Wanita yang sering menangis dalam sujudnya, dia adalah Syifa Salsabila, seorang istri yang selalu dihina dan direndahkan ibu mertua dan saudara iparnya lantaran ia hanya seorang ibu rumah tangga tanpa berpenghasilan uang membuatnya harus berjuang. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang tak kenal lelah akhirnya kesuksesan pun berpihak padanya. Akankah ia balas dendam setelah menjadi sultan? ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FAMALIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Syifa langsung memalingkan wajahnya, ia ingin segera menyelesaikan aktivitas menyapu itu supaya bisa cepat-cepat masuk rumah.
"Nasib kamu malang banget, Syif. Sudah hamil besar bukannya disayang dan dimanja oleh keluarga, eh malah di tekan dan ditindas, sungguh aku melihatnya saja nggak tega," gumam Zaki masih terus memandangi wanita penghuni hatinya saat ini.
Di dalam rumah Fani menghampiri kakaknya "Kak Fahri, bagi uangnya dong! Mau jajan uangku habis nih," pintanya tanpa rasa malu.
"Hobi rebahan kok minta uang?!"
"Ah bilang saja Kak Fahri pelit!"
"Fani, kamu itu sudah punya suami seharusnya kamu nggak boleh berlama-lama disini, kamu harus pulang ke rumah suami kamu supaya diberi nafkah lahir dan batin!"
"Nggak mau ah! dirumah mas Prio aku nyelesain pekerjaan rumah sendirian seperti pembantu, tapi kalau disini aku kan seperti ratu,"
"Maksudmu dengan melimpahkan semua pekerjaan di rumah ini pada istriku? Kamu keterlaluan, Fan!"
"Biarin, Bapak dan ibu saja nggak keberatan kok."
Tanpa sengaja Harun mendengar percakapan itu "Sebenarnya Bapak nggak setuju sih kamu menelantarkan suami kamu dengan tinggal disini, Bapak sependapat dengan kakakmu Fahri bahwa kamu harus segera pulang kerumah suami kamu!"
"Berarti Bapak mengusirku nih?"
"Bukan begitu maksudnya, bapak hanya ingin kamu sebagai istri itu yang berbakti pada suami, karena setelah bapak nikahkan kamu dengan Prio dulu semua kewajiban dan peran bapak di ambil alih olehnya, termasuk hak atas dirimu pun lebih berhak Prio daripada bapak, Fan."
"Mana bisa seperti itu, Bapak dan ibu kan yang merawatku sejak kecil sedangkan mas Prio kenal aku sudah dewasa, jadi nggak adil banget kalau hanya dengan seperangkat alat sholat saja mas Prio jadi berkuasa penuh atas diriku."
"Inilah pentingnya ilmu agama supaya bisa menuntun hidupmu ke arah yang lebih baik dan lurus, bukan seenaknya sendiri kayak gitu!"
"Loh kok bapak jadi ketularan kak Syifa? dimabuk agama??"
"Terserah lah! ngomong sama kamu itu percuma! Kamu persis seperti ibumu susah dinasehati yang ada malah ngelawan terus."
"Emang Bapak yang salah, jadi wajar dong kalau ibu dan Fani menentang?!" sahut Rita tak terima.
"Udah, udah! Capek ngomong sama kalian berdua, mending sekarang bapak ke masjid aja tilawah Qur'an disana biar hati lebih tenang dan damai." ujar Harun sambil bersiap memakai peci.
"Eh bentar, Pak!" tahan Fani.
"Ada apa lagi?"
"Bapak juga nggak mau ngasih uang ke aku?"
"Nggak! Biar kamu pulang ke rumah suami kamu!"
"Ya udah, aku minta sama ibu aja kalau gitu,"
"Ibu juga nggak punya uang, kemarin buat arisan sudah habis semua!" jawab Rita.
"Ah kalian semua pelit, pasti ini gara-gara kak Syifa datang ke rumah ini membawa pengaruh yang buruk,"
"Astaghfirullahaladzim, kok aku yang disalahin lagi sih?" sahut Syifa baru kembali dari menyapu halaman diluar rumah.
"Emang gitu faktanya, semenjak ada kak Syifa rumah ini sering ribut, banyak ketiban sial dan satu lagi kak Syifa itu pingin merebut hati kak Fahri dari ibu kan??"
Mendengar itu Syifa enggan lagi menjawab, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan sambil di iringi perasaannya yang hancur.
"Sayang, nggak usah dengerin apa kata Fani! anggap aja perkataannya itu hanya angin lewat yang nggak perlu didengerin!"
"Iya, Mas. Aku masuk kamar dulu,"
"Heum, yuk Mas temani."
"Coba aja dulu Kak Fahri mau menikah dengan kak Tania, pasti jadi ikut terpandang dan banyak uang,"
Fahri yang masih mendengar ucapan Fani, seketika amarahnya jadi terpancing seolah ia ingin menutup mulut adiknya itu.
"Udah, Mas. Jangan diladenin! Dek Fani itu sifatnya nggak mau kalah, jadi nggak bakal ada hentinya kalau terus ditanggepin,"
"Tapi dia sudah keterlaluan, Syif. Semakin kesini Fani semakin menjadi sifat buruknya, hmm ... Mas sampe bingung harus berbuat apa,"
"Menurutku solusi yang paling tepat adalah seperti bapak tadi, hindarin dan memilih melakukan hal yang positif."
"Tapi nggak semua orang hatinya bisa seluas samudra seperti dirimu dan bapak,"
"Iya sih, terkadang sifat seperti itu memang butuh effort penuh melawan hawa nafsu kita, yang penting banyakin doa, biar hati kita dibimbing sama Allah."
"Masya Allah, mas sangat bersyukur mempunyai istri seperti kamu, Sayang."
"Bersyukur lah sama Allah, karena hatiku ini sepenuhnya atas kuasa-Nya."
"Heum." Fahri mencium tangan Syifa sebagai bentuk rasa syukur dan kasih sayangnya.
*
*
Satu bulan kemudian, usia kandungan Syifa kini memasuki 9 bulan, ia sudah banyak mengurangi rutinitas kesehariannnya, ia hanya fokus menunggu waktu kontraksi tiba.
"Popok sudah, baju ganti sudah, semua peralatan baby juga sudah, terus apalagi yang belum ya?" gumam Syifa sambil mengemas-ngemas semua perlengkapan persalinannya.
Rita melihat apa yang dilakukan Syifa, hingga membuatnya teringat kembali dengan masa saat ia baru melahirkan Fahri dan Fani "Eh Syifa, nanti kalau anakmu sudah lahir, mending kamu pulang ke rumah ibumu saja! Karena ibu nggak mau dengar bayi sering nangis dirumah ini!" pinta Rita.
"Iya, Bu. Nanti aku bilang ke mas Fahri dulu kira-kira gimana kalau harus berangkat dan pulang kerja dari rumah orang tuaku."
"Maksud ibu, kamu sendiri bersama bayimu itu yang tinggal di rumah orang tuamu, sedangkan Fahri biar tetap tinggal disini!"
"Mana bisa seperti itu, Bu? aku dan mas Fahri nggak mungkin tinggal berpisah, apapun kondisinya kami harus tinggal bersama satu atap!"
"Terus kamu ingin memisahkan ibu dengan anak laki-laki ibu satu-satunya gitu, ha??"
"Bu, mengerti lah, sampe kapan pun aku dan bayi ini sangat butuh peran mas Fahri sebagai suami dan ayah dari bayiku ini!"
"Tapi kalau kamu tetap tinggal disini, jujur ibu terganggu dengan tangisan seorang bayi ditengah malam, gangguin orang tidur saja, tahu nggak?!"
"Astaghfirullah, ibu kan pernah di posisi aku kenapa bisa bilang seperti itu, Bu? Sungguh itu nggak baik!"
"Justru karena ibu pernah merasakannya jadi nggak ingin terulang lagi nggak bisa tidur karena mendengar tangisan bayi setiap malam,"
"Coba nanti aku bicarakan dulu sama mas Fahri, Bu."
"Apapun jawaban Fahri, pokoknya ibu ingin Fahri tetap tinggal disini dan kamu tinggal bersama orang tuamu!"
"Itu nggak mungkin, Bu!"
"Kita lihat saja nanti, Fahri akan lebih memilih siapa diantara ibu dan kamu!"
"Bu ...?"
"Udah nggak usah mendebat ibu lagi!" ucapnya lalu pergi begitu saja.
Syifa yang awalnya begitu antusias dan bahagia menyambut kelahiran bayinya, kini mendadak ia sedih dan bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba "Aduh, aduh, perutku sakit banget ... Apakah ini yang dinamakan kontraksi ya?" Rintih Syifa sambil memegangi perutnya.
Syifa berusaha berdiri untuk meminta pertolongan, tapi ia terkaget lebih dulu saat melihat ...
Bersambung ...