NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:32k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam diam yang saling mengerti

Langit di luar jendela perlahan berubah gelap, dan suara-suara tamu yang berpamitan satu per satu memudar dari halaman rumah. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Aroma teh jahe dan kayu manis menggantung di udara, sementara tirai digerakkan angin malam yang masuk perlahan dari celah jendela.

Di ruang tamu, Rendi dan Alisya duduk berdampingan di sofa. Rasya sudah tertidur sejak satu jam yang lalu—lelah setelah seharian bermain dan berlarian ke sana kemari menyapa tamu-tamu ayah bundanya.

Alisya menyandarkan kepalanya di bahu Rendi. Mereka tak banyak bicara. Hanya duduk dalam diam yang nyaman. Kadang, cinta tak butuh kata-kata, hanya kehadiran yang terasa.

“Aku lihat kamu peluk aku tadi, kayak nggak ada orang,” bisik Alisya dengan suara mengantuk namun lembut.

Rendi tersenyum kecil. Tangannya membelai rambut istrinya perlahan.

“Maaf, aku lupa dunia waktu itu.”

Alisya tertawa kecil, menepuk dadanya pelan. “Kamu memang selalu seperti itu. Tapi… aku suka. Meskipun aku malu.”

Rendi mengangkat wajah istrinya, menatapnya sejenak. “Terima kasih sudah bantu semua hari ini. Rumah ini... tanpa kamu, nggak akan seperti ini.”

Alisya memejamkan mata. “Kadang aku berpikir, apa cukup hanya jadi istri yang menyiapkan makanan, menyambut tamu, dan memeluk anak saat ia lelah?”

Rendi memeluknya lebih erat. “Kamu bukan cuma istri. Kamu rumahku. Tanpa kamu, semua ini cuma tempat tinggal.”

Dan malam pun menyelimuti mereka dengan tenang. Tak ada suara selain detak jam dinding dan angin yang menggoyangkan daun di luar jendela.

...****************...

Sementara itu, di tempat lain—di sebuah apartemen mungil di tengah kota—Bunga baru saja membuka pintu.

Ia melepas sepatunya perlahan, meletakkan tasnya di sofa, dan duduk sejenak. Kesunyian menyambutnya. Lampu kuning temaram di sudut ruangan menyala samar, menemani bayangannya sendiri.

Dari meja makan, ia mengambil sisa kotak kue yang tadi diberikan Alisya sebelum pulang. “Buat kamu, Bunga. Kue kacang ini aku yang bikin,” kata Alisya siang tadi, sambil tersenyum hangat.

Bunga menatap kotak itu lama. Senyum kecil muncul di wajahnya, lalu perlahan memudar.

Ia berjalan menuju balkon, membawa secangkir teh yang baru saja ia seduh. Dari lantai tujuh belas, kota terlihat sunyi dalam kerlap-kerlip lampu. Udara malam sedikit dingin. Rambutnya dibiarkan terurai, ditiup angin tanpa perlawanan.

Dalam hening, ia berbicara dengan dirinya sendiri.

“Alisya baik sekali… terlalu baik. Aku bisa merasakan bahwa dia mencintai Rendi dengan damai. Dan Rendi… dia melihat Alisya dengan mata yang penuh pulang.”

Tapi ada satu sisi dalam dirinya yang tak bisa disangkal. Sebuah ruang kecil di hatinya yang masih menyimpan sesuatu. Bukan harapan, mungkin. Tapi bayang. Diam dan setia di sudut pikirannya.

Ia menggigit kue kacang pelan, dan untuk sesaat, hangatnya terasa seperti pelukan.

“Aku bukan bagian dari rumah itu… tapi aku bersyukur pernah duduk di dalamnya hari ini.”

Ia menatap langit malam, mencari sesuatu di antara bintang-bintang yang nyaris tertutup awan. Mungkin pertanyaan. Mungkin penghiburan.

Dan dalam diam itu, ia membisikkan doa yang tak bersuara:

Semoga bahagia itu tetap tinggal di rumah mereka... dan semoga hatiku suatu hari, juga punya tempat untuk pulang.

...****************...

Malam menyapa perlahan, menutup hari dengan pelukan angin lembut dan langit yang mulai mengatup kelopaknya. Di balik jendela kamar, lampu-lampu kota terlihat samar, seperti bintang-bintang yang malu-malu menampakkan diri di permukaan bumi. Di dalam kehangatan kamar itu, Rendi dan Alisya saling bersandar dalam keheningan yang akrab, seperti dua daun yang lama hanyut dalam aliran yang sama.

Alisya memeluk Rendi dengan mata yang mulai berat. Lengan suaminya masih menjadi tempat ternyaman untuk lelap, dan detak jantungnya—ritme yang ia kenal sejak masa remaja—masih menjadi lagu tidur terbaik yang pernah ia dengar.

“Aku masih mencintaimu seperti dulu,” bisiknya sambil memejam, “Seperti pertama kali kamu ngajak aku duduk di taman belakang sekolah itu. Ingat nggak?”

Rendi tersenyum pelan. “Ingat. Kamu pakai baju putih abu-abu dan duduk sambil makan roti isi cokelat. Kamu nggak tau, sejak hari itu aku nggak bisa lihat roti cokelat tanpa ingat kamu.”

Alisya terkekeh kecil, matanya belum benar-benar tertutup. Tapi di balik tawanya, ada kelelahan, ada kerinduan yang tak pernah benar-benar pergi meski mereka telah menikah dan tinggal serumah bertahun-tahun. Mungkin begitulah cinta, ia tidak tinggal diam, melainkan tumbuh bersama rindu yang tak pernah habis.

Rendi mengusap rambut Alisya yang sebahu, halus dan harum, seperti aroma kenangan yang tak lapuk digerus waktu.

“Sayang…” ucap Rendi pelan, suaranya seperti berbisik pada malam itu sendiri. “Aku harus bilang sesuatu.”

Alisya membuka mata sedikit, menoleh, “Hm?”

“Aku belum tahu kapan tepatnya, tapi nanti aku harus ke Yogyakarta,” lanjut Rendi, masih dalam nada yang tenang. “Sama Bunga. Untuk cek lokasi pembangunan dan urusan kontraktor. Mungkin beberapa hari, mungkin seminggu. Tapi aku mau kamu tahu dari sekarang, biar nanti nggak kaget.”

Alisya terdiam sejenak. Matanya benar-benar terbuka kini, menatap wajah suaminya yang tak sepenuhnya bisa ia baca. Namun ia tak mendebat, tak mencurigai. Ia hanya... diam. Lalu pelan, ia mendekap Rendi lebih erat.

“Kamu percaya aku, kan?” tanya Rendi, menunduk menatap matanya.

Alisya mengangguk. “Aku percaya. Cuma…” suaranya menipis, “...aku pasti kangen.”

Rendi mencium keningnya. “Aku juga bakal kangen kamu.”

Lalu ia menatap langit-langit kamar sejenak, seolah mencari cara menenangkan hatinya sendiri. “Aku takut kamu kesepian. Gimana kalau kamu tidur di rumah Ibu sementara aku di sana? Biar ada teman ngobrol, ada yang masakin.”

Alisya tidak perlu berpikir lama. “Aku kangen Ibu juga. Sudah lama nggak tidur di kamarku di sana. Kayaknya itu ide bagus.”

Rendi tersenyum kecil. Ada rasa lega yang samar di sana.

Namun kebersamaan mereka tak bertahan lama malam itu. Ponsel Rendi tiba-tiba berdering—nama ‘Ayah’ terpampang di layar. Ia segera mengangkat, tapi tak ada suara jelas di seberang. Hanya helaan napas berat, suara televisi dari kejauhan, dan akhirnya, keheningan.

Rendi menggenggam ponsel lebih erat. Wajahnya berubah. Ada sesuatu yang tidak bisa ia katakan. Sesuatu yang belum ingin ia bagi.

Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk Alisya. Erat. Seakan ada beban yang tak mampu ia bagi dengan kata-kata.

“Rendi?” bisik Alisya, mengusap punggung suaminya. “Ayah kenapa?”

Rendi tak menjawab. Ia hanya memejam, membenamkan wajahnya di bahu istrinya. Alisya tahu, pelukan itu adalah bahasa paling jujur malam itu. Dan seperti biasa, ia tak memaksa. Ia hanya memeluk balik, seerat yang ia bisa.

“Aku di sini,” katanya, nyaris tak terdengar, “Kalau kamu belum bisa cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi kamu nggak sendiri.”

Waktu berjalan lambat. Jam di dinding berdetak seperti menahan napas. Dan di dalam kamar yang temaram, hanya ada dua hati yang saling menggenggam erat. Tak semua harus dibicarakan malam ini. Yang penting adalah kehadiran. Pelukan. Dan kepercayaan yang tetap tinggal meski waktu mulai membuka jarak.

Dan malam pun menyelimuti mereka dalam diam yang penuh makna.

1
Lee Mbaa Young
Di pikir dng minta maaf semua akn baik baik saja. tntu tidak. km blm mnderita smp mau mati kok. pling tdk kehilangan anakmu juga rahim mu. hingga gk punya harga diri br impas hukuman buat pelakor. biar gk ngangkang pd laki orang lagi si bunga Bangkai itu.
Lee Mbaa Young
Heh bunga Bangkai kl km minta maaf mang semua akn kembali lagi. ingat karma mu masih berjalan walau alisha maafin km.
pokok nya bunga Bangkai harus hancur sehancur hancurnya. dasar wanita pendidikan tp gk punya moral.
semoga anaknya gugur biar rasha gk punya saudara Dr ibu pelakor mcam km.
j4v4n3s w0m3n
aduh maaf ya bunga denger.ceritamu maaf sekali aku tetap gak.respek sama.kamu.heheheh maaf ya mungkin.krn.sakit.hati alisya itu.jadi aki.gak.bisa dukunh kamu apapun.keadaanmu dan.silsailah.kamu ..jalananin.aja.dech kesusahanmu.itu
Lee Mbaa Young: sama aku juga gk respek ma bunga tu. manipulatif. di pikir setelah minta maaf ma alisha bisa bhgia paling. o tentu tidak. dia hrs hncur lebur hingga kehilangan anak dan rahim nya br impas. biar gk bisa nglahirin anak anak pelakor.
total 1 replies
Maizaton Othman
tetap sabar untuk bab seterusnya,bintang 5 utk setakat ini,harap selanjutnya ia tetap menjadi karya yg bagus sampai ending
Retno Harningsih
up
Lulu-ai
emng gg tau dendam tp situ tau rendi dah punya istri tetep nikah tuh
Iis Dawina
biarkan bunga stres trs keguguran deh
Mundri Astuti
dah tau ibunya begitu, dah ngerasain dampaknya, lah malah ngikutin, definisi bodoh si ini
Lee Mbaa Young
lah ibu sendiri seorang pelakor kok. Ya sm saja lah dng anakmu. pelakor juga.

semoga hbis ini bunga bnyak pikiran kecelakaan trus keguguran. wes ngunu ae. biar kapok para tua bangka bpk rendi dan bpk bunga.
ARSLAMET: kesel kan yaa , next bab di tunggu ya
total 1 replies
sutiasih kasih
ini gmn sih... bukankah anda jga merebut suami org bu tati.... ayah lisya yg lbh memilih minggat dgnmu... dan mnikahimu... dan rela menelantarkn lisya dan ibunya...
bukankah kalian sama" pelakorrrr...
ARSLAMET: kesel kan ya , next bab nya di tunggu ya
total 1 replies
Machmudah
karma otw ya thor
ARSLAMET: iya nih huhu
total 1 replies
Lee Mbaa Young
Alkhamdulillah semoga proyek gk lancar.. Aamin.
beda istri beda rejeki.
akhirnya viral semoga makin viral biar tmbh malu tu bunga Bangkai.
Retno Harningsih
lanjut
ARSLAMET: siap di tunggu ya next bab nya
total 1 replies
sutiasih kasih
beda istri beda rizkinya.... kelak knyataan akn mnamparmu pak wiratma.... krna sdh mnjadi mertua yg zdolim trhdp alisya....
wloupun kau brmantukan bunga.... blm tentu kerajaan bisnismu semakin maju...
Ifah Al Azzam Jr.
buat Rendi menyesal termasuk bunga dan kedua org tua mereka,,,
dtunggu thor jgn lama2
Retno Harningsih
lanjut
Rubyna
heh Rendi. kenapa jadi pria tolol gak tegas. cuekin saja bunga biar dia merasa memiliki raga mu tapi tidak dengan hati mu .
Anty Niez
ayo buktikan alisya kamu bisa berdiri di kaki sendiri dan bangun perusahaan mu sendiri tanpa ada yg namanya pewaris,kamu perintis bukan pewaris...jadi tinggikan wajahmu,biar muka angkuh Wira dan Hendra bisa kamu kalahkan, dan untuk bunga akan tau posisi mana yg lebih kuat...
sutiasih kasih
piciknya wirarma dan hendra.... mengangp alisya tak ada apa"nya di banding bunga....
mndepak alisya dgn sengaja sangat mmbahagiakan ya untuk kalian....
smoga karma berpuluh kali lipat mnyiksa kalian melebihi trlukanya yg alisya rsakan....
dan untuk rendi.... yakin km tahan tak myntuh bunga lgi...
laki" g setia macam km... emang sepatutnya di lepas....
Lee Mbaa Young
Masih nungguin Karma bunga Bangkai, rendi dan kluarga nya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!