Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Setelah badai besar yang mengguncang istana, suasana Luoyang perlahan tenang. Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan setidaknya untuk sebagian orang.
Wei Ruo telah disingkirkan. Permaisuri kehilangan pengaruh. Putra Mahkota yang sempat percaya semua akan berjalan sesuai kehendaknya kini hanya bayangan pudar dari kejayaan semu.
Namun, bagi Wei Lian, kemenangan bukan berarti akhir. Justru inilah awal dari langkah berikutnya, langkah menuju kebebasan penuh, dan yang lebih penting: mengungkap kebenaran tentang ayahnya.
Tapi sebelum itu... satu hari untuk bernapas.
—
Pagi di Kediaman Wei
Suasana halaman kediaman terasa berbeda. Ah Rui sibuk menggantung lentera warna-warni di pohon plum sambil bernyanyi sumbang.
“Ah Rui,” panggil Yan’er dari dapur, “kalau kau gantung lentera di dahan itu, mereka akan jatuh sebelum malam.”
Ah Rui cemberut. “Kau selalu meremehkan insting artistikku!”
“Kau tidak punya insting artistik. Kau punya insting bencana.” jawab Yan'er
Wei Lian keluar dari ruang belakang dan menatap dua pengikutnya itu. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia tersenyum—senyum tulus yang lahir bukan dari strategi, tapi rasa hangat di dalam hati.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya.
Ah Rui melompat kecil. “Kami... merayakan kemenangan, Nona! Setidaknya sekali... kita harus tertawa!”
Yan’er menyodorkan nampan kecil. “Kami bahkan buat kue kacang. Tapi jangan tanya soal rasa.”
Wei Lian menatap mereka berdua. “Kalian memang tak sempurna... tapi kalian rumah bagiku.”
Ah Rui langsung menangis lebay. “Aaaah, akhirnya Nona mengaku sayaaang...!”
“Kau salah dengar,” potong Yan’er cepat. “Itu bukan ‘sayang’, itu ‘sudah muak tapi tetap bertahan’.”
—
Sore harinya, di luar kediaman Wei
Seseorang menunggu di balik pohon bambu.
Zhao Jin, kali ini menyamar sebagai penjual teh keliling. Tapi tak ada pelanggan.
“Kenapa tak ada yang beli tehku…” gerutunya. “Padahal aku bawa teh hijau khusus dari Hanbei…”
Wei Lian muncul dari gerbang, mengenakan jubah santai. “Kau bukan penjual teh. Kau penyamar gagal.”
Zhao Jin terkekeh. “Tapi aku punya berita asli. Dari Hanbei.”
Wei Lian menajamkan telinga.
“Kaisar tua Hanbei ayah yang mulia Mo Yichen, mengirim utusan rahasia ke Luoyang. Katanya... ada informasi baru tentang keberadaan Jenderal Wei.”ujar Zhao Jin
Wei Lian tercengang. “Apa?”
Zhao Jin mengangguk serius. “Seseorang melihat sosok serupa dengan Jenderal Wei, diselundupkan ke perbatasan Barat, lalu menghilang... Tapi sekarang, ada bukti ia masih hidup, terluka, dan mungkin ditahan oleh kelompok tentara bayangan yang dulunya bekerja untuk Putra Mahkota.”
Wei Lian mengepalkan tangan.“Ayahku... masih hidup...?”
Zhao Jin menyerahkan gulungan kecil. “tuan Mo Yichen ingin menemui mu malam ini. Di Balai Angin Batu.”
—
Malam di Balai Angin Batu
Tempat itu tenang, diterangi cahaya lentera dan dikelilingi hutan bambu yang mendesah lembut saat angin berhembus.
Wei Lian tiba lebih dulu. Tak lama, Mo Yichen muncul dengan pakaian hitam sederhana, hanya selembar jubah ringan tanpa lambang.
Mereka duduk berhadapan. Teh diseduh. Suara malam seperti alunan musik dari alam.
“Ayahku masih hidup?” tanya Wei Lian, langsung.
Mo Yichen mengangguk. “Aku baru saja mendapat kabar dari pengintai Hanbei. Ayahmu kemungkinan ditahan oleh sisa pasukan yang dulu berkhianat atas perintah bayangan Putra Mahkota. Mereka menyamar jadi tentara perbatasan di wilayah barat hutan Liang.”
Wei Lian memejamkan mata, menahan gejolak.“Aku ingin mencarinya sendiri.”
“Aku akan ikut,” kata Mo Yichen.
Wei Lian menatapnya. “Ini bukan urusanmu.”
“Tapi kau urusanku,” jawab Mo Yichen tenang.
Kata-katanya tak terdengar menggoda. Tapi justru karena itu... terasa nyata.
Wei Lian menunduk, tak menjawab. Tapi jemarinya menggenggam cangkir teh erat seolah ingin menyerap kekuatan dari panasnya.
—
Keesokan paginya
Wei Lian mulai bersiap meninggalkan Luoyang diam-diam menuju barat. Yan’er akan ikut, Ah Rui akan menjaga ibunya, dan Zhao Jin... tentu tak bisa dibujuk untuk tinggal.
“Misi rahasia tanpa aku seperti sayur tanpa garam!” kata Zhao Jin sambil mengemasi lima jubah berbeda
—
Dan begitu mereka meninggalkan gerbang timur kota...
Langkah baru telah dimulai, langkah menuju kebenaran yang telah lama dikubur. Dan jika benar Jenderal Wei masih hidup… maka semua yang mengkhianatinya akan menyesal telah membiarkan putrinya tetap bernapas.
Empat ekor kuda melaju pelan di bawah langit mendung. Jalan menuju perbatasan barat Luoyang membentang sepi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu atau dedaunan yang jatuh tertiup angin. Di kejauhan, gunung kecil dan hutan lebat mengapit jalur mereka seperti mulut binatang yang tak sabar menelan siapa pun yang lewat.
Wei Lian memimpin rombongan. Di belakangnya: Yan’er dengan busur di punggung, Zhao Jin dengan tiga kantong makanan dan dua panci di pinggang, dan terakhir seekor kuda kecil yang dinaiki oleh tumpukan keranjang… dengan Ah Rui tertidur di atasnya.
“…Dia ikut juga?!” Wei Lian menoleh tajam karena terkejut.
Zhao Jin mengangkat bahu. “Katanya tak bisa tidur kalau ditinggal. Dan kau tahu, kalau ditinggal di kota, mungkin dia akan membakar dapur.”
Ah Rui mengigau, “Awas... kueku meledak…”
Wei Lian menutup wajah dengan tangan.
Perjalanan ini seharusnya rahasia. Tapi dengan rombongan seperti ini... rahasia itu mungkin sudah bocor bahkan sebelum mereka tiba di gerbang desa pertama.
—Tiga hari perjalanan kemudian
Mereka tiba di pinggiran Hutan Liang, tempat pengintai dari Hanbei terakhir melaporkan penampakan sosok mencurigakan yang diduga Jenderal Wei.
“Kita harus berhati-hati. Hutan ini digunakan oleh tentara bayangan dan penyamun,” kata Mo Yichen sambil menunjuk peta yang digambar tangan.
“Menurut laporan, ada satu titik di mana bekas perkemahan tua ditemukan. Api masih hangat. Tapi yang aneh…” Mo Yichen berhenti.
“Apa?” tanya Wei Lian.
“…di antara jejak itu, ada bekas sepatu tentara elit Luoyang.”
Wei Lian menggenggam gagang pedangnya. “Itu artinya…”
“Benar,” ujar Mo Yichen. “Mereka yang menahan ayahmu bukan hanya sisa pemberontak. Tapi… ada orang dalam dari pasukan resmi.”
—
Di tengah hutan, malam hari
Mereka berkemah di bawah pohon besar. Api unggun menyala kecil. Zhao Jin menjaga arah barat, Yan’er berjaga di atas pohon, sementara Ah Rui... berusaha menggoreng ubi tanpa alat dapur.
Wei Lian duduk di sisi Mo Yichen, memandang langit.
“Dulu... aku kira hidupku hanya akan berjalan mengikuti arus keluarga. Menikah, menjadi alat politik, lalu lenyap dari sejarah.” Suaranya pelan.
“Tapi saat semuanya hancur… aku sadar, tak ada yang bisa kulindungi kecuali jika aku sendiri yang berdiri.”
Mo Yichen menatapnya. “Dan karena itu kau kembali berdiri lebih kuat dari siapa pun.”
Wei Lian tersenyum tipis. “Tapi masih ada satu hal yang bisa membuatku runtuh…”
“Jika ayahmu sudah tiada?” tanya Mo Yichen
Wei Lian tidak menjawab.
Namun di matanya, Mo Yichen tahu… rasa takut itu nyata.
Bersambung