Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 15
...-Terlalu sibuk menyesuaikan diri, sampai lupa jati diri-...
...**"...
Beberapa hari telah berlalu, hilangnya Ayara dari kehidupan Arum kerap digantikan oleh Enzi. Meski sibuk, akhir-akhir ini Enzi sering menemaninya. Arum bukan tidak menyukainya, dia wanita yang baik juga seperti Yara, namun ... hati tak bisa dibohongi. Selain bersama guru favoritnya, Arum tak menemukan kebahagiaan yang dia dambakan.
Begitu telaten Enzi menyuapi Arum makan, setelah melewati drama bujuk dan rayu yang begitu panjang.
"Nanti Tante beliin boneka Barbie, tapi kamu harus makan dulu, yuk."
Enzi baru ingat bahwa gadis kecil ini sangat menyukai Barbie, maka ia pun membujuknya dengan iming-iming menambah koleksi boneka favoritnya itu.
Sementara itu di tempat lain. Jefrey masih sibuk dengan urusan kantor. Teringat ini sudah memasuki jam makan siang, ia berniat mengajak Yara makan bersama.
Tahu betul siapa yang sudah menolong mereka, Yara sang pengangguran ini menerima ajakan tersebut. Sungguh, Jefrey senang bukan kepalang. Pria dingin ini tersenyum lebar, namun, setelah mengetahui makan siang itu akan terkabul jika Valery ikut bersama mereka, senyumnya pelan-pelan memudar.
"Kita bukan mahram," ujar Yara mengingatkan lawan bicaranya.
"Ya, terima kasih sudah diingatkan," sahut Jefrey melalui panggilan telepon. Berada di balik bayang cinta itu membosankan. Belakangan, Jefrey sering menghubungi Yara dan bicara banyak dengannya melalui telepon, demi mengobati rindu yang mengusik hati.
"Nanti Latif yang jemput kamu. Aku ngabarin Vale dulu, kamu siap-siap, ya."
"Hem, iya, Bang," sahut Yara pula.
Mengenakan gamis longgar dengan kerudung besar, itulah ciri khas seorang Yara dalam berpakaian. Dia tak peduli omongan orang yang mengatakan gadis muda bergamis seperti ibu-ibu. Dia juga tak malu memakai daster jumbo longgar dalam keseharian.
Tak lupa sepasang kaus kaki, Yara memang selalu menggunakan benda itu saat keluar rumah, meski hanya ke warung terdekat.
Jalan menuju kediaman mereka tak bisa dimasuki mobil, demi memangkas waktu Yara memutuskan untuk menunggu jemputan di depan gang.
"Cuit-cuit, cewek!"
Kedua mata Yara mendelik ke arah minimarket. Si Emran bersandar di pintu minimarket sambil menggodanya.
"Cewek, nungguin siapa? Dunia terlalu mengerikan buat cewek kecil, imut binti gemesin kayak kamu. Gimana kalau aku temenin? Entar dikasih permen."
"Emran aku laporin polisi, ya! Ini pelecehan!"
"Lailahailallah, becanda doang, Neng! Ish, pantesan cowoknya gagal diunggah melulu, loadingnya pake jaringan nenek lampir, galak!" Emran pergi dari hadapan Yara, namun, sebelum benar-benar pergi dia menyempatkan diri mengolok gadis ini dengan ciuman melayang.
"Emran!" jari telunjuk Yara tertuding pada pria setengah gondrong itu, yang cekikikan setelah menggoda sahabatnya.
Telah beberapa menit Yara menunggu di sana, namun, Latif tak kunjung tiba. Dalam penantian itu ada sebuah mobil yang menghampiri , dan Yara tahu betul siapa pemilik mobil itu.
Arum langsung meloncat ketika pintu dibuka. "Bundaaaaaa!" teriak bocah ini. Tubuh Yara sedikit limbung mendapatkan pelukan penuh kerinduan. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Arum.
"Bunda, kenapa nggak pernah ngajar lagi? Arum jadi males ke sekolah!" Tak peduli pada omongan Barra, Arum tetap menempel pada Yara. Keceriaan seketika muncul pada dirinya ketika bertemu wanita berkerudung lebar ini, raut wajahnya begitu berseri-seri.
Sebelum menjawab pertanyaan Arum, Yara menatap pada Barra, pria itu masih duduk di dalam mobil dengan pintu terbuka lebar. "Bunda lagi libur. Hei, Arum nggak boleh males lho ke sekolah, ingat, anak solehah selalu nurut sama orang tua. Iya, kan?" Ia berjongkok demi mensejajarkan diri dengan Arum. Bocah itu tanpa ragu memegangi kedua pipi Yara, dan mendaratkan ciuman untuknya.
"Bunda sih nggak anda di sekolah, Arum kesepian," ujarnya lagi. Kali ini dia mengalungkan tangan pada leher Yara, dan memeluknya erat. Yara terlihat pasrah pada tindakan Arum, dia bahkan tak peduli gamisnya terkena trotoar.
Lagi, Yara menatap Barra. Ternyata pria itu juga memandangnya sejak tadi. Lebih tepatnya memerhatikan kelakuan putrinya. Ah! Yara baru menyadari, ada seorang wanita di samping Barra. Wanita itu keluar untuk mengajak Arum melanjutkan perjalanan.
Perlahan melepaskan pelukan Arum, kemudian Yara berdiri berhadapan dengan ... ternyata dia artis ternama itu, yang aktingnya sudah tak diragukan lagi, Enzi. Drama yang dia bintangi juga sudah banyak, bahkan Yara juga menonton drama yang Enzi bintangi lebih dari dua judul drama.
"Masya Allah, cantik sekali," lirih Yara. Ucapan itu mengundang senyuman di wajah Enzi.
"Arum ... ayo sayang, kita pergi. Nanti toko bonekanya tutup," ajak Enzi.
Tepat di saat itu, Latif datang. Ternyata bukan hanya dia seorang, Jefrey juga ada bersamanya. Dengan gagah pria dengan kaki jenjang itu keluar dari dalam mobil. "Yara," panggil Jefrey, "Maaf kamu nunggunya lama." Lanjutnya seraya membuka pintu mobil untuk Yara.
"Nggak pa-pa, kok, Bang. Tunggu sebentar, ya." Yara meminta sedikit waktu pada Jefrey, dia memberikan pengertian pada Arum yang merengek tak ingin berpisah dengannya.
"Kamu mau beli boneka, ya?"
Gadis itu mengangguk, juga terisak. Barra sampai keluar dari mobil dan menggendong Arum secara paksa. Demi apapun itu, Yara tak tega melihat Arum menangis. Dia pun berjanji akan memberikan hadiah untuknya, kelak jika mereka bertemu lagi.
Janji itu meredakan hujan di wajah Arum. Dan dengan hati yang patah dia memandangi langkah kepergian Yara menyongsong Jefrey.
"Hick! Arum mau sama Bunda! Arum mau Bunda. Om itu siapa? Kenapa Bunda dibawa sama dia?!" Setelah mobil yang membawa Ayara pergi, Arum kembali menangis.
"Cukup, Arum!"
Arum tersentak. Tangisnya tertahan karena bentakan Barra.
"Bar ... jangan kayak gitu. Dia masih kecil, kamu kok kasar," tutur Enzi mengusap lengan Arum.
Gadis kecil itu sesenggukan, dan tak sudi menatap Barra. Enzi dengan lembut ingin memangkunya, namun, mendapat penolakan dari Arum.
"Arum mau Bunda Yara. Arum cuman mau sama Bunda," lirihnya.
"Iya, sayang. Tapi nggak sekarang, ya." Mengusap punggung tangan Arum, namun, lagi-lagi Enzi mendapat penolakan. Jemari lentik itu di tepis halus oleh Arum.
Barra mencoba menekan emosi, dia memijat pelipis dengan mata terpejam.
"Ayah ..." panggil Arum perlahan, dan perlahan pula Barra membuka kedua mata.
"Hem? Sudah puas mengamuknya. Tingkah kamu bikin kepala Ayah sakit."
Masih sesenggukan, Arum berkata, "Siapa Om ganteng itu? Bunda Yara nggak bakal diambil dia 'kan?"
Barra melirik Gavin, meminta jawaban sebab dia juga tak tau siapa Jefrey. "Dia Jefrey Salvador, Tuan muda dari keluarga Salvador."
"Salvador ... keluarga pengusaha properti itu?" Kali ini Enzi yang bertanya.
"Iya," jawab Gavin. Saat melihat Jefrey keluar dari mobil, dia langsung mencari tau siapa pria itu.
"Cih!" decih Barra seraya membuang pandangan. "Cepat jalan," titahnya seolah tak peduli pada informasi yang diberikan Gavin
"Ayah jahat," lirih Arum. Dia merasa diabaikan, sangat diabaikan. Hatinya sungguh hancur meliat Yara pergi bersama Jefrey. Padahal di dalam mobil itu juga ada Valery dan Latif.
"Sudah dong marahnya, sayang," bujuk Enzi lagi.
Menatap Barra tajam. "Ayah jahat. Pokoknya Arum nggak mau sekolah. Arum mau pindah sekolah!"
Menatap sang putri dengan tatapan malas. "Mau pindah ke mana?"
"Ke sekolah yang ada Bunda Yara!" pekik Arum mengepalkan kedua tangan. Dia ingin sekali menjambak rambut Barra, seperti yang pernah dia lakukan tempo hari. Namun, dia tak ingin mendapat hukum seperti tempo hari juga.
Menopang dagu seraya menatap jalanan. "Dia udah nggak bisa ngajar, lisensi mengajarnya sudah dicabut." Alih-alih menenangkan sang putri, setidaknya mengalah untuk saat ini, Barra justru membuat Arum kembali menangis.
"Ayah kejam! Ayah jahat! Pasti ayah yang bikin Bunda nggak boleh ngajar lagi!"
Demi Neptunus, emosi Barra tak bisa terkontrol saat ini. Seperti bocah dia meladeni ocehan sang putri. "Iya! Ayah yang bikin Bunda kesayangan kamu pergi dari sekolah. Kenapa? Kamu nggak suka?!"
"Ayah --- huwaaa!!!" Tangisan Arum semakin nyaring. Kali ini dia menerima pelukan Enzi dan menangis sangat nyaring di sana.
"Barra! Kamu memang jahat! Ngalah sama anak sendiri pun nggak mau!" sentak Enzi.
Gavin menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan perilaku bosnya.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan komentar yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum