"Pembalasan istri cupu" adalah cerita tentang seorang wanita yang telah lama merasa diabaikan dan tidak dihargai oleh suaminya. Namun, dia tidak lagi mau menjadi korban keadaan. Dengan tekad dan keberanian, dia memutuskan untuk membalas perbuatan suaminya dengan cara yang tidak terduga.
Dia mulai dengan meningkatkan penampilannya, mengembangkan bakatnya, dan membangun dirinya sendiri. Dia juga mencari dukungan dari orang-orang yang peduli padanya dan belajar untuk mencintai dirinya terlebih dahulu.
Pembalasan ini tidak hanya tentang membalas perbuatan suaminya, tetapi juga tentang menunjukkan dirinya sebagai wanita yang kuat dan mandiri. Dia ingin membuktikan bahwa dia tidak hanya menjadi istri yang patuh, tetapi juga seorang wanita yang berani dan berdaya.
Melalui perjalanan pembalasan ini, dia menemukan dirinya sendiri dan belajar untuk mengambil kendali atas hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Nurr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Bulan menautkan alis tapi dia tidak banyak bertanya dia senang jika diajak keluyuran seperti ini.
Entah berapa kali mereka berganti angkutan umum..
Sampai angkutan umum yang kelima, akhirnya mereka sampai. “Ayo turun, nak.” Ajak Amel pada putrinya.
Kemudian setelah itu mereka turun dari angkot, mereka berjalan memasuki tempat yang dipenuhi oleh hamparan tanaman hijau, seperti lapangan golf.
“Bu, kita mau ke mana?”tanya Bulan, dan sekarang pukul 21.00 malam.
Amel menatap putrinya, kemudian mengelus pipinya. “Ayo kita pulang!” Ajak wanita itu, kemudian dia berhenti di satu gerbang, yang menjulang sangat tinggi.
“Bu, Ini rumah siapa?”tanya Bulan, ketika mereka berdiri di depan sebuah rumah mewah.
Perlahan gerbang hitam itu terbuka, di dorong oleh seorang satpam.
Dannnnnnnn
“Selamat datang cucuku!” Seseorang menyambut.
Bulan menautkan alis, lalu dia menoleh pada ibunya. “Kayaknya aku pernah lihat orang itu deh bu, siapa ya?” tanya Bulan pada ibunya.
Amel terdiam, air matanya menetes, 15 tahun lalu, dia dengan bangganya pergi meninggalkan rumah ini, dia dengan bangganya meninggalkan keluarganya hanya demi Nanda , tapi sekarang, dia datang seperti pengemis ke rumah ini.
Dia juga melihat kakeknya merentangkan tangan di dalam sana.
“Bu, kenapa ibu malah nangis?” tanya Bulan.
Amel kemudian menoleh kepada sang putri, “inilah rumah Kita! Ayo kita masuk ” ucapnya dengan suara bergetar.
“Hahhhh?”tanya Bulan bingung.
Tapi ketika dia masuk, seorang lelaki tua langsung memeluknya. “Ya ampun cicitku, udah besar sekali. Ayo masuklah.”
“Ih,” Bulan menepis tangan lelaki tua itu, “ini aki-aki meluk-meluk gue!”
Dan Amel hanya tersenyum, lalu dia menatap kakeknya. “Ayah ada di mana, kek?”
“Masuklah! Diningrat di dalam!”
Bulan bingung, Sebenarnya rumah yang mereka datangi Ini rumah siapa.
Tapi, walaupun begitu dia tetap mengikuti ibunya masuk ke dalam.
"Bu, Ini rumah siapa sih?" tanya Gadis itu penasaran, dan kenapa tadi aki-aki itu sampai memeluknya.
"Ini---" ucapan Amel tertahan ketika melihat ayahnya. Lelaki itu duduk di ruang keluarga.
Menatapnya tajam.
Diningrat menarik nafas ketika melihat putrinya pulang setelah 15 tahun. "Anak ini!" Batin Dinigrat.
Rumah ini nampak sunyi, hanya ada ayah dan juga kakeknya Amel.
"Ayah." Panggil Amel pelan.
Diningat masih diam. Dia menatap Buoan lalu bergantian menatap anaknya.
Sebenarnya dia sering melihat Bulan, dia sering melihat cucunya dan mendatanginya ke sekolah, hanya saja dia tidak berani mendatangi langsung cucunya tersebut, apalagi sampai memperkenalkan diri.
“Bu, itu siapa lagi?”tanya Bulan, pada lelaki yang gagah berkarisma, yang kini duduk di sofa mewah yang ada di ruangan besar tersebut.
Amel berdiri, tatapannya dan sang ayah saling tertuju. “Apa Ayah tidak akan menerimaku dengan anakku?” Batin Amel, dia takut, pasalnya sekarang ayahnya hanya diam, tak ada ekspresi di wajahnya.
Dan Diningrat, dia lagi-lagi Hanya bisa menarik nafas. Setelah 15 tahun, Apakah anaknya menyerah pada pendiriannya sehingga dia datang ke sana. Apa sekarang amel benar-benar akan meninggalkan Nanda?
Hadi masuk, menatap cucu dan juga putranya.
“Bulan, Apa kamu ingin makan sesuatu?”tanya lelaki itu pada Putri sang cucu.
Bulan menggeleng, “enggak pak.” Jawab Bulan.
Hadi menipiskan bibir, masa cicitnya manggil dia bapak.
Lalu, Hadi menatap sang putra, “Diningrat ! Apakah ini penyambutan terhadap anak dan juga cucumu? Kamu malah duduk di situ! Apa kamu tidak mau memeluk mereka?”
Diningrat kemudian menatap ayahnya, “ini aki-aki ngerusak situasi, dia gak tau kalo saya ini canggung!” Batinnya.
Sedangkan Amel dia tak sanggup berkata apa- apa. Malu, marah dan sedih bercampur menjadi satu.
“Ayo Bulan kita pergi.” Amel berbalik badan lagi, menarik tangan putrinya untuk pergi dari sana, Iya terlalu malu untuk memohon perlindungan di rumah orang tuanya sepertinya, lebih baik dia pergi saja dari sana. Memang nampak tidak tahu diri, setelah menantang keluarganya setelah 15 tahun, Masa dia sekarang tiba-tiba datang ke sana.
Tapi tiba-tiba suara Diningrat menghentikan pergerakan kaki Bulan dan juga ibunya.
“Apa harus menunggu 15 tahun sampai kamu mengenalkan cucuku? Apa harus menunggu 15 tahun agar kamu menginjakkan kakimu di sini lagi? Lebaran, hari besar, hari ulang tahun, Bahkan kamu tidak pernah mengucapkan selamat atau minal aidin, kepadaku! Dan sekarang setelah kamu membawa cucuku ke sini, kamu akan membawanya pergi lagi? Keterlaluan kamu Amel!”
Hening.
Bulan bahkan kaget, Apakah benar laki-laki yang ada di sana itu adalah kakeknya.
“Apakah sudah sampai di sini kamu masih tetap tidak akan mengenalkanku kepada cucuku sendiri? Sungguh keterlaluan.” Diningrat masih tetap duduk.
Amel berbalik badan, terlalu malu menghadapi laki-laki ini. Tapi Dia menatap putrinya, “Bulan, laki-laki yang sekarang sedang duduk di sana itu adalah kakek kamu, dan laki-laki yang sekarang sedang berdiri di sana,” tunjuk Amel kepada kakeknya, “itu adalah Mbah buyut kamu!”
Bulan menautkan alis. Seumur-umur dia belum pernah dikenalkan kepada kakek ataupun neneknya, apalagi Mbah buyutnya.
“Ibu Yang benar saja! Ibu jangan mengada-ngada!” Jawab gadis itu.
Tapi Amel, Dia menggetok kepala putrinya, “mana mungkin Ibu bohong, waktu kecil ibu tinggal di sini,”
Bulan semakin menautkan alis tak percaya, Apakah sebenarnya sang Ibu adalah anak konglomerat.
“Waahhhh ibu, ini luar biasa apa sebenarnya Ibu adalah anak orang kaya?”
Amel menipiskan bibir, anaknya ini bikin malu saja.
Diningrat yang tadinya diam tiba-tiba tertawa. “Sinilah, Salim sama kakek..” dia melambaikan tangan kepada cucunya, meminta Gadis itu untuk mendekat kepadanya.
Bulan maju, melepaskan tangan ibunya, dia menatap laki-laki yang tadi katanya adalah kakeknya itu. “Apakah betul Pak? Apakah anda adalah kakekku? Beneran, apa borongan?”
Amel meringis, Bulan terbiasa dengan keluarganya, berbahasa seperti itu. “Bulan apa nggak bisa bedain ya, mana bercanda mana beneran!”
Hahahaaaaa Diningrat tertawa “ini adalah kakekmu nak, dan itu adalah kakek buyutmu, ini adalah rumah ibumu, rumah yang membesarkan ibumu, tapi 15 tahun lalu ibumu kabur! Memilih pergi bersama ayahmu! Apa sekarang sudah jelas? Apa kamu tidak percaya, jika laki-laki tampan ini adalah kakekmu.”
Bulan kemudian langsung meraih tangan Diningrat. “Tentu saja aku percaya! Wah, kakek, Aku tidak percaya memiliki kakek yang sangat tampan seperti artis,” bangga Bulan, Gadis itu langsung menggerak-gerakan tangan Diningrat cepat.
“Wah, ibu.” Dia menoleh pada ibunya. “Apa ini bu? Kenapa Ibu tidak pernah memberitahuku jika sebenarnya Ibu adalah...” Ucapan Bulan tertahan ketika melihat ibunya berjalan ke depan.
“Minggir anak muda!” Ketus Amel selalu wanita itu menatap sang ayah. “Aku sudah mengenalkan anakku!” ucap Amel.
“Dan kamu butuh 15 tahun, untuk mengenalkanku kepadanya! Padahal kita masih berada di bawah langit yang sama. Di negara yang sama, bahkan dari rumahmu ke rumahku hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja Amel. Sebahagia itukah kamu bersama suamimu?”
Tapi, belum juga Amel membalas ucapan ayahnya, tiba-tiba Bulan ikut berbicara.
“Bahagia? Sama ayah? Tiap hari Ibu nangis! Gara-gara Ayah sama nenek, perkara kecil aja ayah ataupun nenek bisa marah sama ibu!”
Diningrat tersenyum, lalu dia bangkit dia mendekat ke arah Amel. “Sini, Ayah ingin lihat, anak perempuan ayah sudah sedewasa apa.”
“Ayah.” Lirih Amel.
Lelaki itu memeluknya, sangat erat, sepertinya dia sedang mengganti waktu 15 tahun yang sudah mereka lewatkan. Sekitar 15 menit.
Bulan menggaruk kepalanya, “ekhem.. ibu kakek apakah acara ini masih lama? Aku lapar.” Ujar gadis itu, diam menusuk-nusuk pundak kakeknya dengan jarinya, berusaha menyadarkan dua orang itu jika waktu terus berjalan.
Diningrat kemudian melepaskan pelukannya pada sang anak. Lalu dia menoleh pada cucunya. “Hahahaaaa, apa kamu lapar? Ayo, sebaiknya kita makan.” Kalau dia menatap lagi pada anaknya yaitu Amel, “Amel! Bagaimana badan kamu bisa seperti ini, bahkan rambut kamu tidak terurus! Ayo kita makan, karena kamu datangnya dadakan, ayah ataupun kakek tidak menyiapkan apapun untukmu!”
Amel terdiam, tapi dia melihat anaknya dibawa oleh sang ayah menuju meja makan yang Bahkan posisinya tidak berubah dari 15 tahun lalu.
Hadi, Dia berjalan duluan menuntun anak dan cicitnya.
Begitupun dengan Amel, yang berjalan menuju ruang makan yang ada di kanan ruangan ini..
Sebelum ke sana dia menatap dinding, dan dia tertegun ketika melihat foto dirinya masih berada di sana fotonya 15 tahun lalu, masih terpasang dengan indah.
“Ayah, selama ini, ayah masih menyimpan Poto ku!” Batin Amel.
Tapi, di sela lamunannya tiba-tiba Bulan bersuara.
“Loh, ini siapa? Kenapa mereka nggak ada? Apa sudah almarhum?” Katanya Gadis itu pada dua wanita, yang ada di dalam foto.