NovelToon NovelToon
Misteri Desa Lagan

Misteri Desa Lagan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu / Tumbal
Popularitas:560
Nilai: 5
Nama Author: rozh

Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Kamar Nomor Tiga

Dini hari.

Terdengar Adzan subuh sudah berkumandang, Saddam terbangun lebih dulu, sedangkan tiga temannya baru tertidur satu jam yang lalu.

“Woi, bangun! Bangun, sudah subuh nih!” Saddam mengguncang tubuh teman-teman nya, tetapi tidak ada yang terbangun.

Saddam pun tidak peduli. Dia melihat baterai hpnya sudah lemah, bacaan ayat suci Al-Quran, juga sudah berhenti dari hp nya.

“Sudahlah, mending aku mandi duluan,” gumam Saddam. Dia pun men-charge hp nya.

Menarik handuk dan alat-alat untuk mandi, pergi menuju kamar mandi di belakang.

Saddam mandi sambil bersiul-siul, tiba-tiba saat rambut dan tubuhnya penuh dengan busa, air kran malah berhenti mengalir. Dia pun membilas wajahnya dengan air yang tersisa.

“Loh, kok mati sih? Bukannya air di rumah Nenek dari air gunung, bukan air PAM yang bisa mati sewaktu-waktu?” pikir Saddam. Dia mendesah berat.

“Meoow!” Terdengar suara kucing mengeong. Tak lama, air kran pun kembali hidup.

Saddam terdiam sejenak, lalu membilas tubuhnya sampai bersih. Dia dengan cepat memakai baju dan langsung berwudhu.

Saat dia masih berjalan di urutan kamar nomor tiga, Rino dan Rina melompat di depannya. Membuat dia menghentikan langkahnya sejenak. Tak lama, terdengar suara Nek Raisyah terbatuk-batuk. Dia berjalan mundur ke arah kamar paling belakang.

“Nek!” panggil Saddam mengetuk pintu kamar urutan empat. “Nenek sudah bangun?” tanyanya di sebalik pintu.

“Iya, Nenek sudah bangun,” jawab Nek Raisyah yang berada di belakang Saddam. Membuat pemuda itu terlonjak kaget.

“Eh, aku kira nenek tadi di kamar sedang batuk,” ucap Saddam.

“Enggak, Nenek tadi di samping kamu, kamu mau ke Masjid?” tanya Nenek menatap Saddam.

“Enggak Nek, pasti telat, ini aja udah mau iqamah, aku shalat di rumah aja Nek,” jawab Saddam.

“Oh, ya sudah.”

Saddam pun berbalik dan hendak pergi. Akan tetapi, dia ingin bertanya kembali, dia pun membalikkan badan saat sudah sampai di kamar urutan nomor tiga lagi. Sedangkan Nenek sudah tidak tampak lagi. “Loh, cepat sekali nenek pergi?” gumam Saddam.

Saddam masuk ke dalam kamar, Viko dan Agung sudah tak terlihat di dalam kamar, hanya ada Diro yang tidur bergelung. “Diro, kau sholat tidak? Bangunlah? Nanti waktu subuh habis!”

Setelah berkata seperti itu, Saddam langsung membentangkan sajadahnya, dan sholat subuh sendiri.

Sementara itu, di kamar urutan ke tiga. Entah sejak kapan Agung sampai di dalam sana.

“Loh, kok aku di sini? Ini kamar siapa?” tanya Agung terkejut. Di dalam kamar, terdapat kero besi (Ranjang besi) dengan kelambu berwarna pink.

Ada dua boneka, yang kecil boneka kelinci, yang besar boneka beruang berwarna coklat di ranjang.

Di samping dinding Ranjang, terpampang tiga buah foto besar yang tertempel di sana. Foto pertama, seorang gadis remaja berdiri seorang diri dengan baju putih abu-abu.

Foto kedua, foto dia bersama gadis kecil sambil memeluk dua buah boneka yang tersusun tadi di ranjang itu, boneka kelinci dan beruang. Sedangkan foto ketiga, foto keluarga. Ada Nek Raisyah, almarhum suaminya, Anak sulung dan suaminya, serta dua gadis yang dilihatnya semalam terpajang di meja televisi nenek.

Agung meneguk salivanya. “Kenapa aku berada di sini?” ucapnya dengan ketakutan yang luar biasa.

Dia segera berlari ke arah pintu. Pintu terkunci dan tidak bisa terbuka. Agung terus berteriak ketakutan.

“Dam, Diro, Viko! Buka pintu! Aku takut!” Agung berteriak, tetapi suaranya tidak bisa keluar.

Agung menggedor pintu dengan sangat kuat, tetapi tak ada yang mendengar, hingga dia melihat dua sosok yang menyeramkan muncul.

“Aaaaaaa!” Agung ketakutan sampai pingsan.

Saddam menepuk-nepuk pipi Viko yang tiduran di lantai dapur.

“Sa-Sadam!” Viko memeluk pria dingin itu.

“Ngapain kau tidur di sini?” tanya Saddam.

“Tidur?” Viko melihat sekeliling. “Untunglah ... berarti aku hanya mimpi ya,” gumamnya pelan.

“Mimpi?”

“Iya, mimpi. Aku biasanya memang suka mimpi dan tidur berjalan sih, tetapi tadi mimpiku serem banget. Masa aku lihat anak dan cucunya Nek Raisyah sih, ini semua gara-gara sebelum tidur denger cerita serem sih. Oh ya, jam berapa sekarang, Dam?” tanya Viko melepaskan pelukannya dan mengucek matanya.

“Mau jam 6 pagi.”

“Ah, udah telat subuh-an dong aku!” Viko cemberut.

“Iya, si Diro juga susah betul di bangunin! Cepatlah mandi, kita jam 7 pagi harus kumpul, ini 'kan hari pertama kita PKL.”

“Iya.” Viko pun bangkit dari tidurnya, masuk ke kamarnya mengambil handuk dan sabun.

Saddam pun kembali membangunkan Diro.

“Diro, bangunlah! Ini udah mau jam 6 pagi! Nanti telat! Belum lagi kita mau cari sarapan, nggak tau dimana orang jual sarapan di sini. Ayo, cepat bangun!” Saddam menarik kedua tangan Diro, sampai pemuda itu duduk dan membuka matanya.

“Mm, emangnya dah jam berapa sih, Dam. Kepalaku masih pusing nih!” Suara Diro terdengar serak khas bangun tidur.

“Udah mau jam 6, cepatlah! Mumpung si Viko mandi tuh, atau kau mau mandi sendirian. Cepat sana!”

“Iya. Kau sudah mandi ya?” tanya Diro. Dia dengan sedikit terhuyung mengambil handuk dan sabun.

Tak lama, mereka bertiga sudah rapi dan bersiap keluar mencari sarapan. Muncullah Nek Raisyah dari sebalik pintu utama masuk.

“Kalian sudah rapi? Tadi subuh kalian semua tidur nyenyak, padahal Nenek mau ngajak ke Masjid bareng,” tutur Nenek.

“Nenek ke Masjid?” tanya Saddam tercengang.

“Iya, Nenek lebih awal sih tadi perginya, jam setengah lima, pas ditengah jalan, baru terdengar adzan. Soalnya nenek 'kan jalannya lama,” terang Nenek.

Saddam sejenak terdiam. ‘Jika Nenek pergi setengah lima, lalu siapa yang aku temui jam lima lewat di depan pintu kamar ke tiga?’ Saddam terus berpikir keras.

“Eh, Agung mana?” tanya Viko seketika.

“Loh, bukannya Agung bersamamu? Soalnya, pas aku bangun, kalian berdua tuh gak ada di kamar, cuma ada Diro.” tanya Saddam balik.

“Bersamaku? Enggak lah. Aku 'kan dari tadi cuma ketemu sama Diro,” balas Viko.

Meoong! Meong! Dua kucing hitam itu mengeong, mengigit rok Nenek.

Bergegas Nek Raisyah berjalan ke arah kamar nomor tiga. Dia memukul pintu itu dua kali dengan tongkatnya sambil membaca do'a. Kemudian, dia membuka pintu, tampaklah Agung tengah tertelungkup di depan pintu kamar.

“Agung?”

“Gung, bangun!” Viko membalik tubuh Agung.

Agung perlahan membuka mata dan memekik keras. “Aaaaaa! Viko tolong aku!” Dia ketakutan dan melihat sekeliling kamar, bergegas meluncur keluar dari kamar itu dengan nafas ngos-ngosan.

“Kamu sepertinya bermimpi buruk ya, karena mendengar cerita nenek, cepatlah mandi, nanti terlambat,” ucap Nenek.

Agung menggeleng ketakutan. “Aku takut!”

“Kami akan menemani kamu mandi dan berdiri di kamar mandi.” Saddam menyentuh pundak Agung. Kali ini, pemuda itu tidak tampak ceuk dan dingin, sehingga Viko dan Diro tercengang.

Agung Mandi, sedangkan Saddam bersandar di dinding kamar Mandi dan terus berbicara pada Agung. “Nggak usah takut, cepat aja mandi, nanti kita telat!”

Tak lama, akhirnya Agung selesai mandi, sampai memasang baju pun di temani.

“Nek, kami pamit pergi dulu ya,” ucap mereka.

“Iya, kalian jangan lewati simpang tiga jam 12 siang ya, jangan bercanda ria saat melewati simpang itu, berhati-hati lah.” Nenek Raisyah menatap ke-empat pemuda itu serius.

Seketika mereka terdiam, perkataan nenek terdengar seolah peringatan.

“Baik, Nek.”

Mereka berempat pun keluar dan berjalan menelusuri jalan. Di sepanjang jalan pagi ini, mereka bertemu dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sibuk berjalan ke kebun, berjualan, dan lainnya. Hingga mereka berhenti di sebuah kedai lontong.

Mereka memesan lontong dan teh hangat.

“*Oh, kalian nan PKL kecek Pak Jorong, yo*? —Pak jorong berkata, kalian berempat yang PKL itu ya?” tanya Uni penjual lontong.

(*Uni adalah panggilan Kakak perempuan dalam bahasa daerah sana*)

“*Iyo, Uni*, — Iya, Kakak," jawab Viko tersenyum ramah.

“*Elok-elok dih, apo lai di simpang tigo*,” bisik Uni itu. (Hati-hati ya, apalagi di simpang tiga itu.)

“*Iyo, mokasih Uni*, — Iya, Makasih Kakak,” balas Viko, sedangkan yang lainnya mengangguk dengan tersenyum, hanya Viko yang bisa bahasa daerah, mereka hanya paham saja.

Setelah sarapan, mereka berempat sampai di posko, tempat alat-alat berat dan para pekerja berkumpul.

“Eh, Dam? Kok, aku jadi merasa aneh ya, setelah denger Nek Raisyah dan Uni penjual lontong tadi bicara,” bisik Viko.

“Ya, sebagai tamu, kita harus baik dan ikuti saja saran dari masyarakat sekitar. Yuk, ah! Kita ke sana, lapor sama Pak Johan.”

Johan adalah pemborong jalan yang akan membina mereka dalam melakukan teknik survei dan pemetaan.

...\*\*\*...

1
Ubii
Sebenarnya gadis di foto itu siapa ya? kok muncul terus/Speechless/
Ubii
rarww /Skull/
Ubii
merinding, gak bisa bayangin /Sweat/
Ubii
keren ceritanya, dari sekian banyak yang aku baca, ini sangat menarik /Angry/ aku tunggu kelanjutannya ya!
Rozh: Oke, terimakasih, semoga suka dan terhibur sampai cerita ini tamat 🌹
total 1 replies
Ubii
lagi tegang-tegangnya malah di bikin ngakak/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!