Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan yang terkuak
Pagi ini, langit terlihat cerah, burung-burung berkicau merdu, suasana pagi terasa sejuk dan menyenangkan. Namun, berbeda dengan suasana hati Aziya, baru mendudukkan dirinya dibangku miliknya, Gabriel malah muncul di depan kelas Aziya. Tatapannya dingin, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda, lebih tajam, seakan meneliti setiap gerak-gerik Aziya.
“Kenapa lo liatin gue kayak gitu?” tanya Aziya ketus.
Gabriel tidak langsung menjawab. Ia hanya mendekat, lalu berbisik, “Kebiasaan kamu berubah. Cara kamu makan, cara kamu ngomong, bahkan tatapanmu."
Aziya tercekat. Wajahnya tetap datar, tapi jantungnya berdetak kencang. “Maksud lo?”
Gabriel menyeringai miring, tapi senyumnya hambar. “aku pacar kamu. Kamu pikir aku gak bakal sadar?”
Aziya ingin menjawab, tapi suara tawa nyaring memotong. Azura masuk ke kelas, membawa seikat bunga di tangannya.
“Gabriel! Aku bawain bunga buat kamu.” Senyumnya manis, tapi matanya sekilas melirik tajam ke arah Aziya.
Suasana langsung hening. Semua siswa menatap dengan terkejut. Azura, terang-terangan menunjukkan perasaan pada Gabriel.
Aziya tersenyum miring.
Gabriel menatap Azura datar, lalu tanpa basa-basi meraih tangan Aziya. “Maaf, gue udah punya dia.”
Seketika, suasana kelas riuh. Semua orang berbisik-bisik. Azura menegang, tangannya yang menggenggam bunga bergetar, lalu remuk di genggaman.
Aziya meliriknya sekilas, menatap penuh kemenangan. Tapi jauh di dalam hati, ia merasakan sesuatu yang aneh. Kenapa perasaan ini… terasa hangat ketika Gabriel memilih dirinya?
Koridor sekolah terasa riuh. Semua orang masih membicarakan kejadian pagi tadi, saat Gabriel dengan terang-terangan menolak Azura dan memilih Aziya di depan kelas.
Aziya berjalan santai, wajahnya datar, tapi dalam hatinya tersenyum puas. Jatuhnya lawan paling enak emang pas lagi di puncak.
Jam menunjukkan waktunya makan siang. Aziya duduk di kantin dengan tatapan malas, memainkan sedotan di gelas jus stroberinya. Beberapa teman kelas masih berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Dia tidak peduli.
Sampai akhirnya suara centil nan menyebalkan terdengar.
“Oh, ternyata bener ya, kalian lagi bareng?” Azura muncul, wajahnya penuh senyum manis, tapi matanya menusuk tajam ke arah Aziya. Ia menaruh kotak makan di meja mereka.
“Gabriel, aku bikinin makanan kesukaan kamu. Aku tahu Zira nggak bisa masak, jadi… kamu pasti pengen masakan rumah, kan?”
Gabriel yang duduk di samping Aziya hanya menatap datar. “Gue gak butuh.”
Azura tersenyum makin lebar. “Masa sih? Sedikit aja, cobain ya?”
Aziya menahan senyum miring, tangannya meraih kotak makan itu. “Kalau dia gak mau, gue yang coba deh.”
Azura sempat terkejut, tapi cepat menguasai diri. “Oh, silakan.”
Dengan santai, Aziya mengambil sumpit, lalu memasukkan sesuap makanan ke mulutnya. Ia mengunyah pelan, tatapannya menancap pada Azura.
“Hmm…” suara Aziya menggantung. “Rasanya… aneh.”
Wajah Azura menegang sesaat, tapi ia tersenyum lagi. “Mungkin karena lidah kamu gak terbiasa.”
Aziya meletakkan sumpit, lalu menatapnya dalam. “Atau… mungkin karena lo sengaja nyampurin sesuatu?”
Orang-orang di meja sekitar langsung membelalak. Bisik-bisik makin keras. Azura terdiam, wajahnya memucat sepersekian detik.
Gabriel menoleh tajam ke arah Azura. “Benar?”
Azura cepat menggeleng. “Nggak! Aku cuma—”
Tapi Aziya menyelanya. Ia berdiri, tubuhnya condong ke arah Azura, wajahnya hanya beberapa inci darinya.
“Lo kira gue sebodoh itu buat gak sadar?” bisiknya pelan, tapi cukup terdengar oleh meja sekitar. “Next time, kalau lo mau ngeracunin orang… jangan terlalu obvious.”
Semua orang di sekitarnya langsung gaduh. Beberapa sudah mengeluarkan ponsel, merekam kejadian itu.
Wajah Azura memerah antara malu dan marah. “Kamu gila! Aku nggak—”
BRAK!
Aziya menutup kotak makan itu dengan kasar, hampir mengenai tangan Azura. Ia tersenyum tipis.
“Gue kasih kesempatan. Sekali ini aja. Tapi ingat…” tatapannya menusuk, dingin. “Lo salah pilih lawan. Gue bukan Azira yang dulu bisa lo injek-injek.”
Azura terdiam, tubuhnya bergetar menahan emosi.
Aziya mengambil gelas jusnya, meminumnya santai seolah tak terjadi apa-apa. Setelah itu ia menarik tangan Gabriel.
“Ayo, El. Gue muak liat orang sok manis.”
Gabriel hanya tersenyum samar, mengikuti Aziya tanpa protes.
Sementara itu, Azura duduk terpaku. Kotak makannya tergeletak tak tersentuh. Pandangan semua orang kini tertuju padanya—penuh curiga, bahkan jijik.
Air matanya menetes, tapi genggaman tangannya mengepal kuat. Gue bakal balas. Demi harga diri gue… Zira harus hancur.
Di lorong sepi menuju kelas, Gabriel akhirnya membuka mulut.
“Tadi… kamu sengaja bikin dia jatuh di depan orang banyak, kan?”
Aziya melirik sambil tersenyum miring. “Emang kenapa kalau iya?”
Gabriel menatapnya lama, lalu menggeleng kecil. “Entah kenapa… aku malah makin gak bisa lepas.”
Aziya berhenti melangkah, menatap matanya. “Hati-hati, El. Orang yang terlalu dekat sama gue biasanya bakal… terluka.”
Gabriel tersenyum tipis, mendekat hingga jarak mereka nyaris habis. “Kalau itu harganya buat bisa sama kamu… aku rela.”
Aziya menahan napas, tapi sebelum ia sempat menjawab, suara sepatu berlari terdengar dari arah belakang.
Seorang teman menghampiri dengan wajah panik. “Zira! Lo harus lihat! Azura pingsan di kantin, katanya gara-gara makanan yang lo makan tadi!”
Aziya dan Gabriel saling berpandangan. Bibir Aziya terangkat tipis.
"Apa itu bagian dari drama dia lagi?"
★★★
Ruang remang-remang itu dipenuhi suara ketikan Lotte. Wajahnya disinari cahaya biru layar komputer, sementara Aziya menunggu dengan menatap fokus layar komputer.
“Zi…” Lotte bersuara pelan, tapi nadanya tegang. “Gue nemu sesuatu.”
Aziya langsung mendekat. “Apa itu?”
Lotte memutar layar. “Data kelahiran Azira dan Azura. Mereka tercatat sebagai kembar, tapi jelas-jelas hasil tes medis nunjukkin kalau mereka bukan kembar identik. Itu wajar kalau nggak mirip. Tapi… lo, Zi… DNA lo jauh lebih dekat ke Azira daripada Azura.”
Aziya membeku. “jadi bener firasat gue, kalau dia sodara gue?"
“Justru itu yang bikin aneh,” Lotte mencondongkan tubuh. “Lo seharusnya nggak ada hubungan sama mereka. Tapi rekaman DNA bilang lain.”
Aziya menggigit bibir. “Berarti ada yang salah sejak awal.”
Lotte kembali mengetik cepat, membuka file lama rumah sakit. “Gue dapet arsip yang dikunci rapat. Kayaknya ada yang sengaja ngubur data ini. Nama seorang perawat muncul berkali-kali… Marrina dia dulu pembantu di rumah keluarga lo.”
Aziya menatap Lotte dengan tegang. “Bukan cuma dulu, sampai sekarang.”
Lotte mengangguk pelan, wajahnya suram. "Beruntung kalau memang seperti itu." Ucap Lotte. “Dari dokumen yang gue bongkar, Marrina waktu itu baru melahirkan juga. Dia miskin, anaknya sakit-sakitan. Dia kerja di keluarga besar lo demi kasih hidup layak buat anaknya. Dan di hari kelahiran lo...” Lotte menelan ludah. “…dia menukar lo dengan Azura, bayinya sendiri.”
Aziya merasa dadanya sesak. “sialan!”
“Ini bukti,” Lotte menunjukkan catatan rahasia yang dicatat oleh salah satu bidan. “Ada dua bayi perempuan lahir. Tapi bayi yang keluar dari ruang bersalin dan dibawa pulang bukan yang sebenarnya. Marrina tuker kalian. Dia ambil lo… dan ninggalin anaknya buat tumbuh sebagai Azura.”
“Terus gue…?” suara Aziya bergetar.
“Lo dibuang,” jawab Lotte lirih. “Marrina nggak sanggup ngerawat dua bayi. Dia bawa anaknya yang sehat ke keluarga lo, biar dapat kehidupan layak sebagai ‘anak orang kaya’. Sementara lo, bayi asli keluarga itu… dibuang entah kemana. Dari situlah lo akhirnya bertemu sama ayah angkat lo."
“Zi,” Lotte menatapnya, “ini berarti lo bukan orang luar. Lo darah asli keluarga itu. Lo saudara kandung Azira yang seharusnya tumbuh bersama dia. Tapi lo dicuri masa kecilnya, dicuri identitasnya.”
Aziya mengepalkan tangan, tubuhnya bergetar. “Marrina… dia buang gue, demi kasih hidup mewah ke anaknya sendiri. Gue nggak akan diem. Gue bakal bongkar semuanya."
Lotte mengangguk mantap.
Cahaya layar komputer redup, tapi sorot mata Aziya kini menyala penuh dendam. Untuk pertama kalinya, ia tahu arah penyelidikannya.