Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Dengan petunjuk dari GPS, mobil yang dikemudikan Daisy tiba di tempat tujuan. Halaman kelab tersebut ramai dipadati oleh orang-orang yang entah sedang mengerubungi apa. Sepertinya ada kejadian di lokasi.
Daisy turun dari mobil untuk lekas mencari serta menangkap basah Singgih yang mungkin saat ini sedang bersenang-senang dengan para gadis seksi di dalam kelab. Dan, tahu-tahu siku lengannya ditangkap oleh seseorang. Daisy mengesiap dan memutar kepala ke samping. Kaget saat mendapati Azka yang tengah menahannya.
"Jangan ke sana!"
"Kenapa?"
"Lagi ada perkelahian."
Daisy tak peduli. "Mau ada perkelahian kek, mau ada apa kek. Mana Singgih?"
Azka ragu menjawabnya. "Itu... dia yang berkelahi."
"Apa? Kok bisa?"
Daisy yang panik gegas menghampiri ke arah keramaian. Namun, siku lengannya kembali ditahan oleh Azka, lalu menyeret lengan Daisy dan membawa kliennya itu menjauhi keramaian.
"Dia ngapain sih? Sampai bisa berantem gitu? Dia ngegodain cewek-cewek?" Daisy mondar-mandir cemas. Langkahnya ingin berlari dan melihat keadaan Singgih.
"Sepertinya pernah terjadi sesuatu antara Singgih dan Rolan."
"Mungkin cewek..." Kemudian Daisy tercekat seakan teringat sesuatu saat tidak sengaja mendengar percakapan antara Singgih dan Reas di rumah Nek Ipon. "Ajeng?"
"Tahu dari mana?" kaget Azka. "Tapi masalahnya bukan soal cinta segitiga. Yang gue dapat infonya, Ajeng ini saksi di kasusnya Singgih."
"Singgih benaran pernah di penjara?"
Azka mengangguk.
"Kasus pembunuhan?"
Sekali lagi Azka mengangguk.
Tubuh Daisy memaku lunglai. Jadi, yang dikatakan Singgih di apartemennya... beneran. Ia pikir saat itu Singgih hanya bergurau karena tidak ingin bekerja dengannya. Astaga. Dan, ia membiarkan seorang pelaku tinggal di apartemennya. Gila kamu, Dai. Kalau sampai Gendis dan Sofie tahu... keluarganya tahu... oh, ia tak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada Singgih.
Daisy hanya bisa berdiam diri. Herannya adalah laki-laki itu begitu mudah menceritakan mengenai dirinya yang adalah mantan napi.
Kejujuran Singgih tersebut patut diacungi jempol. Artinya, Singgih memulai hubungan kerja dengannya tanpa ada yang ditutupi. Justru jika ia mendengar ini dari orang lain, mungkin ia akan langsung menjauhi Singgih. Hei, bukankah tak ada manusia yang dilahirkan jahat? Terkadang lingkungannyalah yang membuat manusia itu jahat.
"Lalu apa hubungannya dengan Rolan?"
"Mereka teman SMA. Singgih tadi juga bilang kalau dia punya bukti yang bisa membuktikan dia nggak bersalah."
"Apa mungkin dia dijebak?" Daisy langsung cepat tanggap.
"Gue kurang tahu. Tapi ngelihat dari sikap Singgih yang begitu ingin mencari Ajeng," Azka coba menduga, "gue rasa Ajeng kunci utama di kasus itu."
"Cari tahu lagi. Akan kubayar berapa pun," desak Daisy.
"Tenang aja." Azka mengukir senyuman paling semringah. "Gue pastiin elo akan dapat info yang sangat akurat."
Daisy melihat Singgih berjalan sempoyongan di kejauhan. Kakinya ingin bergerak menuju ke tempat Singgih. Namun, urung saat ia harus mempertimbangkan banyak hal jika ia mendadak muncul di sana. Bisa-bisa ia akan dijadikan santapan lezat bagi pemburu akun-akun gosip―yang kemungkinan besar akan berimbas pada keluarga Ekadanta.
"Azka, bisa minta tolong bawa dia ke rumah sakit. Biaya rumah sakitnya, semuanya atur sajalah."
"Oke."
Azka berlari menghampiri Singgih yang berdiri di pinggir jalan.
*
Sebuah bogeman mentah berhasil dilayangkan hingga orang itu jatuh tersungkur. Singgih kehabisan napas. Ia mengamati satu per satu dari keenam orang yang tiba-tiba saja menyerangnya tanpa alasan, yang kini sudah berhasil ditumbangkannya. Mereka mengaduh serta merintih kesakitan, bahkan tak ada satu pun dari mereka yang sanggup untuk bangun dan melawan Singgih.
Rasanya ia ingin memaki orang-orang yang telah menyerangnya ini. Kenapa ia diperlakukan seperti ini? Apa kesalahannya? Selama ini ia mengikuti aturan, bahkan di sekolah pun ia menjadi anak yang selalu mengukir prestasi.
Kemampuan taekwondo yang dipelajarinya sejak kecil pun beberapa kali membawanya pada kemenangan. Uang hasil pertandingan taekwondo tersebut digunakannya untuk biaya hidupnya. Seseorang yang sebatang kara seperti dirinya selalu berjuang sendiri.
Karena itulah, ia tak ingin dirinya diinjak-injak seperti sampah begini. Setidaknya ia harus tahu siapa orang dibalik penyerangan ini.
Singgih merogoh saku celana orang terakhir yang berhasil ditumbangkannya―sepertinya orang ini adalah ketuanya, karena orang ini yang terus menerus memberikan aba-aba pada kelima anak buahnya―dan berhasil menemukan ponsel orang itu. Tak ada pemberontakan dari pemilik ponsel, karena orang itu sudah tak memiliki daya untuk melawan.
Singgih mencari panggilan terakhir pada ponsel. Lagi-lagi ia menemukan kata bos tertulis pada layar. Ia tak ingin berspekulasi sebelum mengetahui siapa bos yang dimaksud ini. Nada sambung pada telepon terhubung.
"Sudah dibereskan?"
Singgih memutar kepalanya, merenggangkan lehernya yang nyaris kaku.
"Dulu kamu mengataiku ta*, sekarang siapa yang lebih ta*?" geram Singgih.
Bos di seberang sana terdiam.
"Dengan begini aku semakin yakin untuk menjebloskanmu ke penjara. Rolan Hanggono." Singgih menutup sambungan telepon, lalu melempar ponsel itu.
Singgih beranjak berdiri dan nyaris limbung. Ia paksakan dirinya untuk melangkah meski dengan tubuh sempoyongan menembus barisan orang-orang yang mengerubunginya dan menjadikan perkelahian tadi sebuah aksi tontonan. Mungkin juga ada yang merekam, lalu mengunggahnya ke media sosial. Semoga aksinya tadi tak jadi viral karena berhasil mengalahkan enam orang yang bertubuh kekar dengan menggunakan tangan kosong.
"Ya ampun, lo nggak pa-pa, kan?"
Singgih mengernyit saat tahu-tahu ada seseorang yang menghampirinya.
"Ayo, kita ke rumah sakit."
"Nggak usah. Makasih."
Laki-laki itu mengangkat topi untuk memperlihatkan wajahnya.
"Taksi." Tangan laki-laki itu melambai memanggil taksi yang akan melintas.
Singgih menolak masuk ke taksi, tapi laki-laki yang sok kenal ini mendorong paksa tubuhnya ke dalam taksi. Akibat perkelahian itu membuat tubuh Singgih menjadi ringkih dan ia pun hanya bisa menurut pasrah.
"Rumah sakit atau klinik terdekat, Pak," pinta laki-laki itu pada pak sopir.
Taksi pun meluncur menuju ke rumah sakit terdekat.
Setibanya di rumah sakit, Singgih langsung mendapatkan perawatan di IGD. Wajah babak belur, lebam, serta darah yang menetes hanya membuat kernyitan di keningnya saat menahan sakit. Hidupnya sudah sakit, masa hanya karena luka seperti ini pun ia harus mengaduh kesakitan.
Singgih yang masih mendapatkan pengobatan dari dokter, menatap curiga pada laki-laki itu yang diam-diam melipir keluar untuk menelepon seseorang. Sepertinya orang itu bukan suruhan Rolan. Mana mungkin Rolan mengirim orang untuk membawanya ke rumah sakit, setelah Rolan menyuruh beberapa orang untuk menghajarnya.
Singgih meringis menahan sakit saat dokter menjahit luka di lengannya. Ringisan berikutnya adalah ungkapan gembiranya. Pasalnya, Rolan mulai terusik saat ia menyebutkan mengenai bukti kamera―yang sebenarnya bukti itu tidak pernah ada.
"Singgih, aku punya bukti yang bisa buktiin kamu nggak bersalah," ungkap Noela di hari itu saat mengunjunginya di tahanan.
"Udahlah, Noe," mohon Singgih. Lelah dengan segala harapan yang dijanjikan Noela. "Nggak ada bukti."
"Ada, Gih. Ada!" Noela menggebu-gebu penuh semangat. "Masih ingat siang itu Ajeng pakai baju apa?"
"Mana aku ingat."
"Coba diingat-ingat lagi. Dia pakai baju apa?" desak Noela masih bersemangat.
Singgih coba mengingat-ingat. "Hari itu Ajeng ikut cosplay. Dia berdandan―apa dia bilang... loli―loli apa gitu?"
Noela mengangguk tersenyum. "Rolan tahu Ajeng ikut cosplay?"
Kepala Singgih menggeleng. "Setelah kejadian itu, Rolan nggak mau tahu tentang Ajeng lagi."
"Yakin Rolan udah nggak mau tahu lagi tentang Ajeng?"
Terdiam Singgih.
"Ajeng, di mana sih kamu?" wajah Noela menggeram kesal. "Dia kan, pacarmu. Harusnya dia benar-benar bersaksi. Bukannya malah membuatmu di penjara. Sepertinya gosip itu memang benar. Ajeng memberikan kesaksian palsu demi sekolah kedokterannya. Dasar." Tangannya mengepal erat. "Nggak punya malu."
Tak ada bantahan dari Singgih. Karena memang benar begitulah situasi yang terjadi saat itu.
Jarum infus yang menusuk punggung tangannya berhasil menyadarkannya kembali dari ingatan kelamnya.
"Dokter Ajeng."
Kepala Singgih langsung menoleh ke arah panggilan itu. Dilihatnya seorang perawat sedang berbincang dengan seorang dokter―yang hanya tampak belakang dari pandangan Singgih.
Kemudian Singgih menunduk pada jarum infus yang sudah menancap dengan sempurna di kulitnya. Napasnya berembus lelah. Tentunya, di Indonesia ini ada lebih dari ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki nama sama. Hanya karena dokter itu bernama Ajeng lantas ia berharap perempuan itu adalah Ajeng. Orang yang dicarinya selama ini.
*
Daisy mondar-mandir seperti setrika di ruang tamu. Langkah kecilnya bolak-balik cemas. Sesekali menyibak tirai jendela untuk melihat apakah Singgih sudah datang apa belum. Gerbang rumahnya masih tertutup dan Pak Kus―satpam yang berjaga―sedang santai menikmati segelas kopi.
Suara derak gerbang terdengar. Daisy menuju jendela dan menyibakkan tirai. Tersenyum lega melihat mobilnya yang dikemudikan Singgih memasuki halaman rumah.
"Mah, berangkat!" Daisy menyambar tas di sofa.
Daisy tak bisa menutupi debar di hatinya kala langkahnya membawanya menghampiri Singgih.
Singgih melompat keluar dari mobil, gegas menuju sisi pintu belakang, dan membukakan pintu untuk sang tuan putri.
Bergeming tubuh Daisy melihat wajah penuh lebam sang bodyguard. Hatinya bahkan mendenyut sakit. Hasil dari laporan Azka mengatakan Singgih mendapatkan enam jahitan di lengan.
"Ini... kemarin jatuh." Singgih masih berdiri di samping pintu mobil yang terbuka.
"Sakit?" Daisy tak bisa mengontrol suaranya yang mulai berubah serak.
"Nggak." Singgih tersenyum menggeleng.
Melihat senyuman Singgih tak pelak membuat kedua ujung bibir Daisy mengangkat senyum. Ia lalu melompat masuk ke mobil.
Singgih menutup pintu mobil, lalu berjalan ke sisi kemudi.
Dalam perjalanan―masih sama seperti hari-hari kemarin―yang hanya diisi oleh suara DJ radio yang cuap-cuap menyapa pagi.
"Hari ini aku akan kembali tinggal di apartemen."
Hening pun kembali bergulir.
Jujur, Daisy merasa canggung dengan situasi ini―apalagi setelah ia mengetahui mengenai Singgih.
Status mantan napi yang disandang Singgih tentu akan menimbulkan masalah besar jika sampai keluarga dan sahabatnya tahu. Namun, ia berharap sangat dari penyelidikan Azka yang akan membawakan harapan bagi Singgih.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨