Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Aruna melemparkan bingkisan yang telah di bukanya. orang-orang berdatangan termasuk Julian. Ia orang yang pertama kali sampai di ruangan wanita itu, sementara Raven dia di gendong Vincent.
"Ada apa? Kenapa berteriak?" tanya Julian panik.
Aruna hanya menunjuk bingkisan itu, sontak Julian memundurkan badannya, lalu memeluk Aruna. Bingkisan berisi bangkai anak ayam berlumuran darah segar bisa-bisanya ada di sana. Pria itu memberi isyarat agar seseorang membereskan itu.
Karena tidak tega, akhirnya Julian memutuskan untuk ikut mengantar Raven pulang. Ia menggendong Aruna keluar dari ruangan itu, membawanya masuk ke dalam mobil. di susul Vincen yang masih menggendong anak kecil itu. Mereka duduk di bangku belakang.
Tanpa basa-basi Vincent melajukan mobil dengan kecepatan lebih cepat dari biasanya. Ia ingin segera sampai di rumah Aruna. Dan tidak akan membiarkan mereka dalam bahaya, ia sangat patuh dengan perintah Julian.
"Aya-" Raven menutup mulutnya saat hendak keceplosan memanggil Julian dengan sebutan ayah. "Paman," ia melanjutkan ucapannya.
Julian menoleh ke arah Raven. "Iya, ada apa Raven?"
"Paman menginap di rumah kita, ya. Aku takut ada orang jahat yang akan menyakiti mama lagi. Aku belum cukup besar untuk melindungi mama," ucap anak itu dengan nada lirih, rupanya ia juga merasakan kesedihan setelah apa yang menimpa mereka hari ini.
Julian menoleh ke arah Aruna, seakan memberi isyarat untuk menyetujuinya. Namun, wanita itu menggelengkan kepalanya. Baiklah berarti ia harus menolak permintaan anak kecil itu. "Maafkan paman, Raven. Tapi paman masih harus bekerja nanti malam," ujarnya berbohong.
Anak itu menunduk dengan wajah yang tertekuk kecewa air matanya mulai menggenang di pelupuk. Ia sangat berharap tidur malamnya akan di temani oleh pria yang di panggilnya ayah itu. selama ini ia belum pernah merasakan bagaimana keseruan tidur di temani seorang ayah.
Hati Julian tersentuh melihat Raven seperti itu. "Paman temani sampai kau tidur saja, boleh?" tanya Julian mencoba menawar.
Raven menoleh cepat ke arah Julian. "Sungguh, paman mau menemani aku?" ia balik bertanya seraya menatap pria itu penuh harap.
Julian menoleh ke arah Aruna, mereka saling menatap sejenak, lalu wanita itu mengangguk pelan. "Ya, tentu," jawabnya seraya mengusap lembut rambut Raven.
Anak itu bersorak seraya melompat bahagia. Aruna dn Julian menatapnya dengan senyum layaknya keluarga lengkap yang bahagia. Selama ini Raven tidak pernah sebahagia itu.
"Terima kasih, ya. Berkatmu Raven terlihat senang hari ini," ucap Aruna dengan sedikit senyum di bibirnya.
Julian hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. Tidak bisa di pungkiri ia juga sangat bahagia hari ini, sikap Aruna yang mulai luluh, dan juga Raven yang sangat dekat dengannya, rasanya seperti mendapat rejeki nomplok.
"Kalau kau tidak menghindari aku selama itu, mungkin kita sudah bahagia," batin Julian seraya menatap hangat ke arah Aruna.
"Seandainya aku jujur sejak awal, pasti Raven akan bahagia," batin Aruna seraya menatap putranya itu.
Tidak terasa mobil yang mereka tumpangi telah sampai di pelataran rumah Aruna. Vincent gerak cepat membukakan pintu mobil mereka. Julian menggendong Raven sambil tertawa riang bersama bocah itu.
Aruna yang berjalan di belakang mereka tersenyum, melihat keakraban itu. Sepertinya selama ini ia salah menduga. Ternyata pria itu sangat baik kepadanya dan juga sangat anak. padahal ia belum mengetahui kalau itu anak kandungnya.
"Raven langsung ke kamar, ya. Bersih-bersih dulu, nanti kita makan malam bersama," ucap Aruna sambil menggandeng tangan Raven ke kamarnya.
Julian duduk di ruang tamu, netranya menjelajahi ruangan itu. Banyak sekali foto Raven bertebaran di dinding. Perlahan ia melangkahkan kaki, mengamati gambar anak itu satu persatu. Ia mengeluarkan dompet dari saku celananya, lalu membuka dompet itu. Ia membandingkan foto masa kecilnya dengan foto anak itu. Benar-benar bagai pinang bak di belah dua. Hatinya semakin yakin kalau Raven itu anaknya.
"Sangat mirip, dan kau masih bilang dia bukan anakku." Julian terkekeh, teringat malam itu, walau agak ragu. Berarti dia telah menggagahi Aruna. Wanita itu hanya tidak mau mengakui saja.
Aruna keluar dari kamar Raven, tak sengaja melihat Julian yang sedang memegang foto anaknya seraya senyum-senyum. Ia mengerutkan alisnya bingung, ada apa dengan pria itu?
tangan Julian terulur pada foto yang lain, ia kagum melihat Raven tumbuh dengan sempurna, bahkan saat baru lahir anak itu sudah memancarkan cahaya yang membawa kebahagiaan untuk Aruna.
"Sedang apa?" tanya Aruna seraya melipat tangan ke dada memandangi pria itu.
pria itu melangkah menuju ke arahnya. "Apakah kebetulan foto Raven sangat mirip dengan ini?" tangannya mengulurkan dompet berisi fotonya sewaktu masih seusia Raven.
Aruna mengamati foto itu dengan seksama. ia pun tidak bisa membedakan yang mana Julian kecil yang mana Raven. Ia memalingkan pandangannya. "Kau tidak tahu di dunia ini punya tujuh kembaran? Mungkin anakku salah satunya," ucapnya seraya menatap penuh keyakinan.
Julian hanya terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Aruna. Ia menatapnya dari jarak yang sangat dekat. "Kita lihat saja nanti, apakah aku benar-benar ayahnya atau bukan!" desisnya, lalu tersenyum miring.
Aruna menggigit bibirnya cemas. Bagai mana kalau pria itu melakukan hal di luar dugaannya. Bisa-bisa ia tahu kalau Raven adalah darah dagingnya. "Ya, kalau suatu saat nanti kau tahu, berarti memang sudah waktunya kau mengetahui semuanya," ucapnya di dalam hati.
Julian kembali duduk dan Raven tiba-tiba berlari ke arah pria itu. "Ayah," ucapnya keceplosan, lalu menutup mulutnya.
"Apa! Kau panggil di apa Raven? Telinga mama tidak salah dengar?" tanya Aruna terkejut, sekaligus panik. Kenapa anak itu bisa memanggil Julian dengan sebutan Ayah.
Raven bersembunyi di pelukan Julian. Pria itu menatap tajam ke arah Aruna. "memangnya ada yang salah? Aku tidak keberatan dia memanggilku dengan sebutan ayah. Kau jangan egois, dia juga butuh sosok ayah,"
Embusan napas panjang meluncur dari bibir Aruna, berusaha menetralisir rasa paniknya. Bagai mana pun ucapan pria itu ada benarnya. Ia selama ini memang sudah egois. "Baiklah, rupanya kalian sudah seakrab itu sekarang," ucapnya pasrah.
Julian tersenyum, lalu mengulurkan telapak tangannya untuk bertepuk kemenangan dengan Raven. Benar-benar ayah dan anak yang kompak.
"Ayo makan malam," ucap Aruna dengan wajah datar. Ia sudah merasa di kalahkan oleh dua orang pria di hadapannya.
karena sudah lapar Julian dan Raven menurut saja. Mereka duduk di meja makan, sederhana dengan tiga kursi hanya pas buat mereka. Gambaran keluarga kecil yang bahagia.
Sejenak Julian hanya menatap beberapa menu sederhana di atas meja. Ia hampir tidak pernah makan masakan rumahan seperti ini, jadi dia antusias untuk melahapnya.
"Wah, enak sekali," ucapnya saat memasukan satu suapan pertamanya ke dalam mulut.
Raven dan Aruna saling melirik melihat Julian makan. Mereka terheran-heran kenapa orang kaya suka masakan seperti itu, bahkan kebanyakan orang tidak ingin memakannya.
"Pelan-pelan, ayah nanti tersedak," ucap Raven, lalu terkekeh.
"Masakan mama enak sekali, pantas saja kau terlihat gemuk, pasti makanmu banyak," ujar pria itu mengundang gelak tawa di antara mereka.
Malam ini benar-benar malam yang berbeda untuk Aruna, rasanya ia memiliki keluarga yang utuh. Ia pun larut dengan canda tawa itu, seakan melupakan kebenciannya kepada pria itu.
Sejak ibunya meninggal Julian selalu merasa kesepian dan hidupnya terasa tak berarti. Namun, setelah ia bertemu dengan Aruna dn Raven semuanya berubah. Entah, ia tiba-tiba ingin memperbaiki diri menjadi lebih baik, dn mungkin suatu hari nanti akan memikirkan punya pasangan yang seperti Aruna, dn berniat membatalkan pertunangannya dengan Celine. Ia hanya menunggu waktu yang tepat.
Sebenarnya ayah Julian sangat menginginkan cucu dari julian, terutama cucu laki-laki. Sejak awal perjodohan ia selalu menagih untuk segera menikah dan kasih dia cucu laki-laki.
Kini Julian menemani Raven di dalam kamar tidurnya duduk di ranjang dan anak itu merebahkan kepalanya di pangkuannya. Sementara Aruna duduk di kursi di sebelah ranjang. Menyaksikan putranya itu bermakna di pangkuan pria itu, hingga akhirnya tertidur pulas.
"Andai dia anakku, aku bahagia sekali memilikinya," gumam Julian yang masih bisa terdengar oleh telinga Aruna.
Aruna tersenyum seraya menatap putranya. "Dia memang anakmu,"
Terima kasih.