NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 15

Hari itu, kabar buruk datang begitu cepat. Telepon berdering tanpa henti di meja Jenia saat Ia sedang rapat. Dengan wajah penasaran, ia keluar ruangan dan mengangkat panggilan itu.

Suara di seberang membuat jantungnya seketika berhenti berdetak.

“Saudari Jenia? Mohon maaf… tunangan Anda, Raka, mengalami kecelakaan. Saat ini beliau tidak tertolong.”

Ponsel terlepas dari genggamannya. Dunia seakan berputar, suaranya tercekat, matanya berkabut. Seluruh tubuhnya gemetar.

“Tidak… tidak mungkin… Raka…” bisiknya lirih sambil berusaha menyangkal kenyataan.

Hari-hari setelah kabar itu menjadi masa paling kelam dalam hidup Jenia. Ia hadir di pemakaman Raka dengan tubuh lemas, hampir tak mampu berdiri. Leony terus menggenggam tangannya, berusaha menahan Jenia agar tidak jatuh pingsan.

Air matanya tak terbendung ketika melihat peti Raka diturunkan ke dalam tanah. Kenangan singkat tentang senyum hangat, janji-janji sederhana, dan perhatian tulus pria itu berputar di kepalanya.

"Aku janji nggak akan bikin kamu nangis karena aku."

Kalimat terakhir Raka di pesan singkatnya kini menikam hati Jenia.

Bastian, yang diam-diam datang ke pemakaman, hanya bisa memandang dari jauh. Melihat Jenia yang hancur membuat dadanya ikut perih. Ia ingin menghampiri, ingin menenangkan, ingin memeluk Jenia dan berkata bahwa ia ada di sana.

Tapi setiap kali ia melangkah, ada bayangan Raka laki-laki yang pernah membuat Jenia bahagia menghentikan langkahnya.

“Dia kehilangan orang yang dia cintai… dan aku bahkan tidak pernah berhasil membuatnya bahagia,” gumam Bastian lirih sambil mengepalkan tangan.

Malam itu, Jenia duduk di kamarnya dalam kegelapan. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Ia menatap cincin yang pernah Raka sematkan di jarinya, lalu menggenggamnya erat. “Aku sudah kehilanganmu… bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpa kamu, Rak?” isaknya lirih.

Sudah dua minggu sejak kepergian Raka. Namun bagi Jenia, waktu seolah berheNti di hari itu. Senyumnya hilang, langkahnya terasa berat, dan ruang kosong yang dulu diisi suara Raka kini menghantui tiap detiknya.

Di kantor, rekan-rekan kerjanya berusaha bersikap normal, meski tatapan simpati selalu mengikuti setiap gerakannya. Leony setia mendampingi, tapi bahkan sahabat terdekatnya pun tahu rasa kehilangan itu terlalu dalam untuk dijangkau kata-kata.

Suatu sore, Jenia duduk di taman dekat rumahnya, memeluk lutut dan menatap kosong. Langit senja perlahan meredup, tapi pikirannya masih terjebak pada kenangan. Tiba-tiba, sebuah suara berat memecah keheningan. “Jenia…”

Jenia menoleh. Di hadapannya berdiri Bastian, wajahnya penuh keraguan, matanya tajam namun menyimpan rasa iba. Ia tampak berbeda—tidak lagi arogan, melainkan seperti seorang pria yang sedang menanggung penyesalan mendalam.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” suara Jenia serak, jelas tak menginginkan percakapan panjang.

“Aku… aku cuma mau tahu kabar kamu.” Bastian menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi. “Aku dengar dari Leony kamu belum bisa tidur dengan tenang.”

Jenia tersenyum pahit. “Kenapa kamu peduli, Bos? Aku baik-baik saja. Aku bisa sendiri.”

Bastian terdiam. Kata-kata itu terasa menusuk, namun ia tahu Jenia punya hak untuk berkata demikian. Perlahan, ia duduk di bangku taman, menjaga jarak.

“Kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar… aku ada,” ucap Bastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam.

Untuk pertama kalinya sejak lama, mata Jenia menatap lurus ke arah Bastian. Ada perasaan campur aduk marah, sedih, sekaligus lega karena seseorang berusaha mendekat. Tapi di balik itu, hatinya masih diliputi duka yang berat.

Setelah Raka tiada, suasana kantor terasa berbeda bagi Jenia. Meski ia berusaha tetap tegar, semua orang tahu Hatinya masih berduka. Ia lebih sering diam, tenggelam dalam pekerjaannya, dan menolak perhatian berlebih.

Namun tidak semua orang iba padanya. Vita justru melihat kesempatan emas.

Suatu pagi, di ruangannya sendiri, Vita berbicara dengan salah satu staf kepercayaannya. Suaranya lirih namun sarat intrik.

“Selama ini, Bastian semakin sering memperhatikan Jenia. Aku bisa melihat itu dengan jelas. Kalau dibiarkan, perempuan itu bisa jadi ancaman besar buat aku.”

Staf itu menelan ludah, ragu. “Maksud Ibu…?”

“Singkirkan dia. Bukan secara fisik tentu saja,” Vita tersenyum licik. “Buat dia terlihat tidak kompeten. Cari kesalahannya. Kalau bisa, buat dia dipecat.”

Sementara itu, Jenia sedang menerima tugas penting dari kepala divisi: menangani presentasi besar dengan klien internasional. Semua mata tertuju padanya, karena proyek itu bernilai miliaran. Ia bekerja keras, bahkan begadang berhari-hari demi memastikan semuanya sempurna.

Yang tidak ia tahu, Vita diam-diam sudah merencanakan sabotase. Beberapa dokumen penting diubah tanpa sepengetahuan Jenia. Dan saat hari presentasi tiba, sebuah kesalahan fatal nyaris menjatuhkan reputasi Jenia di depan klien.

Namun, sebelum semuanya hancur, Bastian yang ikut hadir langsung turun tangan, membela Jenia.

“Kesalahan ini bukan dari Jenia. Saya tahu persis siapa yang terakhir memegang file tersebut.”

Tatapan tajam Bastian melirik sekilas ke arah Vita. Ruangan mendadak hening, ketegangan semakin memuncak.

Seusai rapat besar dengan klien, Bastian masih memikirKan kejadian yang hampir menjatuhkan Jenia. Ia memang tidak memiliki bukti nyata, tapi instingnya kuat mengatakan ada sesuatu yang sengaja disabotase.

Malam itu, di ruang kerjanya yang sudah sepi, Bastian memanggil Dion, asisten pribadinya.

“Dion, aku minta tolong. Cek siapa saja yang terakhir mengakses file presentasi kemarin.”

“Baik, Pak,” jawab Dion cepat.

Beberapa jam kemudian, hasil pengecekan keluar. Nama yang muncul di daftar akses terakhir bukan Jenia. Melainkan… Vita.

Bastian terdiam. Tangannya mengepal, matanya menajam.

“Kenapa dia melakukan ini?” batinnya.

Keesokan harinya, Vita mendatangi kantor dengan wajah ceria seolah tak terjadi apa-apa. Ia menyapa Bastian penuh manja.

“Sayang, malam ini kita dinner bareng ya? Aku sudah pesan tempat spesial.”

Bastian menatapnya dengan dingin.

“Kita bicarakan nanti.”

Nada suaranya tegas, membuat Vita sempat kaget, namun ia cepat menutupi kekagetannya dengan senyum palsu.

Di sisi lain, Jenia masih merasa bersalah meski Bastian sudah membelanya. Ia duduk termenung di pantry ketika Rehan datang menghampiri.

“Kenapa wajah kamu kusut begitu? Kamu kan sudah kerja maksimal.”

Jenia tersenyum tipis. “Aku cuma takut mengecewakan orang. Kadang rasanya aku… nggak pantas ada di sini.”

Rehan menepuk pelan bahunya. “Hei, jangan ngomong gitu. Justru kamu aset besar di kantor ini. Jangan biarin siapa pun bikin kamu jatuh.”

Jenia hanya mengangguk pelan, tidak tahu bahwa permainan kotor yang sebenarnya sedang mengintainya.

Malam harinya, Bastian benar-benar datang ke restoran mewah tempat Vita sudah menunggunya. Namun kali ini, bukan senyum hangat yang ia bawa, melainkan tatapan tajam penuh tanda tanya.

“Vita,” ucap Bastian datar.

Vita menoleh, menatap kekasihnya dengan senyum penuh kepastian. “Iya, sayang?”

Bastian menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada.

“Aku cuma mau tanya satu hal… kenapa namamu ada di sistem sebagai orang terakhir yang mengakses file presentasi Jenia?”

Wajah Vita seketika pucat.

Restoran mewah malam itu berubah jadi arena ketegangan. Vita semula masih berusaha menutupi rasa paniknya dengan senyum manis.

“Sayang… jangan salah paham. Aku cuma mau lihat persiapan kerjaanmu, makanya aku sempat buka file itu.” Bastian menatapnya tajam, seakan bisa menembus semua lapisan kebohongan.

“Jangan main-main, Vita. Aku sudah cek log sistem. Bukan hanya buka… kamu ubah isi dokumen itu. Kenapa?”

Wajah Vita semakin pucat. Tangannya gemetar memegang gelas wine. “Aku… aku cuma… aku takut kamu jatuh hati pada perempuan itu.”

“Perempuan itu?” suara Bastian meninggi. “Maksudmu Jenia?”

Vita menggigit bibirnya, tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca, bukan karena penyesalan, melainkan karena ketakutan kehilangan.

Bastian menghela napas panjang, lalu berdiri.

“Aku tidak bisa percaya lagi padamu, Vita. Kamu sudah merusak batas profesional, bahkan mengorbankan orang lain demi egomu sendiri. Hubungan kita… sampai di sini.”

“Bastian! Jangan! Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu saja!” Vita berdiri panik, mencoba meraih tangannya. Namun Bastian menepis kasar.

“Aku lebih baik sendirian daripada bersama seseorang yang hanya membawa kehancuran.”

Setelah itu, ia pergi meninggalkan Vita yang terisak di kursi restoran, menjadi tontonan tamu-tamu yang lain.

Keesokan harinya, kabar putusnya Bastian dan Vita cepat menyebar di lingkungan kantor. Meski Jenia tidak secara langsung tahu penyebabnya, ia bisa merasakan ada perubahan besar. Bastian terlihat lebih sering termenung, lebih pendiam dari biasanya, namun matanya kerap… mencari sosok Jenia.

Sementara itu, Vita tidak tinggal diam. Rasa bencinya pada Jenia semakin membara.

“Kalau aku nggak bisa memiliki Bastian, maka perempuan itu juga tidak akan pernah bahagia,” gumamnya lirih, penuh dendam.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!