Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Ares Suka di Indonesia
Di ruang meeting lantai satu, suasana tegang terasa sejak awal. Pak Hadi dan Hana duduk berhadapan dengan Abas, yang sejak tadi berusaha menahan kesabaran menghadapi desakan mereka.
“Kalau memang Pak Damar tidak bisa menemui kami, seharusnya dari awal Anda sampaikan,” suara Hana meninggi, sorot matanya penuh kejengkelan. “Saya sudah meluangkan waktu berharga saya, tapi nyatanya hanya bertemu dengan Anda.”
Abas menarik napas, menahan diri agar tidak terpancing. “Mohon maaf, Bu. Pak Damar memang sedang sibuk. Beliau memberi mandat pada saya untuk menyelesaikan masalah kerja sama ini. Sama sekali bukan bermaksud mengabaikan Bapak dan Ibu.”
Namun Hana justru mendengus kasar. “Sudahlah, Pa. Kalau memang tidak bisa bertemu Damar, kita pulang saja. Buang-buang waktu saja datang kemari.”
Pak Hadi hanya bisa menuruti putrinya. Mereka bangkit, meninggalkan ruang meeting dengan langkah cepat. Abas berdiri di tempatnya, menggelengkan kepala pelan. Aneh sekali orang-orang ini… batinnya.
Di parkiran, Hana masuk ke mobil dengan wajah masam, menyilangkan tangan di dada. Pak Hadi yang duduk di belakang kemudi mencoba menenangkan.
“Tenanglah, Nak. Kita akan cari cara lain untuk mendekatkanmu dengan Damar.”
“Tapi kapan, Pa?” Hana melirik ayahnya tajam. “Papa selalu janji, selalu bilang nanti. Pokoknya Hana tidak mau menunggu lebih lama lagi. Hana mau sama Damar, Hana mau jadi istri Damar!”
Suaranya bergetar, antara kesal dan manja.
Pak Hadi menghela napas panjang, lalu menoleh sekilas pada putrinya. “Papa tahu. Kamu putri Papa satu-satunya. Tentu Papa akan lakukan apa saja untuk bantu kamu mendapatkan Damar.”
Mendengar itu, wajah Hana sedikit melunak, tapi masih menyimpan bara. Ia menggertakkan giginya pelan, menatap keluar jendela dengan tatapan penuh obsesi.
Apapun caranya… Damar harus jadi milikku.
***
Beberapa jam kemudian, di ruang kerja Damar, Stasia menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, lalu membesar seketika begitu menyadari ia sedang berada di ruang kerja Damar. Ia terduduk kaget, dan jas hitam yang menutupi tubuhnya jatuh begitu saja ke lantai.
“Aku… tidur di ruangan Damar,” lirihnya panik. Pipinya terasa panas menahan malu.
“Kenapa bisa sampai tertidur di sini? Ya Tuhan…”
Pandangannya berkeliling, mencoba memastikan situasi. Meja Damar masih penuh tumpukan dokumen, komputernya masih menyala, tapi sosok pemilik ruangan tidak ada di tempat.
“Dimana dia?” gumamnya resah. Lalu matanya melirik jam di pergelangan tangan.
“Ya Tuhan, sudah dua jam! Bagaimana kalau karyawan lain berpikir macam-macam?”
Ia buru-buru merapikan diri. Jas Damar ia lipat dengan hati-hati dan meletakkannya rapi di sofa. Pasti mahal sekali, batinnya. Lalu dengan langkah cepat ia keluar menuju ruangannya sendiri.
Tak lama berselang, Damar keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia mengernyit ketika melihat sofa kosong. Jasnya terlipat rapi di sana. Ia tersenyum tipis.
Melangkah ke meja kerjanya, ia membuka rekaman CCTV ruangan. Bibirnya terangkat lebih lebar ketika melihat Stasia yang panik bangun, lalu buru-buru keluar dengan wajah salah tingkah.
Masih sama seperti dulu… pikirnya sambil menghela napas.
Sementara itu, di ruang kerja, langkah Stasia terasa berat. Beberapa pasang mata meliriknya sinis. Ia bisa mendengar jelas bisik-bisik yang menusuk telinga.
“Baru kerja sehari, sudah bolak-balik masuk ruang CEO.”
“Mau goda CEO kita kali. Belum tahu aja dinginnya dia.”
“Coba aja… nanti kalau dipecat baru tahu rasa. Sok-sokan, mentang-mentang pindahan dari luar negeri.”
Stasia menunduk, menahan diri untuk tidak menanggapi. Dadanya sesak, tapi ia memilih diam. Ia belum mengenal banyak orang di kantor ini, hanya Max yang cukup ramah sejak awal.
Saat ia baru saja hendak duduk, Max mendekat dengan ekspresi penasaran.
“Ada apa? Pak CEO minta kamu kerjain apa?” tanyanya setengah berbisik.
“Apa maksudmu?” Stasia menatapnya bingung.
Max menyandarkan tubuhnya di meja. “Tadi Pak Bambang bilang, kamu disuruh Pak CEO bantuin pekerjaannya. Jadi dokumen yang harusnya kamu kerjakan siang ini akhirnya dialihkan ke cewek itu.”
“Cewek itu?” Stasia mengerutkan dahi.
“Yang pakai baju kuning dan ngomong sinis,” jelas Max pelan. “Makanya dia sensi banget. Merasa dapat job tambahan, padahal sebenarnya itu job dia, dan pak Bambang sempat berikan ke kamu karena dia ngeluh pekerjaannya numpuk.”
Stasia menunduk sebentar. “Harusnya aku minta maaf padanya.”
Max terkekeh kecil sambil mengibaskan tangan. “Sudah, nggak usah. Resiko kerja. Emang rejekinya dia balik ke situ. Santai aja.”
Stasia menarik napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri, meski perasaan tidak enak masih menggelayut.
***
Jam pulang kerja, Stasia langsung kembali ke apartemen. Sementara itu, Ares yang sedang berada di rumah neneknya akan diantar pulang oleh sopir Bunda Maya.
Sesampainya di apartemen, Stasia membersihkan diri lalu bergegas menyiapkan makan malam. Setelah masakan sederhana selesai ia tata di meja, bel pintu berbunyi. Dengan sigap Stasia melangkah membukanya, ia yakin itu Ares.
Benar saja. Begitu pintu terbuka, suara riang Ares langsung menyambut.
“Mamaaa!”
“Hai, kesayangan Mama…” Stasia menyambut dengan pelukan hangat.
Ia tersenyum ramah pada sopir yang mengantar. “Terima kasih sudah mengantarkan Ares dengan aman.”
Sopir itu pamit, dan Stasia segera membawa Ares masuk.
“Mama, tadi Ares main sama adik Rey,” ujar Ares antusias.
“Oh, ya? Pasti seru,” sahut Stasia sambil menggandeng Ares ke kamar untuk merapikan tas sekolahnya. Ares sudah wangi dan rapi, pasti sudah dimandikan sebelum pulang.
“Iya, seru banget, Ma. Adik belum bisa ngomong, tapi lucu. Tangannya kecil banget.” Ares terkekeh kecil, lalu melanjutkan dengan bangga. “Kata Daddy, tadi pagi adik sempat sakit. Tapi waktu Ares ajak main, adik udah nggak sakit lagi. Ares juga bantu adik minum susu. Kata Daddy, adik suka sama Ares, makanya adik minum susu banyak waktu Ares yang bantu.”
Stasia tersenyum haru melihat keponakannya begitu antusias bercerita tentang hari serunya di rumah keluarga Whitmore.
“Mama… kata Nenek, Ares boleh main ke sana kapan pun. Karena itu juga rumah Ares. Apa benar, Ma?”
Stasia mengangguk lembut. “Benar, sayang. Mama, Daddy, dan Nenek adalah keluarga Ares. Jadi Ares bisa main kapan pun bersama mereka.”
Wajah Ares berbinar. “Kalau gitu Ares suka di Indonesia. Soalnya di sini Ares punya keluarga. Kalau di Paris, Ares nggak punya Nenek, nggak punya Daddy, nggak punya adik juga. Setiap hari Ares cuma sama Bibi Emily kalau Mama kerja.”
Hati Stasia seperti tercubit mendengar pengakuan polos itu. Ia memeluk Ares erat-erat, penuh rasa sayang.
“Maaf ya, sayang… Mama sering sibuk kerja dan ninggalin Ares. Tapi Ares harus tahu, Mama sayang sekali sama Ares.”
Ares tersenyum dalam dekapan ibunya. “Ares juga sayang Mama.”