Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Pulang
Sudah hampir dua minggu sejak panggilan itu. Arka tidak pernah mencoba menelepon lagi. Ia benar-benar menepati janjinya memberi ruang.
Tapi bukan berarti ia berhenti mencintaiku.
Pagi itu, paket kecil datang ke rumah Tante Rina. Sebuah buku berbalut kulit hitam dengan pita abu-abu yang terikat rapi. Tidak ada catatan pengirim, hanya namaku di depan dengan tulisan tangan yang kukenal betul.
“Nayra,” kata Tante Rina, membawanya masuk ke kamar. “Ini dari... dia?”
Aku membuka pita itu perlahan. Buku harian. Khas Arka. Isinya bukan halaman kosong, tapi penuh tulisan tangannya rapi, bersih, dan jujur.
“Hari pertama tanpa kamu, aku kehilangan arah. Bukan karena aku tidak bisa hidup sendiri. Tapi karena ternyata, kamu adalah arah itu sendiri.”
“Hari keempat, aku duduk berjam-jam di ruang kerjamu. Di antara rak buku dan sandal tidur kamu yang belum kamu bawa. Aku sadar rumah bukan hanya tembok. Tapi aroma tubuh seseorang yang kamu tunggu pulang.”
Halaman demi halaman, aku baca dengan napas terhenti. Ia tak pernah meminta maaf secara terang-terangan, tapi setiap kalimat adalah permintaan maaf. Setiap pengakuan adalah luka yang ia bedah sendiri.
“Hari ketujuh, aku dengar suara kamu di telepon. Lelah, rapuh, tapi tetap kuat dan aku tahu, bahkan dalam kondisi seperti itu, kamu masih berusaha menjagaku dengan tidak membiarkanku menyakitimu lagi.”
"Kalau kamu baca ini, kamu belum harus pulang. Tapi tolong tahu satu hal aku menunggumu dan aku akan tetap menunggumu meski tidak tahu kapan pintu itu akan terbuka kembali.”
Tangisku pecah malam itu. Aku meremas buku itu ke dada, memeluknya seperti pelukan yang belum bisa terjadi.
Dan untuk pertama kalinya, aku menulis balasan, bukan dikirimkan.
Hanya ditulis di buku harian baruku.
“Ka... mungkin aku mulai memaafkanmu. Tapi aku belum memaafkan diriku sendiri, karena membiarkan diriku terjebak terlalu lama. Aku ingin pulang, tapi aku ingin pulang sebagai diriku sendiri bukan bayang-bayang dari perempuan yang kamu jaga terlalu erat.”
***
Tiga hari kemudian, ketenangan itu pecah lagi.
Tante Rina masuk ke kamar sambil membawa amplop cokelat besar dan ekspresi wajah yang tegang.
“Ini datang tadi siang, dari pengacara,” katanya pelan.
Aku duduk tegak. Jantungku berdetak tak karuan saat membaca kop surat di bagian atas.
KANTOR HUKUM — NADIR & PARTNER
Dalam surat itu disebutkan:
"Klien kami, Bapak Reno Dirgantara, telah mengajukan laporan atas dugaan pencemaran nama baik terkait beredarnya narasi yang menyebutkan dirinya merekam dan menyebarkan percakapan pribadi tanpa izin.”
"Klien kami merasa tercemarkan secara profesional dan pribadi, dan menuntut klarifikasi terbuka serta ganti rugi moral."
Tanganku gemetar. Aku nyaris tidak bisa membaca sisa kalimat lainnya.
“Dia gugat aku?” tanyaku setengah tak percaya.
Tante Rina meraih surat itu.
“Ini bukan cuma kamu, Nay. Nama Arka juga disebut sebagai pihak yang menyebarluaskan informasi ke dewan direksi. Dan kalau tidak segera direspons, bisa masuk ke meja persidangan.”
Kepalaku berdenyut. Aku hamil. Aku sedang memulihkan luka. Aku bahkan belum siap bertemu Arka dan kini Reno, lelaki dari masa lalu yang seharusnya sudah tenggelam dalam kenangan buruk kembali menyeretku ke dunia yang sama sekali tidak kuinginkan.
***
Aku duduk termenung malam itu, menatap layar ponsel. Jemariku bergetar di atas kontak “Arka”.
Butuh waktu sepuluh menit hanya untuk menulis satu kalimat.
Aku mengirim pesan singkat ke Arka malam itu. Hanya satu kalimat :
“Ka… kita harus bicara. Tentang Reno.”
Tak lama, balasan masuk.
“Aku akan menunggu panggilan video kamu kapan pun kamu siap. Aku tidak akan datang. Tapi aku akan ada.”
Itu bukan kalimat romantis. Tapi untukku, itu lebih menenangkan daripada seribu “aku cinta kamu.”
Kami akhirnya berbicara lewat video call malam itu. Aku duduk di kamar dengan hoodie besar dan wajah tanpa riasan. Di layar, wajah Arka tampak lebih tirus dari terakhir aku lihat. Tapi matanya tetap penuh perhatian.
“Kamu masih demam?” tanyanya pelan, penuh perhatian, tatapan penuh dengan rasa khawatir yang sangat mendalam.
Aku mengangguk.
“Tapi lebih stabil. Aku bedrest penuh sekarang.” Jawabku.
“Harusnya dari awal aku biarkan kamu istirahat di tempat aman, bukan malah membuat kamu tertekan…” Arka tidak melanjutkan kata-kata, karena dia takut ucapannya mungkin akan membuat Nayra merasa tertekan.
Aku menatapnya lama.
“Ka, kita sama-sama tahu kita punya bagian dalam luka ini. Sekarang kita fokus ke apa yang harus kita selesaikan.” Aku coba mengalihkan ke fokus utama kita berkomunikasi.
Aku menunjukkan surat yang kukirim ulang lewat email padanya. Arka membacanya dengan rahang mengeras.
“Dia gugat pencemaran nama baik? Padahal dia yang...” belum sempat Arka menyelesaikan ucapannya, aku langsung memotongnya.
“Aku tahu,” potongku cepat. “Tapi kita harus tangani ini secara hukum, bukan emosi.”
Arka menghela napas.
“Aku sudah hubungi pengacaraku. Kita bisa lawan balik dengan pasal pelanggaran privasi dan rekaman tanpa izin.” Jelas Arka.
Aku mengangguk. Tapi lalu berkata,
“Aku nggak kuat muncul di media. Aku hamil, Ka. Aku nggak siap kalau ini jadi konsumsi publik.” Tegasku.
Aku tahu kondisi tubuhku saat ini, aku takut ini akan mempengaruhi janin, aku tentu tidak mau hal buruk menimpa anakku, bahkan yang belum lahir.
Arka menatapku dengan sorot yang berbeda kali ini. Lebih lembut, lebih bijak.
“Aku akan lindungi kamu dan anak kita. Kita hadapi ini bareng. Tapi dengan cara yang kamu mau, dan aku janji aku nggak akan memaksa satu langkah pun.” Ucap Arka dengan penuh kehati-hatian.
Air mataku jatuh, bukan karena takut, tapi karena akhirnya Arka mendengarku.
Aku melihat Arka mengusap wajahnya, sekilas aku melihat lelehan air mata yang mengalir membasahi pipinya, namun dengan cepat Arka memalingkan wajahnya.
***
Esok harinya, aku menerima berkas resmi dari pengacara Arka. Ia sudah menunjuk tim hukum tambahan untuk menangani perkara Reno secara diam-diam, dengan satu syarat:
Nayra tidak perlu hadir kecuali sangat dibutuhkan.
Dan Arka... menepati janjinya. Ia tidak mendatangiku.
Tapi ia mengirimiku hal-hal kecil setiap pagi, vitamin, susu ibu hamil, dan kartu ucapan tulisan tangan seperti ini :
“Hari ini mungkin kamu mual lagi, tapi semoga kamu ingat, kamu tidak sendirian. Aku mungkin jauh, tapi hati kita tetap rumah.”
Tiga hari berturut-turut, hal kecil itu hadir di depan pintu dan tiga hari itu pula, hatiku mulai goyah.
Aku mulai bertanya pada diri sendiri, apakah aku siap untuk pulang?
Bukan ke rumah, tapi ke hati seseorang yang sedang berusaha menjadi tempat yang lebih aman.
Dan mungkin… jawabannya bukan “sekarang”.
Tapi aku tidak lagi berkata “tidak akan pernah”.