Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serpihan luka
Sena masih berdiri di tempat yang sama. Bahkan ketika suara motor Giovani menjauh, meninggalkan kampus dan menyisakan debu tipis di udara sore, ia tetap tidak bergerak. Hanya matanya yang perlahan tertutup, mencoba menelan getir yang tidak juga larut bersama napasnya yang kini memburu tak karuan.
Ia menggenggam kuat gagang kacamata yang sedari tadi terjuntai di tangan. Satu hentakan kecil dari jemarinya bisa saja mematahkannya, tapi ia tahu bukan itu yang harus dihancurkan, melainkan egonya.
Girisena Pramudito, pria yang dihormati di ruang kuliah, disegani oleh mahasiswanya, kini hanya seorang laki-laki biasa yang patah hati diam-diam. Ia tampak seperti siapa pun yang ditinggal tanpa tahu apa salahnya, walau tahu benar ia sedang bertarung dengan rasa yang tidak bisa sembarangan dimiliki.
Ia duduk di bangku beton dekat taman kecil depan fakultas. Kepalanya tertunduk, matanya menatap sepatu hitamnya yang bersih, meskipun hatinya terasa penuh lumpur.
Dilematis, antara ingin menghentikan perasaan, atau justru memperjuangkannya dengan lebih berani. Tapi bukankah Camelia sudah menunjukkan ketidaksukaan? Lalu, apakah perasaannya layak dipaksakan?
“Aku salah apa, Mel? Apa salahku kalau aku sayang sama kamu?” gumam Sena.
Suara itu tak lebih dari bisikan angin yang berusaha meneduhkan luka. Namun sayangnya, tidak ada angin yang benar-benar bisa menenangkan dada yang sedang sesak karena cemburu.
Pikirannya melayang ke pagi tadi, betapa ia begitu bahagia saat Camelia akhirnya bersedia duduk satu mobil bersamanya. Senyum Camelia di balik kaca jendela, caranya membentak saat tidak nyaman, bahkan tatapan sinisnya saat menolak permintaan maaf, semuanya tetap terekam manis di benaknya. Baginya, bahkan penolakan dari Camelia pun terasa lebih berarti daripada kesunyian dari siapapun.
Namun kini, rasa itu tergeser. Digantikan oleh senyum Camelia kepada pria lain—senyum yang tak pernah ia dapatkan, bahkan saat ia berusaha keras menjemput pagi-pagi, menunggu di ruang tamu, dan membawa rasa sesak sepanjang perjalanan.
Kalau cinta adalah kompetisi, maka hari ini Sena berada di posisi paling bawah. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ia tahu, mencintai bukan soal siapa yang lebih dulu hadir, tapi siapa yang bertahan paling akhir dan untuk itu, ia tidak akan menyerah.
“Gio mungkin bisa bikin kamu ketawa hari ini, Mel… tapi aku yakin, aku bisa jadi orang yang selalu ada saat kamu menangis dan mungkin, itu yang lebih kamu butuhkan nanti.”
Sena berdiri. Tidak ada niatan buruk dan tidak ada amarah. Hanya tekad sederhana yang kini tumbuh di hatinya. Jika Camelia bisa membuka diri untuk satu orang, maka bukan tak mungkin, ia juga bisa membuka hatinya untuk dua dan Sena akan menunggu, sampai pintu itu terbuka untuknya.
Mencintai itu bukan soal diterima atau tidak, tapi tentang bagaimana kamu tetap tinggal, bahkan ketika tidak ada yang memintamu untuk bertahan.
......................
Lelah, bukan hanya pada tubuh, namun juga pada hati. Itulah yang Sena rasakan saat melangkah pelan di koridor apartemennya. Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah beban hari ini terlalu berat untuk ditopang oleh punggung yang biasanya tegak.
Langkahnya gontai, nyaris tanpa suara. Saat ia sampai di depan pintu, tangan kirinya merogoh saku untuk mengambil kartu akses, sementara tangan kanannya menggenggam tas kerja dengan lesu.
Namun, sebelum ia sempat menempelkan kartu ke pintu, suara yang sangat familiar menyapa dari belakang.
“Mas Sena …”
Ia menutup matanya sejenak dengan rahang yang mengeras. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Tepat seperti isi pesan singkat yang ia terima tadi siang.
“Kamu baru pulang?” tanya perempuan itu. Ayuna Shakila—atau yang lebih akrab dipanggil Sasa.
Sasa, wanita cantik dengan gelar akademik mentereng, kini menjabat sebagai komisaris di sebuah perusahaan besar. Sasa adalah sosok masa lalu. Seseorang yang pernah mengisi hati Sena cukup lama. Seseorang yang dulu ia perjuangkan habis-habisan dan juga orang yang menghancurkan hatinya melalui pengkhianatan.
Tapi kini, semua sudah berlalu. Luka itu telah kering, meski bekasnya masih terasa ketika disentuh. Ia sudah mengikhlaskan semuanya, termasuk harapan-harapan yang dulu sempat ia bangun dengan Sasa.
“Ada apa?” tanya Sena, akhirnya menoleh dengan malas.
Sasa tersenyum lebar, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Rasanya sudah lama banget aku nggak lihat kamu, tapi kamu masih tetap tampan, ya, batinnya dalam diam. “Kenapa, sih? Kamu baru dari kampus, ya? Pasti lapar. Mau aku traktir makan?” tawarnya.
“Aku udah makan. Jadi, kamu pulang saja, Sa. Aku capek, mau istirahat,” jawab Sena singkat.
Sasa mengerucutkan bibirnya. “Kok kamu masih jutek, sih, sama aku? Bukannya kamu bilang udah maafin aku?”
“Memang, aku udah maafin. Tapi keadaan nggak bisa kembali seperti dulu, Sa. Setelah aku maafin kamu, emangnya kamu berharap apa? Semua bisa seperti semula? Nggak semudah itu. Jadi, aku harap kamu ngerti,”
“T-tapi… kamu masih cinta kan, sama aku?”
Sena menatapnya lama. Datar, juga penuh kecewa. “Kamu habis minum, atau habis pakai sesuatu? Omongan kamu ngelantur banget, Sa. Udah hampir dua tahun kita pisah dan kamu masih bahas soal itu? Basi.”
Dengan satu sentuhan ringan, ia menempelkan kartu akses ke sensor pintu, lalu mendorong daun pintu perlahan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia masuk, membiarkan Sasa berdiri sendirian di luar.
Dagu Sasa mulai gemetar, dan air mata mengalir begitu saja. Ia tidak menangis terisak, tidak berani. Tapi, hatinya remuk. Penyesalan memang selalu datang paling akhir dan Sasa kini merasakannya dengan utuh.
Andai saja dulu aku nggak tergoda sama uangnya Pak Sadewa, mungkin aku masih bisa ada di samping Sena sekarang. Menyiapkan sarapan untuknya, menyambutnya pulang dengan senyum, makan malam bersama, dan tertidur di bahunya. Tapi sekarang? Aku cuma jadi pengemis yang bahkan nggak pernah diingat lagi.
Begitulah penyesalan, selalu membungkam ketika semuanya telah pergi. Kadang, orang yang paling disakiti adalah orang yang paling tulus mencintaimu. Saat mereka memilih pergi, itu bukan karena mereka berhenti mencintai, tetapi karena mereka berhenti berharap.
Sasa tidak serta-merta menyerah. Ia masih berdiri di depan pintu unit Sena yang telah tertutup rapat, sambil menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak emosi yang mendesak keluar.
Meski ditolak dengan dingin, hatinya belum sanggup menerima kenyataan bahwa cinta yang pernah tumbuh begitu dalam kini berubah menjadi asing.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh tas selempangnya, mencari ponsel yang terselip di bagian dalam. Begitu layar menyala, jemarinya langsung mengetik di kolom pencarian ‘Mas Sena ku’ nama kontak yang sejak dulu tidak pernah ia ubah.
Nama itu masih tersimpan, masih utuh.
Sasa menekan ikon hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya. Suara sambungan terdengar, berdering berkali-kali.
“Please... angkat, Sayang.” gumamnya, hampir tanpa suara. Doanya melayang, berharap sedikit keajaiban bisa mengetuk hati pria yang pernah ia cintai dengan sepenuh hidupnya. Tetapi, tak ada jawaban.
Nada sambung terus berputar, mengiringi detik yang terasa begitu lama. Sasa menunduk, tapi bukan untuk menyerah, melainkan hanya untuk mengambil napas sebelum mencoba lagi. Ia menekan tombol merah, lalu tanpa ragu menekan ikon hijau kembali.
Panggilan kedua dan lagi-lagi, tidak dijawab. Layar ponsel memantulkan wajahnya yang semakin sendu, namun tekad di balik matanya masih menyala samar.
Untuk yang ketiga kali, ia mencoba menelpon kembali.
Dalam hati kecilnya, Sasa tahu, ada jarak yang sudah terlalu jauh untuk dijembatani hanya dengan kata ‘maaf.’ Tapi ia juga tahu, selama ia belum menyerah, peluang itu masih ada, meskipun kecil. Karena cinta, meski pernah patah, bisa saja tumbuh kembali jika diperjuangkan dengan cukup keberanian.
Namun, bagaimana jika cinta itu sudah berganti tuan? Mengejar yang telah pergi memang tak semudah yang dibayangkan. Tapi kadang, yang lebih menyakitkan bukan penolakan, melainkan diam yang menandakan bahwa kita bukan lagi seseorang yang ingin dijemput kembali.
......................
Di sisi lain, Sena duduk terdiam di sofa apartemennya. Sorot matanya kosong, tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di atas meja kaca. Di layar itu, nama ‘Sasa’ terus berkedip. Akan tetapi, tangannya enggan bergerak. Tidak ada niat untuk mengangkat, tidak sedikit pun.
Sebab, jika ia menjawab panggilan itu, meski hanya satu kali, maka itu berarti memberi celah. Sebuah peluang yang bisa saja disalahartikan oleh Sasa sebagai kesempatan untuk kembali, dan Sena tidak menginginkannya.
Ia tidak ingin membuka lagi pintu masa lalu yang telah membuat hatinya runtuh. Tidak ingin menjalin kembali hubungan dengan seseorang yang dulu pernah mengkhianati ketulusan yang ia beri tanpa syarat.
Pelan-pelan, ia bersandar ke sandaran sofa, membiarkan kepalanya tenggelam dalam kekalutan pikiran. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara napasnya yang berat.
“Aku nggak pernah lupa, Sa... saat aku memperjuangkan cintaku ke kamu. Tapi kenapa semua perjuangan itu malah kamu balas dengan penghianatan?” gumamnya lirih.
Ada getar pelan di nada suaranya, bukan sedih, tapi lebih pada kekecewaan yang belum sepenuhnya sembuh.
Tatapan Sena tetap tidak beranjak dari layar ponsel yang masih menyala, lalu akhirnya padam sendiri karena tak direspons.
“Jadi... bukan salahku kalau sikapku sekarang begini. Bukan karena aku belum memaafkan, tapi karena aku belajar untuk menjaga diriku sendiri. Maaf, Sa. Tapi mungkin dengan sikap ini kamu bisa sadar, kalau kita memang tidak bisa bersama lagi.”
Kata-kata itu meluncur dengan tenang, terasa tegas dan mengakar. Bukan kemarahan yang tertahan, melainkan keteguhan dari seseorang yang telah cukup lama bertahan, cukup lama berharap dan akhirnya memilih untuk berhenti. Sebab, ada saatnya luka berhenti berdarah, tapi bukan berarti bisa disentuh kembali dan ketika hati memilih menutup rapat, itu bukan karena tak cinta lagi, melainkan karena sudah cukup belajar untuk mencintai dirinya sendiri lebih dulu.