think I love you, and it scares me.' Dalam hati ia menggeram, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, "Nggak apa-apa. Cuma mimpi buruk."

Dinda mendongak, menatap wajahnya dengan mata yang terlalu jernih, "Mau cerita?"

"Enggak." jawab Rendra cepat.

Dinda tidak memaksanya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berjinjit dan mencium pipi Rendra dengan lembut, "Okay. Tapi kalau kamu mau cerita, kapan aja, aku siap dengerin."

Dan saat itulah, saat Dinda berbalik untuk kembali ke tempat tidur, saat ia tersenyum manis sebelum menyelinap kembali ke bawah selimut, Rendra merasakan sesuatu patah di dalam dadanya.

Ia tidak ingin Dinda pergi. Tidak setelah dua tahun. Bahkan selamanya.

...***...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!