Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Anak Perempuan Pertama
Maya tidak merespons panggilan Mala. Terlihat lesu dan banyak terdiam. Mala berpikir keadaan Maya diakibatkan ujian akhir kelas dua belas yang melelahkan. Kelesuan Maya sampai disadari oleh Bram. Berkali-klai mengajak bercanda tapi tak juga mendapat tanggapan berarti. Bram yang lelah mengajak bicara menanyakan pada Mala kenapa putri pertama mereka bersikap dingin. Mengingatkan Bram pada sikap Mala sebelum jatuh sakit. Mala terhenyak, pendapat Bram menjadikan Mala curiga bahwa Maya putrinya sedang hancur mentalnya, karena memang itu yang dulu Mala rasakan. Kecewa, derita, menjadi satu kesatuan.
“Dia kenapa sih?” tanya Bram saat sengaja menemui Mala yang tengah fokus pada layar laptop. Ini untuk kedua kalinya Bram mengadukan sikap Maya.
“Siapa, Maya?”
Bram mengangguk. Kemudian matanya salah fokus dengan buku di samping laptop.
“Oh, mungkin lelah dengan kegiatan sekolah. Sebentar lagi anak itu kuliah, Pah! Mala berinisiatif memberitahu. Tidak mau lagi disalahkan jika Bram menyudutkannya tidak menceritakan apa-apa mengenai kegiatan putri pertama mereka.
Bram membolak-balik buku warna putih milik Mala. Seringai sinis muncul di sudut bibir Bram saat membaca judulnya. Buku berjudul "Seni Menghadapi Narsistik" menjadi korban sasaran kesinisan.
Mala mulai mengerti apa isi pikiran Bram dan meraih buku itu cepat.
“Apa-apan sih Mah, buang-buang saja beli buku begitu!” ujar Bram menyulut kesal Mala.
“Aku beli pakai uangku sendiri,” tutur Mala.
“Huh!” Bram membuang muka, melirik sekilas gambar ilustrasi Mala di laptop.
Jadi apa rencana Maya selanjutnya, apa dia mau kuliah?”
“Saat ini Maya sudah keterima di perguruan tinggi negeri, lewat jalur prestasi.”
“Nah. Itu kan … kalau aku nggak tanya pastinya kamu nggak ngasih tahu, aku jadi kayak orang bodoh nggak tahu apa-apa.”
“Bukan begitu, Pah. Hari ini memang rencananya baru kukasih tahu semua berita tentang anak-anak.”
"Soal apa?" tanya Bram masih nyolot.
"Maya kuliah dan Mia pindah TK," ujar Mala menjelaskan.
“Huh, waktumu banyak. Kenapa baru sekarang mau cerita pas aku tanya. Makanya jangan membaca buku omong kosong begini,” ucap Bram sembari melempar buku yang baru dibeli Mala di Toko Buku Mawar.
“Hah?” Mala melongo, reaksi Bram terlalu berlebihan pada sebuah buku. Iya, Mala tahu Bram tidak suka membaca, apalagi mengoleksi buku, karena menurut Bram adalah suatu pemborosan. Tapi menurut Mala bukannya tak apa jika Mala tak membeli dari uang Bram. Apa ruginya buat Bram? Rupanya tidak sesederhana itu, mau dibeli dengan uang siapa pun tetap saja memicu kekesalan Bram.
Mala menarik napas. Mencoba terlepas dari situasi terdesak di mana Mala bisa jadi bulan-bulanan Bram hanya karena ia kesal saja.
Sungguh tak masuk akal. Memang kelakuan kepribadian narsistik di luar nalar. Orang-orang baru bisa relate dengan kondisi begini kalau mengalami sendiri berpasangan dengan makhluk NPD. Hal sekecil apa pun dapat memancing emosinya, hal yang tak ada pun dapat ia ciptakan sendiri menjadi sebuah drama agar emosinya tersalurkan.
Semua hal ini—mengenai kepribadian narsistik—Mala pelajari dari buku-buku yang ditulis oleh profesional. Mala juga mengunjungi laman psikolog saat berselancar di sosial media. Mempelajari saksama sikap dan tingkah laku narsistik akan memudahkan bagaiman Mala bertindak pada Bram. Dari semua penjelasan ahli, memang gejala gangguan kepribadian narsistik banyak ditemukan pada diri Bram. Dan bukan hanya itu, bahkan Mala berani menyimpulkan kekasih gelap Bram pun menunjukkan ciri yang sama.
Pacar Bram itu, memamerkan bukti kencannya dengan Bram, apa itu tidak gila? Wanita itu terlalu ingin menyakiti Mala padahal tak pernah saling mengenal. Wanita itu juga bertindak manipulatif dan sibuk memainkan dramanya sendiri agar Mala tersulut, tapi sayangnya Mala terlalu malas untuk menanggapi.
Mala beranjak meninggalkan Bram. Tak mau berlama-lama menerima energi negatif yang ditembakkan Bram. Masih banyak pekerjaan tertunda. Tak mau energinya tersedot habis melayani kemarahan Bram yang tak jelas.
Bertahun-tahun tinggal bersama pria narsistik, membuat Mala menemukan trik jitu. Yaitu: jangan beri dia validasi narsistiknya itu, jika ia pergi mencari validasi dari orang lain itu arti nya, dia memang tidak tepat untukmu!
***
Mala memergoki Maya sedang menangis, lirih sangat lirih di jam tiga dini hari. Rangkaian doa-doa tak mampu menyembunyikan jiwa bersedih, suara Maya bergetar. Langkah kaki Mala mendekat perlahan. Tidak ingin mengejutkan, Mala lebih dulu memanggil nama putri pertamanya lirih.
“Maya,” bisik Mala lirih, takut membangunkan anak yang lainnya.
Maya menoleh, dengan mata sembabnya. Senyum dipaksakan menyambut mamahnya yang menyentuh wajah lembut.
“Ada apa sayang?”
Maya menggeleng pelan. Mala makin curiga, senyum yang dipaksakan itu menjawab jika ada yang disembunyikan.
“Kaka sedang gelisah?” Sengaja Mala memanggilnya “Kaka” agar Maya lebih percaya untuk sekadar berbagi cerita.
Hati Mala menebak ada yang tak beres, entah situasi macam apa yang Maya hadapi … mungkin di sekolah, mungkin di rumah ….
“Jangan pernah sungkan cerita apa pun ke Mama ya, Ka?”
Mata Maya mengerjap, perkataan begini justru buat dia tambah melow. Rasa-rasanya memang tak sanggup lagi menutup-nutupi keadaan. Namun, Maya juga tak mau membebani pikiran sang Mama.
Maya meyakinkan Mala untuk bersabar, nantinya pasti Maya akan cerita. Tapi bukan sekarang, belum siap. Mala jadi khawatir sekali. Berpikir yang tidak-tidak mengenai anak gadisnya itu. Mala yakin Maya tak mungkin mengecewakannya.
“Apa berhubungan dengan kuliahmu?” tanya Mala hati-hati. Maksud Mala ingin menyampaikan agar Maya tak perlu khawatir mengenai biaya kuliah. Mala telah berbicara dengan Bram dan Bram telah berjanji menyanggupi. Sedangkan seandainya Bram mengingkari janjinya, Mala masih memilki tekat untuk menguliahkan Maya dengan jerih payah Mala sendiri.
“Bukan, Ma! Ta-tapi … mumpung Mama menanyakan soal kuliah, a-apa sebaiknya Maya nggak usah kuliah Ma?”
“Heh, kenapa? Betulkan hal ini yang menganggu isi pikiranmu?”
“Bu-bukan Ma, akh, sudahlah … esok hari akan kubicarakan hal yang lebih serius.”
“Hmm, kalau Kaka tidak ingin kuliah Mama juga nggak mau memaksa, cuma sayang Kaka sudah diterima perguruan tinggi negeri, tinggal bayar UKT pertama kan?”
“Iya, tapi ini belum keluar hasil kelulusan SMA.”
Maya menunduk. Mala mengelus kepala anak gadis itu untuk memberikan ketenangan. Padahal entah mengapa di dalam dada Mala sendiri ada segelintir rasa dag-dig-dug.
“Kalau nggak kuliah Kaka mau ngapain?” tanya Mala lagi, jujur masih penasaran. Apa sih yang buat Maya sampai kepikiran hal begini.
“Kerja, Ma! Bantu Mama cari uang,” bisik Maya memberikan senyum ikhlas.
“Akh.” hati Mala tersentuh seketika. Putri pertamanya ini memang berhati lembut. Kini Mala mulai paham barangkali Maya mengkhawatirkan biaya, melihat Mala yang tidak rutin mendapatkan uang bulanan dari sang Papah, ditambah masih harus bertanggung jawab pada hidup kakeknya.
Memutuskan membiarkan Maya meneruskan doa-doanya, wanita hampir kepala empat itu beranjak pergi. Mengecup kening Maya sebelum meninggalkannya diantara ketenangan doa.
Mala memberikan Maya waktu sendiri, sebagai kesempatan ruang berpikir.
***