NovelToon NovelToon
Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Berondong / Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Amanda Ricarlo

Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.

Bagaimana Kelanjutannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nonton Film di Bioskop

Setelah berjam-jam bergelut dengan rutinitas sekolah yang melelahkan, Lesham akhirnya tiba di rumah. Begitu mobilnya berhenti di halaman, ia keluar dengan langkah yang sedikit lesu, membawa sebuket bunga mawar segar yang terbungkus rapi di tangan kiri, serta sebuah kotak kecil berwarna putih di tangan kanannya. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sedikit keletihan.

Di dapur, ibunya tengah sibuk memotong sayuran bersama Bi Arin. Aroma tumisan bawang yang harum memenuhi udara. Saat mendengar suara pintu dibuka, sang ibu menoleh, lalu menghentikan aktivitasnya. Ia meletakkan pisau di atas talenan, mengelap tangannya, dan berjalan menghampiri anaknya yang baru saja masuk.

“Kau sudah pulang?” tanyanya sambil tersenyum hangat. Namun, matanya langsung tertuju pada buket bunga yang mencolok di tangan Lesham. “Oh? Buket bunga dari siapa? Apa dari seseorang yang menyukaimu?” godanya, suaranya mengandung nada menggoda yang khas seorang ibu.

Lesham hanya menghela napas kecil, lalu mengangkat sedikit buket itu. “Bukan dari siapa-siapa, hanya orang acak yang bahkan tidak kukenal. Lagipula, ini memang untuk Mamah,” jawabnya santai sambil menyodorkannya. “Aku keatas dulu,” lanjutnya sebelum ibunya sempat bertanya lebih jauh.

Ia menaiki tangga menuju kamar, tetapi bukannya langsung berbaring seperti kebanyakan orang setelah pulang sekolah, Lesham justru membuka lemari dan berganti pakaian olahraga. Ia mengenakan kaus lengan pendek berwarna gelap dan celana pendek hitam, mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda yang rapi. Baginya, satu hari tanpa berolahraga terasa kurang lengkap, seperti ada yang hilang.

Setelah selesai bersiap, ia menuju ruang gym pribadinya yang berada di salah satu sudut rumah. Mulai dengan pemanasan ringan, ia berlari kecil di atas treadmill, membiarkan detak jantungnya meningkat perlahan. Setelah itu, ia berganti melatih otot tangannya dengan memukul samsak tinju berulang-ulang, gerakannya mantap dan terlatih. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan dengan beberapa jurus taekwondo yang sudah lama tidak diasahnya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, tubuhnya sudah diliputi keringat. Lesham menjatuhkan diri di lantai matras, terbaring menatap langit-langit, napasnya terengah-engah. Ia hampir memejamkan mata ketika merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dari arah pintu, sosok Kai muncul, berdiri sambil menatapnya dengan ekspresi polos.

“Hei, kau membuatku terkejut,” ucap Lesham, setengah mengeluh, sambil bangkit dan berjalan menuju kursi besi di sudut ruangan. Kai melangkah masuk, lalu tanpa banyak bicara, menyodorkan sebotol air mineral dingin ke arahnya.

“Minumlah,” katanya singkat.

Lesham menerimanya, membuka tutup botol, dan meneguk seteguk besar. Kai ikut duduk di kursi sebelahnya, matanya melirik Lesham yang masih mengatur napas.

“Apa kau sibuk hari ini?” tanya Kai tiba-tiba.

“Tidak, memangnya kenapa?” jawab Lesham, masih meminum airnya.

“Aku ingin mengajakmu menonton film. Baru saja aku lihat trailernya, sepertinya seru sekali. Jadi... mau ikut? Ayolah, masa aku menonton sendirian,” pintanya dengan nada penuh harap.

Lesham meliriknya datar. “Kau tidak lihat? Aku baru saja selesai olahraga,” ucapnya sinis.

“Tenang saja,” jawab Kai, tersenyum tipis. “Kita nontonnya nanti malam, sekitar jam tujuh. Aku hanya memberitahumu lebih awal.”

Percakapan mereka terhenti sejenak. Suara kipas angin di langit-langit ruangan terdengar jelas. Setelah beberapa menit, Kai kembali membuka suara.

“Kau tidak berencana menemui ayahmu di penjara?”

Lesham menghentikan gerakan tangannya yang sedang memutar botol, lalu menatapnya dingin. “Untuk apa?”

“Hanya saja, ayahmu mungkin berharap kau datang. Kalau kau mau berkunjung, katakan saja, aku bisa menemanimu kesana” ujar Kai, sambil menepuk bahu Lesham seakan berusaha menenangkan.

“Aku butuh waktu sebelum menghadapinya. Kau tahu betul hidupku berantakan karena dia. Kalau saja dia tidak membuat masalah, aku pasti masih bisa hidup damai dan bahagia,” jawab Lesham pelan, tetapi suaranya mengandung kepahitan.

Kai mengangguk pelan, ekspresinya berubah sendu. “Aku tidak memaksamu. Aku hanya takut kau menyesal seperti aku dulu. Kau tahu, waktu itu aku sibuk gila-gilaan bekerja, sampai lupa kalau ayahku sakit keras dirumah sakit. Lalu... tiba-tiba kabar itu datang. Dia meninggal tanpa aku sempat menemani hari-hari terakhirnya. Sekarang penyesalan itu menghantuiku setiap malam. Btw Aku lihat ayahmu sudah semakin tua, takutnya....”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Lesham berdiri dan meninju perutnya ringan namun cukup membuat Kai terhuyung kebelakang. “Kau baru saja menyumpahinya mati?” tanyanya dengan tatapan datar.

Kai meringis sambil mengusap pinggangnya. “Aku hanya bercanda,” ujarnya, kali ini dengan nada cemberut.

“Sudahlah. Kau tunggu saja di bawah, aku mau mandi dulu,” kata Lesham sebelum melangkah keluar dari ruangan. Kai, meski masih menahan sedikit rasa sakit, tetap bangkit dan mengikuti langkahnya keluar.

“Kau ini memang tidak pernah bisa menahan tangan, ya” gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk membuat Lesham meliriknya sebentar.

Mereka berjalan menuruni tangga. Dari arah dapur, terdengar suara ibunya yang sedang bercanda dengan Bi Arin. Aroma masakan kembali menyambut mereka, kali ini lebih kuat, paduan wangi rempah dan kuah kaldu yang sedang mendidih.

“Eh, Kai sudah menemui Lesham? Makan malam di sini saja,” sapa ibu Lesham begitu melihat mereka lewat.

Kai tersenyum ramah. “Kalau tidak merepotkan, saya mau sekali Tante.”

“Memang dasar kau ini, belum juga ditawari sudah siap menerima,” seloroh Lesham sambil terus berjalan.

Kai hanya tertawa kecil dan mengangkat bahu. “Kalau soal masakan ibumu, mana ada yang menolak?”

Lesham tidak menanggapi. Ia menuju kamarnya, sementara Kai memilih menunggu di ruang tamu. Dari dalam, terdengar suara pintu kamar tertutup, diikuti gemericik air yang menandakan Lesham sedang mandi. Kai memanfaatkan waktu itu untuk memeriksa ponselnya, membalas beberapa pesan, lalu sesekali melirik ke arah tangga, seolah memastikan Lesham benar-benar akan ikut menonton nanti malam.

Tak lama kemudian, Lesham keluar dari kamarnya dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan hoodie abu-abu longgar dan celana jeans gelap. Wajahnya tampak segar, meski ekspresinya tetap datar seperti biasa. Ia berjalan ke dapur, mengambil segelas air, lalu meneguknya sampai habis.

“Hei, bukankah kita janji mau nonton?” tanya Kai sambil berdiri.

Lesham meletakkan gelas di meja. “Kau pikir aku tipe orang yang mengubah keputusan setiap lima menit?” jawabnya, nada bicaranya setengah ketus, tetapi Kai bisa melihat ada sedikit senyum di ujung bibirnya.

Mereka akhirnya duduk sebentar di ruang tamu sambil menunggu waktu. Televisi menyala, menampilkan berita sore yang membahas kasus korupsi besar. Lesham memperhatikan layar dengan tatapan kosong, sementara Kai malah sibuk bercerita tentang film yang akan mereka tonton, sebuah film aksi dengan alur cepat dan plot yang penuh kejutan.

Namun, pembicaraan mereka kembali melenceng saat Kai tanpa sadar, menyinggung topik yang tadi sore sempat membuat suasana tegang.

“Kalau suatu hari kau mau, aku bisa mengatur agar kita mengunjungi ayahmu tanpa banyak orang tahu. Aku punya kenalan yang bisa mempermudah izin kunjungan,” Membisikannya dengan hati-hati

Lesham memutar kepalanya, menatapnya tajam. “Kai, aku sudah bilang, bukan? Aku butuh waktu. Jangan paksa aku membicarakan ini setiap kali kita bertemu.”

Kai menelan ludah, lalu mengangguk. “Oke-oke, Maaf.”

Keheningan melanda lagi. Lesham kembali menatap televisi, namun kali ini pikirannya melayang. Ia mengingat wajah ayahnya, yang terakhir kali ia lihat di ruang sidang, terduduk dengan wajah penuh kerutan, namun matanya tetap tajam, sama seperti dulu. Sebuah perasaan campur aduk muncul; antara rindu, marah, dan enggan.

“Kalau dia mati sebelum aku datang… mungkin aku memang pantas menerimanya,” gumam Lesham hampir tak terdengar.

Kai menatapnya, tetapi memilih diam. Ia tahu, memaksa Lesham untuk bicara lebih banyak sekarang hanya akan membuat gadis itu semakin menutup diri.

Jarum jam menunjuk pukul 18.50. Lesham berdiri, mengambil tas kecilnya, lalu menatap Kai. “Ayo. Kau yang ingin menonton, kan? Jangan sampai kita terlambat.”

Kai langsung tersenyum lega, lalu mengikuti langkahnya keluar rumah. Di luar, angin malam bertiup lembut, membawa hawa segar yang kontras dengan panas siang tadi. Mobil Kai sudah terparkir di depan gerbang. Mereka masuk, lalu berangkat menuju bioskop, meninggalkan rumah yang kini perlahan diselimuti keheningan malam.

Perjalanan menuju bioskop malam itu terasa cukup tenang. Lampu jalan berderet di sisi trotoar, memantulkan cahaya kuning keemasan di atas permukaan aspal yang sedikit basah sisa hujan sore tadi. Dari dalam mobil, suara radio memutar lagu pop pelan yang hanya menjadi latar tanpa benar-benar mereka dengarkan.

Kai, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik Lesham di kursi penumpang. Gadis itu bersandar dengan tangan terlipat, menatap keluar jendela. Pikirannya entah melayang ke mana.

“Kalau kau masih lelah, kita bisa membatalkan dan menonton di lain waktu,” kata Kai sambil melambatkan laju mobil ketika lampu merah menyala.

Lesham hanya menggeleng. “Kita sudah hampir sampai. Lagipula, aku ingin melihat film yang kau bahas sejak tadi”

Kai tersenyum tipis. “Oke. Tapi jangan sampai kau tertidur di tengah jalan cerita ya”

Lesham membalas dengan lirikan datar, lalu kembali memandang keluar.

Mereka tiba di pusat perbelanjaan yang cukup ramai untuk ukuran malam hari. Setelah memarkir mobil, mereka berjalan menuju lantai atas tempat bioskop berada. Aroma popcorn dan karamel langsung menyeruak begitu mereka melewati area lobi. Lampu-lampu neon berwarna biru dan ungu menghiasi dinding, sementara deretan poster film berjajar rapi di sepanjang koridor.

Kai memesan tiket di loket, sementara Lesham memilih membeli popcorn rasa asin dan dua botol air mineral. Ketika tiket sudah di tangan, mereka berjalan memasuki studio yang sudah mulai diisi penonton.

Mereka duduk di deretan agak belakang, cukup jauh dari layar, memberi sudut pandang yang nyaman. Lampu mulai redup, dan suara iklan serta trailer film lain terdengar memenuhi ruangan. Lesham membuka bungkus popcorn, sementara Kai mencondongkan badan sedikit.

“Film ini punya twist yang gila. Kau harus benar-benar fokus menontonnya” bisiknya.

“Kalau tidak seru, aku akan menyalahkanmu nanti,” jawab Lesham datar, membuat Kai tertawa pelan.

Film dimulai. Adegan awal langsung menampilkan kejar-kejaran mobil di tengah kota malam hari, disertai tembakan yang memecah kaca dan sirene polisi meraung-raung di kejauhan. Sesekali, Lesham melirik ke arah Kai, memastikan temannya tidak membesar-besarkan ceritanya. Ternyata, film itu memang cukup memacu adrenalin.

Namun, di tengah-tengah adegan, mata Lesham tanpa sadar tertuju pada sosok di barisan kursi depan, agak menyamping. Seorang pria dengan jaket kulit hitam, duduk sendirian. Lesham merasa wajah itu tidak asing, seperti pernah ia lihat di suatu tempat.

Ia mencoba memfokuskan kembali pada film, tetapi rasa penasaran membuatnya melirik lagi. Kali ini, pria itu menoleh sekilas, dan pandangan mereka bertemu. Tatapan mata itu dingin, nyaris tanpa ekspresi, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduk Lesham berdiri.

“Kenapa?” bisik Kai, menyadari Lesham terlihat tegang.

“Hah? Tidak apa-apa,” jawab Lesham singkat, meski nadanya mengandung kebohongan yang jelas.

Sepanjang sisa film, Lesham nyaris tidak fokus. Pikirannya dipenuhi tanda tanya, siapa pria itu, dan mengapa ia merasa sedang diawasi?

Ketika film berakhir dan lampu kembali menyala, Lesham langsung berdiri, matanya mencari-cari sosok itu. Namun, kursi yang tadi terisi sudah kosong.

Kai mengerutkan kening. “Kau mencari siapa?”

“Tidak. Ayo kita pulang,” jawabnya cepat, berjalan mendahului Kai menuju pintu keluar.

Tapi jauh di dalam hatinya, Lesham tahu betul. Pria itu selalu mengawasi dirinya dari awal menonton film hingga selesai. Tetapi siapa pria itu?.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!